About


Get this widget:

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 27 Oktober 2016

ORANG TUA MENGANTARKAN ANAKNYA KEPADA AGAMA DAN AKHIRAT

ORANG TUA MENGANTARKAN ANAKNYA KEPADA AGAMA DAN AKHIRAT
oleh: Must Hamid
Kita – termasuk saya (dulu) – tentu mempunyai pemahaman bahwa guru – lebih-lebih Kiai – adalah orang yang harus kita hormati lebih dulu ketimbang orang tua. Sebab mereka mengantarkan kepada agama; mempelajari agama sehingga tahu agama. Mereka juga yang menuntun kita menuju akhirat; mendidik kita supaya mengorientasikan tujuan hidup ini menuju akhirat, yang kekal. Sedangkan orang tua hanya dianggap sebagai lantaran anak ada di dunia ini kemudian memberi makan hingga tumbuh besar.
Nah, saya tidak setuju dengan stetemen bahwa orang tua adalah sebab kehadiran anak di dunia ini kemudian mencari nafkah agar bisa makan dan tumbuh menjadi besar tinggi. Orang tua semuanya, baik yang ahli agama maupun yang tidak tahu apapun sekaligus – tidak menuntun anak kepada agama dan akhirat.
Ketika hanya melihat wujud fisik, anak belajar ilmu agama kepada guru atau Kiai dan tinggal di lembaganya misalkan Pesantren, memang mereka lah yang menuntun anak didiknya kepada pemahaman agama dan akhirat. Namun permasalahannya, kita tidak melihat kenapa anak ini bisa sampai disini? Siapa yang mendukung dan merestuinya? Tentu orang tua.
Karena rasa sayang dan cinta serta kesadaran orang tua bahwa dia tidak tahu agama, tidak ada waktu untuk mendidik anaknya, mereka ikhlas menitipkan anaknya ke pesantren, asrama atau yang lain demi kebaikan anaknya. Bapak ibu jelas merasa berat jika anaknya jauh darinya. Karena cinta dan kesadaran itulah orang tua mendorong anaknya untuk belajar dengan menitipkannya kepada orang yang ahli dalam dalam bidang agama. Sehingga pesantren, asrama atau sekolah penuh dengan anak-anak yang mau belajar.
Seorang muslim menjalani hidupnya hendaknya dengan berpijak pada aturan-aturan Allah dan Rasulullah baru kemudian Ulama. Menyikapi permasalahan ini pun harus dilihat terlebih dahulu dalil-dalil nashnya. Lalu kita bisa membandingkan antara ayat-ayat dan juga hadisnya. Sehingga bisa diketahui mana yang dihormati pertama kali dan kedua kali. Harapan akhirnya kita bisa tahu bahwa orang tua lah yang pertama kali harus kita hormati kemudian guru atau kiai, atau menghormati guru dalam rangka memuliakan orang tua.
Banyak sekali dalil, baik al-Quran, Hadis maupun pendapat Ulama yang menerangkan permasalahan berbakti kepada kedua orang tua dengan kalimat yang jelas dan eksplisit. Dibandingkan dengan dalil nash tentang berbakti kepada guru, dasar birrul walidain lebih kuat. Karena ada beberapa alasan, pertama, statement dalilnya sangat jelas sehingga tidak membutuhkan penafsiran. Kedua, jumlah dalil lebih banyak tentang menghormati kepada orang tua, sedangkan dalil menghormati guru jumlahnya sedikit.
Oleh karena itu, menghormati orang tua harus diperioritaskan ketimbang hormat ke guru. Jika ada suatu pertentangan pendapat orang tua dengan guru, kita hendaknya lebih mementingkan pendapat orang tua tanpa mengacuhkan pandangan guru. Kita bisa saja mengkomunikasikan terlebih dahulu kepada guru terkait keinginan orang tua. Kalaupun nanti guru tidak setuju kita bisa berbicara secara halus dan jelas. Adapun jika guru benar-benar tidak mengizinkan, ya, kita ngomong apa adanya kepada orang tua. Yang terpenting dalam hati sudah kita niatkan untuk mementingkan orang tua, kita niat mengamalkan dalil-dalil alquran tersebut; birrul walidain.

Dari analisa diatas, saya ingin mengajak siapapun, baik yang guru, kiai maupun calon guru, calon kiai, hendaklah menyadari bahwa orang tua lah yang harus dihormati anak terlebih dahulu. Apalagi orang tua pasti sangat ingin melakukan sesuatu untuk anaknya. Kalau misal pandangan orang tua tadi, bagi guru, kurang baik, cobalah untuk mengkomunikasikannya kepada orang tua anak. Jangan langsung melarang anak mengikuti kehendak orang tua. Selain mengingat dalil-dalil nash di atas, juga dampak pemahaman tersebut bagi anak.

