Oleh : Muhamad Nur Hamid Hidayatullah
اللهم أغنني بالعلم وزيني بالحلم، وأكرمني بالتقوى، وجملني
بالعافية (رواه إبن النجار عن إبن عمر)
Artinya:
“Ya Allah, berikanlah kekayaan ilmu kepadaku, hiasi
diriku dengan kesabaran, muliakan aku dengan ketaqwaan, perindah diriku dengan kesahatan.
(HR. Ibnu An-Najar dari Ibnu Umar) - buka kitab Mukhtarul Ahadist An-Nabawiyah (edisi ke-12), cetakan Karya Taha Putra, hadist yang ke 250, halaman 30.
Keterangan:
Hadist di atas mengajarkan kita terkait pentingnya ilmu,
kesabaran, ketaqwaan, dan kesehatan. Sebab dengan keempat hal tersebut kita
akan mendapatkan kekayaan, kemuliaan dan indah di mata manusia. Akan tetapi,
kita tidak bisa serta merta mendapatkan itu hanya mengandalkan diri kita. Kita harus
melibatkan kekuatan Allah SWT. Tidak ada daya dan upaya apapun kecuali karena ada
campur tangan Allah. Kita harus berdoa kepada-Nya dalam keadaan dan tentang
apapun.
Ilmu sangat penting bagi kehidupan manusia, kehidupan
dunia maupun akhirat. Penguasaan ilmu merupakan suatu kewajiban bagi muslim. Mengingat,
seluruh aspek kehidupannya telah diatur oleh Islam. Ilmu adalah sekat pembeda
antara orang yang berilmu dan tidak. Orang beilmu akan berjalan mantap tanpa
keraguan. Berbeda dengan orang tidak berilmu. Dia akan menjalankan sesuatu
dengan kebimbangan, was-was, bahkan tidak tahu sama sekali sehingga dia bisa
terjerumus pada lembah kekeliruan. Bila orang tak berilmu merasa yakin
sekalipun, itu tidak bisa dipertanggungjawabkan karena tidak berlandaskan ilmu.
Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu
pengetahuan. Terbukti dengan peristiwa turunnya ayat pertama kepada Rasulullah
Saw berbunyi “Iqra’”, bacalah. Padahal Rasulullah tidak bisa membaca dan
menulis, Allah tetap memerintahkannya untuk membaca. Itu adalah isarat
memerangi kebodohan dengan belajar dan belajar – belajar dari buku maupun dari
kehidupan sekeliling.
Ketika seorang muslim berilmu maka dia akan lebih sabar
dalam menghadapi apapun. Karena dia tahu bahwa yang terjadi dalam hidupnya
adalah kehendak Allah SWT. Ketika dirinya tertimpa suatu masalah, misalkan saja
terbelit hutang, dia akan sanggup membayarnya. Sebab dia yakin dia punya Allah
yang MahaKaya. Sehingga dia terus berusaha kerja keras untuk menutupi
hutangnya. Sehingga dia tidak gampang menyalahkan orang ataupun keadaan.
Menurut Adiba, sabar adalah perihal menahan diri dari
berputus asa, meredam amarah jiwa, menahan lisan untuk tidak mengeluh, serta
menahan badan berbuat kemungkaran.[1]
Dari pengertian tersebut dapat kita pahami bahwa sabar itu bukan sikap apatis,
tidak perduli dengan keadaannya, menyerah begitu saja, tidak mau berusaha keras
mencari jalan keluar sekaligus memperbaiki dirinya. Karena – sebagaimana diterangkan
oleh Shofiyullah Muzamil, Pengasuh PPM. Al-Ashfa, sesuatu yang tidak kita
harapkan adalah dampak dari perilaku diri kita sendiri. Niscaya kita tidak boleh
lupa untuk membenahi diri disamping ikhtiyar mencari solusi. Kesabaran seseorang
akan melahirkan ketaqwaan dalam hatinya. Seorang yang tidak bisa sabar maka
keimanan dan ketaqwaannya dipertanyakan. Bagaimana mungkin orang yang percaya
kepada Allah malah tidak mau menerima ketentuan dari-Nya? Bagaimana mungkin
orang yang iman kepada Allah, tidak mau mensyukuri segala pemberian Allah?
Kesabaran dan ketaqwaan merupakan salah bentuk emosi
positif. Sebagaimana di jelaskan pada paragraf sebelumnya, orang sabar tidak
akan mudah menyalahkan keadaan dan dirinya. Artinya dia akan lebih mudah untuk
memaafkan. Dia juga akan selalu mensyukuri apapun pemberian Allah. Sementara itu,
memaafkan dan bersyukur memiliki pengaruh yang sangat besar bagi kesehatan
mental seseorang. Jurnal Psikologi dan Kesehatan Mental[2]
mengatakan:
“Syukur adalah kondisi dimana seseorang merasakan
perasaan senang atau puas terhadap apa yang diterimanya, sehingga memunculkan
kondisi psikologi positif yang dapat menguatkan dan meningkatkan kesehatan
mental. Seorang individu dikatakan mempunyai kesehatan mental yang baik jika ia
mempunyai tingkat kesejahteraan psikologi yang tinggi dan dan tingkat stess
yang rendah...”
Dengan kata lain, syukur dapat menyebabkan seseorang
tenang, bahagia sehingga terhindar dari stress, bingung dan kehilangan arah. Pernyataan
tersebut diperkuat dengan salah satu penelitian menguji pengaruh pemaafan dan
bersyukur terhadap tinggi rendahnya kesehatan mental, telah dilakukan oleh
Toussaint dan Friedman (2009) yang menemukan korelasi positif antara pemaafan
dan kesejahteraan psikologi dan berkorelasi negatif dengan tekanan emosional. Selain
itu, penelitian ini juga menemukan bahwa kemampuan bersyukur berhubungan
positif dengan kesejahteraan psikologi dan berkorelasi negatif dengan tekanan
emosional.[3]
Dan tentu, kesejahteraan psikologi itu akan menjalar ke kesejahteraan fisik
sebagai wadahnya.
Akhirnya kita tahu kenapa Rasulullah Saw mengajarkan
kepada umatnya untuk senantiasa berdoa kepada Allah SWT diberikan ilmu,
kesabaran, ketaqwaan dan kesehaatan. Tidak lain tidak bukan supaya umat islam
memiliki kebahagiaan di dunia dan di akhiratnya. Keempat hal itu adalah modal
menjadi manusia yang ideal. Manusia sebenarnya manusia.
[2] INSAN Jurnal
Psikologi dan Kesehatan Mental, 2017, Vol. 2(1), 33-43, doi:
10.20473/jpkm.v2i12017.33-43 Dikirimkan: 28 Desember 2017 Diterima: 31 Mei 2017 Diterbitkan: 26
Juni 2017
0 komentar:
Posting Komentar