Oleh: Muhamad Nur Hamid Hidayatullah
(Santri PPM. Al-Ashfa Yogyakarta)
Tema pergaulan bukan tema yang
baru. Akan tetapi ada sesuatu yang disalahpahami dan ada yang hilang tentang
pergaulan pada masa sekarang. Sehingga perlu untuk dikaji ulang dengan harapan
dapat mengingatkan betapa pentingnya pergaulan yang psoitif. Sebab ketika
generasi muda bangsa ini tumbuh sebagai pribadi yang positif maka dampaknya
tidak hanya di generasi itu sendiri tapi meluas ke dalam kehidupan sosial dan
negaranya akan lebih baik dan maju. Bukankah peradaban suatu negara akan maju
ketika penghuninya juga memiliki adab dan akhlak yang luhur?
Masa remaja atau lebih populer
dengan istilah Anak Baru Gede (ABG) adalah masa yang paling rentan dengan
godaan-godaan, terutama godaan-godaan yang berbau kebarat-baratan. Teknologi
yang semakin canggih mempermudah kebudayaan barat tersebut masuk ke dalam
pikiran remaja. Menurut Ridayati, Dosen Matematika pada Teknik Sipil STTNas
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional di Yogyakarta, yang melakukan penelitian
terkait kenakalan remaja di DIY, menerangkan bahwa pergaulan ABG sudah sampai
pada taraf mengkhawatirkan. Semua media massa baik elektronik maupun cetak
dengan leluasa menampilkan hal-hal yang dapat mengakibatkan kerusakan akhlak
generasi muda. Dalam mencari teman pergaulan pun lebih mudah. Sedangkan salah
satu faktor yang sangat berpengaruh dalam membentuk kepribadian remaja adalah
teman sebaya.[1]
Ridayati juga menyebutkan
hasil wawancara dengan salah satu respondennya tentang alasan kenapa responden
itu ikut-ikut tawuran. Dia menjawab “solidaritas”, bahkan ketika teman-temannya
mengajak merokok, minum-minuman keras, itu juga solidaritas. Melihat realitas
itu, makna solidaritas sudah beralih fungsi yang dulunya positif seperti
membantu teman ketika sedang jalan kaki berangkat sekolah, meminjamkan buku
catatan kepada teman yang tidak masuk kelas, atau mendukung temannya untuk
selalu berprestasi dengan belajar bersama, tapi kini solidaritas disalahartikan
menjadi negatif.
Data-data yang di dapat dari
penelitiannya itu mengatakan bahwa remaja yang berteman dengan teman yang baik
tidak menutup kemungkinan menjadi nakal. Apalagi remaja yang bergaul dengan
teman yang salah. (Ridayanti, 2015: 145) jadi, memang benar jika pertemanan itu
pengaruhnya sangat besar dan cepat. Mengingat sebagian besar waktu mereka
dihabiskan bersama teman-temannya dari pada dengan keluarga. Selama di sekolah
bertemu dengan teman-teman, sepulang sekolah tidak langsung pulang ke rumah
tapi main dengan teman-temannya, belum lagi malam hari keluyuran bareng. Sampai
keluarga tidak sempat mengawasinya. Makanya keluarga harus dapat memberikan
kasih sayang kepada anaknya sehingga mereka betah tinggal di rumah. Orang tua
harus memberikan kesan bahwa rumahnya adalah dunianya.
Mengembalikan Mindset yang Dulu
Permasalah pergaulan bebas di
atas, menurut saya, dikarenakan mindset tentang teman adalah “tidak usah
memilih untuk berteman”. Tidak harus memandang apakah temannya itu positif
untuk dirinya dan masa depannya atau malah menghancurkan. Sehingga mereka tidak
berpikir panjang untuk menjalin pertemanan dengan orang. Mereka hanya mengikuti
nafsu anak muda supaya dianggap keren, “sangar”, dan hebat – dalam bentuk yang
menyalahi akhlak terpuji.
Kenyataan itu sangat berbeda
dengan zaman dulu yang lebih memperhatikan kualitas hubungan dengan orang lain.
ketika seorang teman bisa mengajak kepada hal psositif, misalnya mengingatkan
untuk shalat atau secara langsung mengajaknya ke masjid; mengajak belajar bersama,
bahkan dulu pengalaman saya pribadi, setiap malam sehabis isya’, kami belajar
bersama di rumah teman. Dan kami benar-benar belajar, tidak bermain game atau
mengobrol yang tidak penting.
Oleh karena itu, mindset
“selektif mencari teman” sangat perlu didengung-dengungkan kembali. Sekiranya
itu adalah langkah awal menyadarkan generasi muda tentang pentingnya pergaulan
yang positif. Tentu langkah itu tidak akan maksimal jika tidak didukung oleh
semua pihak, terutama keluarga, masyarakat, dan pendidikan sekolah.
[1]
Ridayati, Pengaruh Pergaulan
Terhadap Kenakalan “ABG” di Yogyakarta Menggunakan Regresi Logistik, Jurnal
Angkasa Vol. VII, nomor 2, November 2015, halm. 142
0 komentar:
Posting Komentar