About


Get this widget:

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 30 November 2017

Didumuk Empok, Ditutuk Atos

Oleh: Must Hiday
Realita sosial adalah keniscayaan yang tidak bisa dihindarkan. Sedangkan kita adalah para penafsir zaman bahkan “nilai berjalan” yang seharusnya mengisi realita itu. Ya, dimanapun posisi kita, kita harus menjadi lampion bagi sekitar kita. Karena, sebenarnya, masalah itu bukan masalah. Masalah adalah itu tergantung sikapmu terhadap masalah; jika kamu menganggap itu sebagai masalah, maka akan menjadi masalah serius yang bisa membahayakan hidupmu, masa depanmu. Akan tetapi jika kamu menyikapi masalah itu dengan tenang dan memasrahkan segalanya kepada Allah SWT, maka masalah itu tidak akan bisa mengganggumu apalagi berantakin hidupmu. The problem is not the problem, but problem is your attitud about that problem.
Kala itu, aku masih “mager”[1] di atas kasur lantai. Tanganku dan mataku sibuk pada satu hal, yaitu HP. Mataku mendapat tugas memandangi layar HP. Sedangkan tangan bertugas menggesek-gesek layar HP. Tinggal nunggu bulan depan, gajian mereka. Haha
Aku sendirian di kamar. Kamar kecil dengan cat putih agak kusam karena memang rumah lama. di sebelah kiri kasur lantaiku ada lemari bajuku beserta rak-rak buku yang berjejer pula. Sepi. Aku sering kesepian kalau di kamar ini. Makanya aku setiap kali berada di kamar, kalau siang jendela kamar pasti terbuka. Sedangkan kalau malam lampu tidak pernah aku matiin. Sampai tidurpun lampunnya masih menyala -  meskipun aku harus beruasaha keras menidurkan diri sendiri dengan lampu yang masih benderang terang. Aku paling susah kalau tidur dengan lampu menyala. Meski sebenarnya aku kesusahan tidur kalau lampu terang.
Tapi untungnya aku sudah punya pacar. Cieee... masih ada temen ngobrol meski Cuma sebatas chattingan WA. Kami kalau WA-nan pasting ujung-ujungnya saling menghina, bercanda, ketawa bareng lewat layar. Tapi semua itu kami lakukan supaya tidak terlalu serius. Gak enak terlalu serius. Ya ada tempatnya; kapan harus serius dan kapan harus bercanda. Kata dia kalau terlalu serius nanti mukanya boros, nggak unyu-unyu lagi.
“Dek, ayuk tebak-tebakkan ma mas.” Pintaku di WA mecoba mencairkan suasana.
“Tebak-tebakkan apa, Mas?” jawabnya beberapa saat kemudian.
“Tebak-tebakkan yang lucu aja. Terserah mau tebak-tebakkan apa.” Kusentuh tombol hijau pada sisi kanan chat untuk mengirim.
Lama aku menunggu balesan darinya. Sudah biasa dia kalau bales lama. aku maklumi aja, mungkin dia sedang sibuk atau sedang ngobrol sama temennya. Tapi nanti juga bales sendiri.
Dan betul. Nderrrrr... ndeerrrr... HP-ku bergetar. Cepat-cepat aku buka WA-ku. Mataku membaca satu chat, tapi bukan dari ngatmi.
Muridku nge-chat aku. Waahh ada apa ini? Cewek lho, imoet-imoet lagi. Sekilas aku lihat, dia meminta tolong untuk ngirimin... nggak tau. Aku sentuh chatnya. Owalah ternyata dia minta tolong untuk ngirimin foto yang diambil siang tadi di dalam satu kelas. Satu kelas minta foto bareng sama aku. Padahal ditengah kegiatan belajar mengajar.
Anak-anak kelas MTsN 2 Sleman emang aktif-aktif.
“Iya, dek, bentar ya,” jawabku singkat.
Kemudian aku melihat-lihat folder foto di HP-ku. Mancari foto yang bersama kelas delapan A. Jariku terus men-scroll layar HP. Aku heran melihat fotoku yang banyak. Padahal aku nggak pernah foto-foto kecuali tadi siang itu – bersama muridku. Tapi ternyata foto di folderku banyak banget. Mungkin karena WA-ku belum aku atur untuk download otomatis ketika tersambung ke WIFI.
“Terima kasih, Mas Hamid.” Balasnya setelah beberapa foto aku kirimkan kepadanya.
“Sama-sama, adek Cupit.” Aku menirukan gaya chat-nya.
Adek gemesnya tidak WA lagi. Asem. WA kalau ada butuhnya aja. Deket kalau ada butuhnya saja. Sebenarnya, dalam pertemanan atau sillaturrahmi kan harus ikhlas. Tidak hanya ketika butuh sesuatu atau tertimpa sesuatu, baru bersilaturrahmi, mendekati atau mengakrabi orang lain. Seperti itu, menurutku, kurang tepat.
