About


Get this widget:

Kamis, 05 April 2018

Pergaulan: Mengembalikan Mindset yang Dulu


Oleh: Muhamad Nur Hamid Hidayatullah
(Santri PPM. Al-Ashfa Yogyakarta)

Tema pergaulan bukan tema yang baru. Akan tetapi ada sesuatu yang disalahpahami dan ada yang hilang tentang pergaulan pada masa sekarang. Sehingga perlu untuk dikaji ulang dengan harapan dapat mengingatkan betapa pentingnya pergaulan yang psoitif. Sebab ketika generasi muda bangsa ini tumbuh sebagai pribadi yang positif maka dampaknya tidak hanya di generasi itu sendiri tapi meluas ke dalam kehidupan sosial dan negaranya akan lebih baik dan maju. Bukankah peradaban suatu negara akan maju ketika penghuninya juga memiliki adab dan akhlak yang luhur?
Masa remaja atau lebih populer dengan istilah Anak Baru Gede (ABG) adalah masa yang paling rentan dengan godaan-godaan, terutama godaan-godaan yang berbau kebarat-baratan. Teknologi yang semakin canggih mempermudah kebudayaan barat tersebut masuk ke dalam pikiran remaja. Menurut Ridayati, Dosen Matematika pada Teknik Sipil STTNas Sekolah Tinggi Teknologi Nasional di Yogyakarta, yang melakukan penelitian terkait kenakalan remaja di DIY, menerangkan bahwa pergaulan ABG sudah sampai pada taraf mengkhawatirkan. Semua media massa baik elektronik maupun cetak dengan leluasa menampilkan hal-hal yang dapat mengakibatkan kerusakan akhlak generasi muda. Dalam mencari teman pergaulan pun lebih mudah. Sedangkan salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam membentuk kepribadian remaja adalah teman sebaya.[1]
Ridayati juga menyebutkan hasil wawancara dengan salah satu respondennya tentang alasan kenapa responden itu ikut-ikut tawuran. Dia menjawab “solidaritas”, bahkan ketika teman-temannya mengajak merokok, minum-minuman keras, itu juga solidaritas. Melihat realitas itu, makna solidaritas sudah beralih fungsi yang dulunya positif seperti membantu teman ketika sedang jalan kaki berangkat sekolah, meminjamkan buku catatan kepada teman yang tidak masuk kelas, atau mendukung temannya untuk selalu berprestasi dengan belajar bersama, tapi kini solidaritas disalahartikan menjadi negatif.
Data-data yang di dapat dari penelitiannya itu mengatakan bahwa remaja yang berteman dengan teman yang baik tidak menutup kemungkinan menjadi nakal. Apalagi remaja yang bergaul dengan teman yang salah. (Ridayanti, 2015: 145) jadi, memang benar jika pertemanan itu pengaruhnya sangat besar dan cepat. Mengingat sebagian besar waktu mereka dihabiskan bersama teman-temannya dari pada dengan keluarga. Selama di sekolah bertemu dengan teman-teman, sepulang sekolah tidak langsung pulang ke rumah tapi main dengan teman-temannya, belum lagi malam hari keluyuran bareng. Sampai keluarga tidak sempat mengawasinya. Makanya keluarga harus dapat memberikan kasih sayang kepada anaknya sehingga mereka betah tinggal di rumah. Orang tua harus memberikan kesan bahwa rumahnya adalah dunianya.
Mengembalikan Mindset yang Dulu
Permasalah pergaulan bebas di atas, menurut saya, dikarenakan mindset tentang teman adalah “tidak usah memilih untuk berteman”. Tidak harus memandang apakah temannya itu positif untuk dirinya dan masa depannya atau malah menghancurkan. Sehingga mereka tidak berpikir panjang untuk menjalin pertemanan dengan orang. Mereka hanya mengikuti nafsu anak muda supaya dianggap keren, “sangar”, dan hebat – dalam bentuk yang menyalahi akhlak terpuji.
Kenyataan itu sangat berbeda dengan zaman dulu yang lebih memperhatikan kualitas hubungan dengan orang lain. ketika seorang teman bisa mengajak kepada hal psositif, misalnya mengingatkan untuk shalat atau secara langsung mengajaknya ke masjid; mengajak belajar bersama, bahkan dulu pengalaman saya pribadi, setiap malam sehabis isya’, kami belajar bersama di rumah teman. Dan kami benar-benar belajar, tidak bermain game atau mengobrol yang tidak penting.
Oleh karena itu, mindset “selektif mencari teman” sangat perlu didengung-dengungkan kembali. Sekiranya itu adalah langkah awal menyadarkan generasi muda tentang pentingnya pergaulan yang positif. Tentu langkah itu tidak akan maksimal jika tidak didukung oleh semua pihak, terutama keluarga, masyarakat, dan pendidikan sekolah.


[1] Ridayati, Pengaruh Pergaulan Terhadap Kenakalan “ABG” di Yogyakarta Menggunakan Regresi Logistik, Jurnal Angkasa Vol. VII, nomor 2, November 2015, halm. 142

0 komentar:

Posting Komentar