Oleh : Muhamad Nur Hamid Hidayatullah
(Santri PPM. Al-Ashfa Yogyakarta)
Rasulullah Saw bersabda:
اللهم
ارحم خلفائي الذين من بعدي، الذين يروون أحاديثي وسنتي ويعلمونها الناس ( رواه
الطبراني عن علي)
Artinya:
“Ya Allah, kasih-sayangilah para penggantiku setelah
(wafat)ku. Yaitu orang-orang yang memperhatikan hadist-hadist dan
sunnah-sunnahku. Kemudian mereka mengajarkannya kepada umat manusai.” (HR.
At-Thabrany dari ‘Ali)
Keterangan:
Kita ini adalah khalifah (pengganti) Rasulullah Saw. Pengganti
dalam arti menggantikan posisi Nabi Muhammad Saw sebagai pendakwah. Bukan sebagai
pengganti kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad Saw. Sebab Nabi sekaligus
Rasulullah terakhir – setelah tidak ada Nabi dan Rasul lagi - adalah beliau junjungan teragung yang selalu
kita harapkan safaatnya kelak di hari Kiamat.
Menyebarkan ajaran agama Islam bukan sembarang tugas. Seorang
pendakwah harus menguasai betul tentang apa dia ajarkan, dalam hal ini agama
Islam. Logikanya gampang saja, bagaimana dia bisa mengajarkan agama yang benar
kalau dirinya sendiri tidak tahu tentang agamanya? Atau analigi mudahnya
seperti seseorang disuruh menjelaskan tentang masakan yang ada di hadapannya
padahal yang masak bukan dirinya. Apa yang terjadi? Pasti ‘plonga-plongo’ waktu
habis untuk mengucapkan “enggg”. Pada akhirnya yang keluar adalah ilmu ngawur
tanpa dasar. Seperti itulah kiranya orang berbicara tanpa landasan ilmu yang
benar.
Berbicara tanpa ilmu memiliki dampak yang sangat fatal. Ya,
kalau benar? Kalau yang terjadi malah sebaliknya, salah? Orang yang
mendengarkan ceramahnya, apalagi yang tidak memiliki keilmuan yang cukup untuk
menyaringnya pasti akan terpengaruh. Bahkan bisa terjadi kebingungan masal di
tengah masyarakat dalam memahami dan meyakini pemahaman agama – sebagaimana di
lansir oleh situs NU Online tentang Fenomena Ulama Instan, Pintar Bicara Minim
Ilmu. Hal tersebut dikarenakan banyak pemikiran dan pendapat muncul dari orang
yang bukan ahli agama namun merasa sudah merasa menguasai ilmu agama.[1]
Menurut Kiai Anwar Zuhdi, Mustasyar PCNU Pringsewu menegaskan hakikat orang
yang berbicara tanpa ilmu dengan mengutip kitab Bidayatul Hidayah disebutkan
sebagai orang munafik yaitu pintar dan banyak bicara namun bodoh dalam amal dan
hatinya.
Oleh karena itulah, Rasulullah memberikan pengertian
tentang siapa yang dimaksut dengan para pengganti setelah beliau. Yaitu orang
yang senantiasa memperhatikan (yarwuuna) sunah dan hadist Nabi Muhammad
Saw. Memperhatikan tersebut melibatkan kesabaran, minat dan ketelitian serta mengindahkan apa yang
diperhatikan.[2] jadi,
pengganti Rasulullah adalah mereka yang mau mencurahkan pikirannya dan
perbuatannya untuk mengamalkan apa yang disampaikan dan dicontohkan oleh
Rasulullah.
Perhatiannya terhadap hadist dan sunnah Nabi tentu harus
berkesinambungan atau istikamah. tidak boleh bolong-bolong. Dirinya harus
menjadikan hadist dan sunnah berada dalam urat nadinya, harus meleburkannya
menjadi hembusan nafas. Dia akan mati ketika nadi tidak lagi berdenyut dan
nafas hilang dari dirinya. Dengan kata lain, hadist dan sunnah harus menjadi
rutinitas dalam hidupnya. Hal itu tidak akan bisa dicapai tanpa adanya proses
selalu mengamalkannya. Kata Yarwuna menggunakan fi’il Mudlori’
mengidentifikasikan adanya prinsip istiqamah dalam melaksanakan ajaran Rasulullah.
Memperhatikan dan memperaktikkannya dalam kehidupan
pribadi pun tidak hanya cukup tanpa mengajarkannya kepada manusia. Nikmatnya buah
ilmu hanya bisa dirasakan saat diajarkan kepada orang lain. bahkan ilmu yang
diajarkan kepada orang lain akan menjadi sedekah paling utamanya sedekah.[3]
Selain itu, diajar dan mengajar adalah dua hal yang tidak bisa lepas sejak
manusia pertama kali diciptakan.[4]
Sebagaimana diterangkan dalam surat al-Baqarah ayat 31 dan 33.[5]
Pada ayat 31 Allah Saw menunjukkan bahwa manusia adalah
makhluk pembelajar dengan diajarkan oleh Allah SWT (Guru. Pen). Allah
mengajarkan nama-nama sesuatu kepada Adam as. Allah ‘mentransfer’ ilmu
pengetahuan-Nya kepada Adam, seorang manusia, ilmu yang tidak diajarkan kepada
para malaikat.[6] Selain sebagai
bentuk pemuliaan Allah terhadap manusai, juga untuk membuktikan bahwa manusia diciptakan
untuk diajar dan belajar. Sedangkan pada ayat ke 33, Adam diperintahkan oleh
Allah untuk memberitahukan nama-nama tersebut kepada para malaikat.[7]
Dengan kata lain, Adam as mengajarkan ilmu yang telah dia peroleh dari Tuhannya
kepada malaikat-malaikat.
Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa untuk
menjadi penggantinya Rasulullah dalam berdakwah yang selalu dirahmati Allah,
setidaknya ada beberapa syarat yang harus dipenuhi; menguasai ilmu agamanya,
memperhatikan hadist dan sunnah Nabi Muhammad SAW (baca: ilmu agama), dan
mengajarkannya kepada umat manusia.
baca juga:
baca juga:
[1] Muhamad Faizin, Fenomena Ulama Instan, Pintar Bicara Minim
Ilmu, http://www.nu.or.id/post/read/75894/fenomena-ulama-instan-pintar-bicara-minim-ilmu,
diakses pada tanggal 4 April 2018 pukul 12.34
[3] Assayyid Ahmat al-Hasyimi, Mukhtarul Ahadist
An-Nabawiyah wal Hikamil Muhammadiyah, Edisi 12 (Semarang : Karya Taha
Putra), halm. 25
[4] Muhamad
Ichsan, Psikologi Pendidikan dan Ilmu Mengajar, Jurnal Edukasi vol. 2, nomor 1,
Januari 2016, halm. 61
[5] Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Al-Syeikh,
Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, (Bogor : Pustaka Imam Syafi’i, 2004), halm. 104
0 komentar:
Posting Komentar