Pikiranku kembali ingat dek Ngatmi, calon istriku. “Kok dia belum bales juga ya?” batinku.
Aku menghela nafas. Aku khawatir. Takut terjadi hal-hal yang tidak disenangi. Kupejamkan mataku, meyakinkan hatiku kalau semuanya baik-baik saja. Aku percaya sama dia. Aku rebahkan ke dua tanganku membuka ke atas. kurasakan empuknya kasur lantaiku. Setidaknya aku merasa nyaman sekarang. Tidak kacau.
Beberapa menit kemudian, HP-ku bergetar lama sekali. Awalnya kukira itu adalah telfon. Eh ternyata balesan WA dari dek Ngatmi. Lama banget. Aku WA dia pada jam delapan lebih tiga puluh empat. Dia membalasnya pada jam sembilan lebih lima puluh empat. Satu jam kurang lebih dia tidak membalas chat-ku.
Dia memang sibuk beneran. Dia tadi mengangkat jemurannya kemudian masak nasi dan lauk. Dia ingin hidup mandiri. Tidak mau manja, katanya.
“Ayo, Mas, lanjut. Maaf tadi adek harus ngangkat jemuran dan masak buat makan.” Ada emot senyum dan tangan mengatup setelah chatnya. Emot senyumnya seimut senyuman dia. jadi kangen kan.
“Coba jawab; didumuk empuk, nak ditutuk atos[2], apa itu?” aku mulai mengajukan tebakan ke dia.
Aku yakin dia tidak bisa menjawab pertanyaanku.
Lama nggak bales. Ya, kali ini dia mungkin lagi gluntungan di kasur sambil megangin kepalanya. Mikir mencari jawabannya. Perkiraanku. Lucu juga  ya. Aku tersenyum sendiri membayangkan dia mikir sambil guling-guling.
“Aku menyerah mas. Nggak tau.”
Benar kan dugaanku. Karena pertanyaan ini memang pertanyaan yang sangat sulit. Orang paling jenius di dunia ini – misalkan albert enstein – belum tentu bisa menjawabnya.
Aku tertawa terpingkal-pingkal membaca pesannya. Cepet banget menyerah. Dia nggak sampai memikirkan ke jawaban yang aku pikirkan.
“Jawabannya adalah.....” sengaja ku kirimkan potongan pesan gak lengkapku kepadanya. Supaya seperti pemanggilan nomor undian lomba jalan sehat. Hahaha
“Apa, Mas?” jawabnya penasaran.
“TELEEEEKKK..... hahaha”, jawabku dengan cepat.
Perutku terasa sakit karena tertawa terus, bercanda sama dek Ngatmi. Dek Ngatmi bagiku adalah cewek yang cantik, tinggi, putih, penyayang, keibuan, dewasa dan manja. Menurutku cewek manja itu hal positif yang bisa menambah keharmonisan hubungan. Tapi dengan satu catatan, TIDAK KETERLALUAN MANJANYA! Ada kadar yang harus dijaga untuk keseimbangan hidup. Kalau istilah jawanya: NGONO YO NGONO, TAPI YO OJO NGONO, gitu ya gitu, tapi jangan terlalu seperti itu. Jangan berlebihan.
Malam itu aku merasa tentram bahagia. Aku bisa komunikasi dengan belahan jiwaku dan belahan uangku -  suatu saat kan emang uangku untuk dia. aku ingin serius sama dia. aku tidak ingin hubungan ini berhenti sampai pacaran saja. Percuma dong. Kalau memang cinta, ya pertahankan dia dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Cinta itu bukan tentang perasaanmu yang tetap sayang kepadanya. Lantas kalau perasaan itu hilang, kamu malah meninggalkannya. Cinta itu nggak senaif itu. Cinta itu lambang kedewasaan seseorang. Sehingga orang yang benar-benar mencintai, maka dia akan mengerti bagaimana seharusnya dia tanggungjawab kepada komitmen awal.
Hargai wanita. Jangan permainkan wanita. Mereka adalah tulang rusuk kita. Kalau kita menyia-siakan mereka, maka kita sama saja menghina Allah SWT yang sudah menjadikan wanita dari bagian diri kita. Okey. Kita harus didik mereka dengan sebaik mungkin. Karena wanita adalah cerminan kewibawaan seorang laki-laki. Almar’atu hiya mir’atul muru’ah.
Malam sudah semakin larut dan membawa lamunanku semakin dalam tersungkur ke dalam lelapku. Entah bagaimana kantukku mencuri kesadaranku sehingga yang tersisa adalah hampa. Memang kehampaan terkadang sangat diperlukan untuk menyeimbangkan ego dan cintamu. Setelah mentari esok terbit membumbung lalu membiaskan senyummu, maka saat itulah kau akan menjadi dewasa dan bertanggung jawab kepada wanitamu.
Aku terlelap.
Entah apa yang sedang terjadi selama malam itu.