Senin, 24 Oktober 2016

SHOUGHT A CLUE


SHOUGHT A CLUE
By: Must Hamid
We are a charitable human. Its mean that we live with others. Absurdity live alone. Undeniable need a other’s help, even, although we die still in case of need. Cause of that, the relationship must be arranged throgh the rules; the rule of social and religion. In order to rub along with together.
Life has problems, certainly, Above all, think of we are the charitable human – go through a period of our life with the other, neighbors, family and friends. So, we must keep that rules consistently. Admiring and understanding each others are its aim. That are the soul of life. And I think that is the natural tendency from God (Allah) that almost of human would rather it. Be firm many errors, If some body do not like a harmony.
I told before that problems present definitely. Those are such as flavors on the meal. But cause of flavors, the meal become delicious. Do you solid for my opinions? So, as a matter of fact, those are not the problem. The problem is our attitud about that problems.
When the problem comes, for instance the lamp is broken because every night used by some people who are to study. don’t only look them. because the reason is not sure out of that people. May be it be caused by the cables insaid, there is something wrong on it. We must check it first, try to get the root of why the lamp is broken. Then will be known the motive.
Islam gives one a dressing about tabayun when there is problem. Dont see fit who goes the wrong way to work first. Because, it can be not somebody wrong, it can be caused its something own. Administer justice without checking up first, the risks are too impacted in and out of season. The redoubtable is reverenge, the example.
So, we have to take care on coming to a decision about the problem. don’t up against the problem with lustfull and wiseacre. All the better be a mature and wise person confront that matter.

SANTRI GO INTERNASTIONAL


SANTRI GO INTERNASTIONAL
oleh: Must Hamieth

Santri adalah “makhluk antik” ditengah-tengah era globalisasi, dengan their look yang khas. Mereka tidak tergerus dengan kemegahan fasilitas yang disuguhkan oleh kemodernan. Mereka tetap pleasant dengan sarungnya dari pada menggunakan celana Jeans Pencil. Bahkan Peci kusut pun masih mereka pertahankan walapun ada banyak topi gaul yang dipromosikan orang.
Pola pikir mereka pun sangat sederhana. Tidak meradang dengan keruwetan politik negara ini, tidak ngiler dengan hingar bingar keramaian modernisasi di segala sektor. Mereka tekun mempelajari agama; al-Quran, Hadist dan al-Fiyah-nya. Namun bukan berarti mereka orang yang tidak peduli dengan masyarakat. Saat sudah waktunya nanti, mereka langsung terjun dan menjadi solutor bagi problematika masyarakat.
Akan tetapi dengan corak pemikiran Santri yang sederhana dan menutup diri dari kemodernitas zaman, kebanyakan orang menganggap mereka adalah kelompok yang tertinggal, tidak bisa menggikuti perkembangan zaman dan kolot.
Oleh karena itu, kita harus menepis anggapan semacam itu. Lantas pertanyaannya, bagaimanakah santri seharusnya tampil di era modern? Apakah tetap mempertahankan corak pemikiran awal mereka? Kedua pertanyaan tersebut saya suguhkan disini supaya bisa mengantarkan pemahaman kita bagaimana seharusnya “wujud” kaum sarungan modern.
Santri hendaklah menjadi orang tanpa batas ruang dan waktu. Dalam artian, pemikiran mereka harus melesat jauh melebihi zamannya, kalau bisa. Jika tidak bisa, ya, berfikir sesuai kondisi zaman yang dihadapi. Sebuah kewajiban bagi santri modern untuk berhijrah, melampui lingkungannya.
Go Internasional. Kaum Sarungan diharapkan berani berbicara di kancang nasional, lebih-lebih internasional. tentunya harus menguasai bahasa inggris – bahasa dunia saat ini. Tidak melulu mengkaji literatur atau kitab berbahasa arab gandul. Tegasnya, santri modern harus menguasai bilingual. Sehingga sepak terjangnya lebih luas. Ketika berbicara atau seminar di kalangan santri menggunakan bahasa arab. Ketika presentasi di forum internasional tidak glagapen karena sudah bisa bahasa inggris.
Yudian W. Asmin, dalam pengantar bukunya “Jihad Ilmiyah dari Tremas ke Harvard, berkomentar bahwa dia ingin berbicara kepada audien yang tidak pernah tersentuh dengan kaum santri, yaitu tradisi Barat. Lebih lanjut Beliau menuturkan kalau pesantren terlalu membanggakan kekuatannya, yaitu kemampuan membaca kitab gundul, tapi hampir-hampir tidak mau memperbaiki kelemahannya. (Asmin, 2009: XIX)
Ra’ adalah rooghibun fil mandhub artinya sepi dari mengharap imbalan tapi giat untuk bekerja. Mereka berbuat bukan untuk mendapatkan imbalan yang banyak sebagaimana orang bekerja mencari penghasilan. Namun mereka berbuat karena ingin memberi yang terbaik bagi orang lain dan masyarakat luas. Mereka sangat yakin bahwa kebaikan yang diberikan kepada orang lain, hakekatnya adalah kebaikan untuk dirinya kelak di hari kiamat. Mengingat falsafah julukan tersebut, Santri, seharusnya bekerja giat mengembangkan potensi dirinya. Benar-benar ikhlas dalam menelurkan karya fenomenal, tanpa mengenal lelah ataupun materi.
Oleh karena itu, seorang santri modern harus bisa melenggang ke kancah internasional dan corak berfikir ilmiyah, lebih-lebih mau melakukan riset. tentunya tidak kehilangan jati dirinya sebagai santri yang konsisten dengan ketaatan religius. Karena ketaatan beragama adalah ruh seorang santri. Selanjutnya tinggal menerjemahkannya ke dalam maha karya yang mendunia.