About


Get this widget:

Kamis, 29 Maret 2018

DOA DARI RASULULLAH: DARI SEBUAH DOA MENUJU MANUSIA SEUTUHNYA

Oleh : Muhamad Nur Hamid Hidayatullah

اللهم أغنني بالعلم وزيني بالحلم، وأكرمني بالتقوى، وجملني بالعافية (رواه إبن النجار عن إبن عمر)
Artinya:
“Ya Allah, berikanlah kekayaan ilmu kepadaku, hiasi diriku dengan kesabaran, muliakan aku dengan ketaqwaan, perindah diriku dengan kesahatan. (HR. Ibnu An-Najar dari Ibnu Umar) - buka kitab Mukhtarul Ahadist An-Nabawiyah (edisi ke-12), cetakan Karya Taha Putra, hadist yang ke 250, halaman 30.



Keterangan:
Hadist di atas mengajarkan kita terkait pentingnya ilmu, kesabaran, ketaqwaan, dan kesehatan. Sebab dengan keempat hal tersebut kita akan mendapatkan kekayaan, kemuliaan dan indah di mata manusia. Akan tetapi, kita tidak bisa serta merta mendapatkan itu hanya mengandalkan diri kita. Kita harus melibatkan kekuatan Allah SWT. Tidak ada daya dan upaya apapun kecuali karena ada campur tangan Allah. Kita harus berdoa kepada-Nya dalam keadaan dan tentang apapun.

Ilmu sangat penting bagi kehidupan manusia, kehidupan dunia maupun akhirat. Penguasaan ilmu merupakan suatu kewajiban bagi muslim. Mengingat, seluruh aspek kehidupannya telah diatur oleh Islam. Ilmu adalah sekat pembeda antara orang yang berilmu dan tidak. Orang beilmu akan berjalan mantap tanpa keraguan. Berbeda dengan orang tidak berilmu. Dia akan menjalankan sesuatu dengan kebimbangan, was-was, bahkan tidak tahu sama sekali sehingga dia bisa terjerumus pada lembah kekeliruan. Bila orang tak berilmu merasa yakin sekalipun, itu tidak bisa dipertanggungjawabkan karena tidak berlandaskan ilmu.

Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Terbukti dengan peristiwa turunnya ayat pertama kepada Rasulullah Saw berbunyi “Iqra’”, bacalah. Padahal Rasulullah tidak bisa membaca dan menulis, Allah tetap memerintahkannya untuk membaca. Itu adalah isarat memerangi kebodohan dengan belajar dan belajar – belajar dari buku maupun dari kehidupan sekeliling.

Ketika seorang muslim berilmu maka dia akan lebih sabar dalam menghadapi apapun. Karena dia tahu bahwa yang terjadi dalam hidupnya adalah kehendak Allah SWT. Ketika dirinya tertimpa suatu masalah, misalkan saja terbelit hutang, dia akan sanggup membayarnya. Sebab dia yakin dia punya Allah yang MahaKaya. Sehingga dia terus berusaha kerja keras untuk menutupi hutangnya. Sehingga dia tidak gampang menyalahkan orang ataupun keadaan.

Menurut Adiba, sabar adalah perihal menahan diri dari berputus asa, meredam amarah jiwa, menahan lisan untuk tidak mengeluh, serta menahan badan berbuat kemungkaran.[1] Dari pengertian tersebut dapat kita pahami bahwa sabar itu bukan sikap apatis, tidak perduli dengan keadaannya, menyerah begitu saja, tidak mau berusaha keras mencari jalan keluar sekaligus memperbaiki dirinya. Karena – sebagaimana diterangkan oleh Shofiyullah Muzamil, Pengasuh PPM. Al-Ashfa, sesuatu yang tidak kita harapkan adalah dampak dari perilaku diri kita sendiri. Niscaya kita tidak boleh lupa untuk membenahi diri disamping ikhtiyar mencari solusi. Kesabaran seseorang akan melahirkan ketaqwaan dalam hatinya. Seorang yang tidak bisa sabar maka keimanan dan ketaqwaannya dipertanyakan. Bagaimana mungkin orang yang percaya kepada Allah malah tidak mau menerima ketentuan dari-Nya? Bagaimana mungkin orang yang iman kepada Allah, tidak mau mensyukuri segala pemberian Allah?

Kesabaran dan ketaqwaan merupakan salah bentuk emosi positif. Sebagaimana di jelaskan pada paragraf sebelumnya, orang sabar tidak akan mudah menyalahkan keadaan dan dirinya. Artinya dia akan lebih mudah untuk memaafkan. Dia juga akan selalu mensyukuri apapun pemberian Allah. Sementara itu, memaafkan dan bersyukur memiliki pengaruh yang sangat besar bagi kesehatan mental seseorang. Jurnal Psikologi dan Kesehatan Mental[2] mengatakan:
“Syukur adalah kondisi dimana seseorang merasakan perasaan senang atau puas terhadap apa yang diterimanya, sehingga memunculkan kondisi psikologi positif yang dapat menguatkan dan meningkatkan kesehatan mental. Seorang individu dikatakan mempunyai kesehatan mental yang baik jika ia mempunyai tingkat kesejahteraan psikologi yang tinggi dan dan tingkat stess yang rendah...”

Dengan kata lain, syukur dapat menyebabkan seseorang tenang, bahagia sehingga terhindar dari stress, bingung dan kehilangan arah. Pernyataan tersebut diperkuat dengan salah satu penelitian menguji pengaruh pemaafan dan bersyukur terhadap tinggi rendahnya kesehatan mental, telah dilakukan oleh Toussaint dan Friedman (2009) yang menemukan korelasi positif antara pemaafan dan kesejahteraan psikologi dan berkorelasi negatif dengan tekanan emosional. Selain itu, penelitian ini juga menemukan bahwa kemampuan bersyukur berhubungan positif dengan kesejahteraan psikologi dan berkorelasi negatif dengan tekanan emosional.[3] Dan tentu, kesejahteraan psikologi itu akan menjalar ke kesejahteraan fisik sebagai wadahnya.

Akhirnya kita tahu kenapa Rasulullah Saw mengajarkan kepada umatnya untuk senantiasa berdoa kepada Allah SWT diberikan ilmu, kesabaran, ketaqwaan dan kesehaatan. Tidak lain tidak bukan supaya umat islam memiliki kebahagiaan di dunia dan di akhiratnya. Keempat hal itu adalah modal menjadi manusia yang ideal. Manusia sebenarnya manusia.



[1] Adiba A. Soebachman, 6 Spirit Maha Dasyat, (Yogyakarta: Syura Media Utama, 2014), halm. 65.
[2] INSAN Jurnal Psikologi dan Kesehatan Mental, 2017, Vol. 2(1), 33-43, doi: 10.20473/jpkm.v2i12017.33-43 Dikirimkan: 28 Desember 2017 Diterima: 31 Mei 2017 Diterbitkan: 26 Juni 2017
[3] Ibid. Halm. 35.

0 komentar:

Posting Komentar