[1] Istilah anak zaman sekarang ketika mengatakan “males gerak” dengan menyingkatnya menjadi “mager”.
[2] Bahasa jawa yang berarti: disentuh empuk, kalau dipukul keras.

Minggu, 26 November 2017

Hatta Ya’tiyakal Yaqin


“Entah, ini soal ketakutanku tentang waktu yang akan terbuang sia-sia atau ketakutanku yang belum menemukan jati diriku,” batinku. Karena sampai detik ini, aku belum mampu memantapkan diriku sendiri; mau jadi apa? – antara menjadi penulis atau menjadi seorang komikus. Kedua hal tersebut adalah salah satu hobi yang aku sukai. Menggambar sudah dari kecil, sejak aku duduk di bangku kelas lima MI – terus berkembang sampai sekarang. Meski perkembangannya nggak begitu besar ketimbang temanku, Iqbal – panggilannya. Sedangkan menulis bisa dikatakan hobi baru karena mulai suka menulis ketika aku pertama kali masuk ke MTs. Sunan Barmawi. Aku masih ingat betul jenis tulisan apa yang aku buat waktu itu. Apalagi coba kalau nggak puisi alay bin lebay yang isinya bahas cinta. Ya hal wajar untuk remaja usia segitu.
Dari dua skill – bukan sikel – tersebut, aku menjadi orang yang bingung dan nggak jelas. Bahkan detik-detik kopiku tinggal satu “serutupan” aku masih bengong. Penulis, komik? Penulis, komik?
Sementara itu, temenku – Zaenullah namanya – nggak kalah kalang kabut mikirin jati dirinya. Entah kenapa kita sama-sama bingung. Terlalu banyak ngambil mata kuliah Filsafat kali ya. Hahah... tak lihatin dia sedang asik maini HP-nya. Matanya fokus mengikuti jempolnya ke atas dan ke bawah. Mungkin sedang baca chat – cari info lowongan kerja. Maklum, kita masih pengangguran mencari jati diri.
“Zen, diminum lho kopimu”, tegurku, mencoba mencairkan suasana.
“oh iya. Bentar lagi,” jawabnya. “Masih baca chat WA”, lanjutnya. Kepalanya kembali enghadap ke arah HP. Artinya dia memang sedang fokus.
Malam ini memang terasa dingin. Sisa air hujan sesekali menetes dari atap gerobak nasi kucing, jatuh di lenganku. Tetapi mobil dan motor banyak yang berlalu lalang dengan lampu yang terang – kombinasi putih, kuning dan merah. Indah juga, pikirku. Suara erangan mesinnya juga tak mau kalah mempesona telingaku supaya tidak tuli dari keramaian jalan dan kehidupan. Ada satu isyarat yang harus aku tangkap bahwa hidup itu tidak ada yang sia-sia jika aku mau berfikir dan bertindak.
“pak, nambah air putih hangat, njeh.” Pintaku kepada bapak pemilik angkringan.
“iya, mas.” Jawabnya sambil tangannya meraih gelas, hendak diisi air pesananku.
Sebelumnya udah tau apa itu angkringan tidak? Angkringan adalah gerobak dorong yang di dalamnya terdapat tempat memanaskan air – buat wedang nantinya, dan ada nasi kucing serta goreng-gorengan. Tak ketinggalan juga kopi. Bagiku yang mantap adalah kopi dan nasi kucingnya. Karena murah meriah. Haha. Terutama bagi mahasiswa yang lagi bokek atau tirakat.
Kulihat bapaknya seperti bahagia. Dia menerima dan menjalani hidup ini tanpa “ba-bi-bu”. Yang ada di depannya saat ini adalah tes ujian yang harus dia garap dengan menuliskan jawabannya -  dengan menjalaninya, memanfaatkannya menjadi lebih baik. Tidak hanya berhenti di kepala. Hidup tidak hanya untuk difikirkan saja, tapi juga untuk dijalani.
“Monggo, mas, airnya.” Gelas air putih disodorkan ke arahku. Kulihat wajahnya. Bapak itu tersenyum ramah.
Aku tersenyum kepada bapak angkringan – aku nggak sempet tanya namanya.
Bapak angkringan kembali meladeni pelanggan yang lain. Angkringannya cukup ramai, meski sudah jam sembilan malam. Semua pelanggannya laki-laki. Ada sih tadi aku lihat cewek, pakai kerudung dan sambil mendekap kitab kuning. Anak pondokan. Aku sih kenal banget makhluk unik ini. Kan aku juga termasuk makhluk unik ini. Tapi bedanya aku gak jelas. Kalau mbak-mbaknya jelas.
kok bisa nggak jelas?
Bisa lah. Wong aku bandel, sering keluar malam, dan kalau ada acara aku sering banget gak pamit – pamitnya pas pulang selesai acara. Terus dimarahi sama Kiai. Okey, jangan bahas soal ini terlalu jauh. Takut dibaca sama bapak ibuku nanti. Nggak dapet uang jajan payah aku.
Kuteguk sedikit air putih untuk menghilangkan rasa gatal di tenggorokanku habis minum kopi. Nggak tanggung-tanggung kalau aku minum kopi. Dua jenis kopi aku minum. Ada kopi hitam dan kopi GoodDay. Sebetulnya nggak aku saja yang minum kopi ini. Aku joinan sama Zaenullah. Kulirik dia masih nyaman aja gesek-gesek layar HP-nya.
Aku berusaha mengajaknya berbicara yang berarti supaya tidak sia-sia waktu dua jam dari tadi. Aku bertanya dua hal yang masih mengganjal di kepalaku – membuatku pusing juga. Siapa tahu dia punya saran. Kan dia juga kritis kalau soal kehidupan. Toh dia juga lebih tua dariku – lebih banyak makan garam.
“Aku cocoknya jadi penulis apa pembuat komik, Zen?”
“Menurutku, kamu lebih pantas jadi peneliti.” Jawabnya sambil menyulut rokok. HP-nya sudah dilepas ternyata.
“Hah? Peneliti apa?” Aku bingung. Cocok dari mana aku jadi peneliti.
“Peneliti dan pengamat pendidikan, Mid,” jawabnya setelah sejenak menyedot rokoknya.
Kok kamu bisa bilang seperti itu, alasannya?” tanyaku lagi semakin penasaran.
“Dari artikel-artikelmu. Artikelmu tadi yang tentang kritik setrategi pendidikan active learning dan strategi Konvensional juga bagus,” jelasnya.
Jujur, aku sedikit senang dipuji tulisanku. Karena, secara aku nggak bisa nulis dan nggak ada yang bilang tulisanku bagus. Tapi dia? Malah bilang tulisanku bagus.
Tapi ya, terimakasih banyak atas pujiannya.
“Tetapi peneliti atau pengamat pendidikan ini yang dimaksut pendidikan yang murni pendidikan to? Tidak pendidikan yang ada di Kemendiknas,  kemendikbud atau yang ada unsur politiknya to? Sebab, maaf, aku nggak suka membahas yang ada politiknya gitu. Disamping gak suka, aku juga gak paham apa dan bagaimana politik.” Timpalku.
Aku mulai tertarik membahas ini. Aku suka berdiskusi tentang segala hal. Ingat, bukan tentang politik. Diskusi bagiku adalah rukun untuk mendapatkan ilmu. Boleh aku singgung sedikti tentang rukun tersebut? Hitung-hitung tambah pengetahuan. Ada tiga hal jika kita ingin apa yang kita pelajari menancap betul di dalam hati, yaitu membaca, menulis dan mendiskusikannya. Kalau ketiganya sudah dipenuhi, maka, Insya Allah, ilmu itu tidak akan mudah hilang dari ingatan kita. Apalagi jika ilmu itu kita amalkan dan kita peraktekan. Lebih jossss!
“Iya yang murni pendidikan. Aku juga kalau ngomong soal politik, aku nggak “ngeh”, nggak ngerti.” Tangannya meraih kopi hitam lalu srutup...
Mulutnya yang hitam – karena rokok – ditutup rapat-rapat, tanda sedang menikmati kopi yang ada di dalam mulutnya. Kebiasaan para “Penikmat kopi”. Lama banget kalau ngadepin kopi. Beda dengan “Peminum kopi” seperti aku. Minum kopi ya kaya minum air putih. “glok-glok-glok”, habis.
Malam semakin larut. Jalan pun mulai sepi. Kulihat pelanggan yang tadi ramai memenuhi bangku duduk yang berjejer di sekitar grobak, kini sudah “suwung”[1]. Udara dinginnya justru makin ramai menusuk kulitku. Bapak angkringan juga sudah memberesi dagangannya. Hla aku? Jati diriku? Belum ketemu?
Memang belum jelas siapa aku? Jati diriku apa? Belum jelas. Aku masih mencarinya dengan berpikir kemudian melaksanakan pikiranku. Itulah kenapa diciptakannya masa muda. Supaya kita berpikir dan bertindak untuk “modal” masa depan. Memang saat ini belum terlihat, belum bisa dirasakan. Tetapi, nekatlah untuk masa depan yang mulia. Mumpung masih muda. Kalau sudah tua, terus kamu hanya berfikir menyesali tanpa bisa memperbaiki, mending perbaiki sekarang.
Jadilah oranga yang tidak jelas jati dirimu siapa. Karena kau terlalu sibuk menggali potensimu dengan mencintai segala hal, hobi dan ilmu yang kamu lihat. Karena, juga, hasil tidak pernah mengecewakan usaha.
Aku tersenyum. Aku harus nulis habis ini!
Aku dan Zaenullah balik pulang ke pondok. Kami naik motor. Dia yang nyetir dan aku yang bonceng. Motor sudah berjalan pelan membawa kami pergi menjauh meninggalkan jiwa yang ragu – ketidakjelasan mau ngapain dan mau jadi apa - menuju keyakinan bahwa aku harus menulis ide ini. Aku harus sukses. Hatta ya’tiyakal yaqiin.
Dua jam lebih tadi ternyata bermanfaat. Hasil adalah soal waktu ternyata. Yang penting usaha. Tidak perlu cemas dan takut akan waktumu. Asalkan kita tetap melangkah merasakan kerikil kehidupan. Meski terkadang kita harus mencabut duri yang menancap di telapak kaki kita nantinya. Meringis sebentar, bahkan menangis. Namun kita wajib bangkit dan berjalan lagi.
“Itu hal yang wajar dalam hidup. Itu adalah rukun kehidupan yang harus dipenuhi, kalau nggak, hidupmu akan batal.”




*)cerita di atas adalah fiktif. sekedar membangkitkan semangat kita. jika adalah salah kata, saya pribadi mohon maaf yang sebesar-besarnya. :) :)
selamat membaca...

[1] Suwung (bahasa Jawa) yang artinya sepi, tidak ada orang.