About


Get this widget:

Selasa, 03 April 2018

JANGAN SALAH! KITA ADALAH KHALIFAHNYA RASULULLAH


Oleh : Muhamad Nur Hamid Hidayatullah
(Santri PPM. Al-Ashfa Yogyakarta)

Rasulullah Saw bersabda:
اللهم ارحم خلفائي الذين من بعدي، الذين يروون أحاديثي وسنتي ويعلمونها الناس ( رواه الطبراني عن علي)
Artinya:
“Ya Allah, kasih-sayangilah para penggantiku setelah (wafat)ku. Yaitu orang-orang yang memperhatikan hadist-hadist dan sunnah-sunnahku. Kemudian mereka mengajarkannya kepada umat manusai.” (HR. At-Thabrany dari ‘Ali)

Keterangan:
Kita ini adalah khalifah (pengganti) Rasulullah Saw. Pengganti dalam arti menggantikan posisi Nabi Muhammad Saw sebagai pendakwah. Bukan sebagai pengganti kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad Saw. Sebab Nabi sekaligus Rasulullah terakhir – setelah tidak ada Nabi dan Rasul lagi -  adalah beliau junjungan teragung yang selalu kita harapkan safaatnya kelak di hari Kiamat.
Menyebarkan ajaran agama Islam bukan sembarang tugas. Seorang pendakwah harus menguasai betul tentang apa dia ajarkan, dalam hal ini agama Islam. Logikanya gampang saja, bagaimana dia bisa mengajarkan agama yang benar kalau dirinya sendiri tidak tahu tentang agamanya? Atau analigi mudahnya seperti seseorang disuruh menjelaskan tentang masakan yang ada di hadapannya padahal yang masak bukan dirinya. Apa yang terjadi? Pasti ‘plonga-plongo’ waktu habis untuk mengucapkan “enggg”. Pada akhirnya yang keluar adalah ilmu ngawur tanpa dasar. Seperti itulah kiranya orang berbicara tanpa landasan ilmu yang benar.
Berbicara tanpa ilmu memiliki dampak yang sangat fatal. Ya, kalau benar? Kalau yang terjadi malah sebaliknya, salah? Orang yang mendengarkan ceramahnya, apalagi yang tidak memiliki keilmuan yang cukup untuk menyaringnya pasti akan terpengaruh. Bahkan bisa terjadi kebingungan masal di tengah masyarakat dalam memahami dan meyakini pemahaman agama – sebagaimana di lansir oleh situs NU Online tentang Fenomena Ulama Instan, Pintar Bicara Minim Ilmu. Hal tersebut dikarenakan banyak pemikiran dan pendapat muncul dari orang yang bukan ahli agama namun merasa sudah merasa menguasai ilmu agama.[1] Menurut Kiai Anwar Zuhdi, Mustasyar PCNU Pringsewu menegaskan hakikat orang yang berbicara tanpa ilmu dengan mengutip kitab Bidayatul Hidayah disebutkan sebagai orang munafik yaitu pintar dan banyak bicara namun bodoh dalam amal dan hatinya.
Oleh karena itulah, Rasulullah memberikan pengertian tentang siapa yang dimaksut dengan para pengganti setelah beliau. Yaitu orang yang senantiasa memperhatikan (yarwuuna) sunah dan hadist Nabi Muhammad Saw. Memperhatikan tersebut melibatkan kesabaran, minat dan  ketelitian serta mengindahkan apa yang diperhatikan.[2] jadi, pengganti Rasulullah adalah mereka yang mau mencurahkan pikirannya dan perbuatannya untuk mengamalkan apa yang disampaikan dan dicontohkan oleh Rasulullah.
Perhatiannya terhadap hadist dan sunnah Nabi tentu harus berkesinambungan atau istikamah. tidak boleh bolong-bolong. Dirinya harus menjadikan hadist dan sunnah berada dalam urat nadinya, harus meleburkannya menjadi hembusan nafas. Dia akan mati ketika nadi tidak lagi berdenyut dan nafas hilang dari dirinya. Dengan kata lain, hadist dan sunnah harus menjadi rutinitas dalam hidupnya. Hal itu tidak akan bisa dicapai tanpa adanya proses selalu mengamalkannya. Kata Yarwuna menggunakan fi’il Mudlori’ mengidentifikasikan adanya prinsip istiqamah dalam melaksanakan ajaran Rasulullah.
Memperhatikan dan memperaktikkannya dalam kehidupan pribadi pun tidak hanya cukup tanpa mengajarkannya kepada manusia. Nikmatnya buah ilmu hanya bisa dirasakan saat diajarkan kepada orang lain. bahkan ilmu yang diajarkan kepada orang lain akan menjadi sedekah paling utamanya sedekah.[3] Selain itu, diajar dan mengajar adalah dua hal yang tidak bisa lepas sejak manusia pertama kali diciptakan.[4] Sebagaimana diterangkan dalam surat al-Baqarah ayat 31 dan 33.[5]
Pada ayat 31 Allah Saw menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk pembelajar dengan diajarkan oleh Allah SWT (Guru. Pen). Allah mengajarkan nama-nama sesuatu kepada Adam as. Allah ‘mentransfer’ ilmu pengetahuan-Nya kepada Adam, seorang manusia, ilmu yang tidak diajarkan kepada para malaikat.[6] Selain sebagai bentuk pemuliaan Allah terhadap manusai, juga untuk membuktikan bahwa manusia diciptakan untuk diajar dan belajar. Sedangkan pada ayat ke 33, Adam diperintahkan oleh Allah untuk memberitahukan nama-nama tersebut kepada para malaikat.[7] Dengan kata lain, Adam as mengajarkan ilmu yang telah dia peroleh dari Tuhannya kepada malaikat-malaikat.
Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi penggantinya Rasulullah dalam berdakwah yang selalu dirahmati Allah, setidaknya ada beberapa syarat yang harus dipenuhi; menguasai ilmu agamanya, memperhatikan hadist dan sunnah Nabi Muhammad SAW (baca: ilmu agama), dan mengajarkannya kepada umat manusia.

baca juga:




[1] Muhamad Faizin, Fenomena Ulama Instan, Pintar Bicara Minim Ilmu, http://www.nu.or.id/post/read/75894/fenomena-ulama-instan-pintar-bicara-minim-ilmu, diakses pada tanggal 4 April 2018 pukul 12.34
[2] https://kbbi.web.id/perhati, diakses pada tanggal 4 April 2018 pukul 12.42
[3] Assayyid Ahmat al-Hasyimi, Mukhtarul Ahadist An-Nabawiyah wal Hikamil Muhammadiyah, Edisi 12 (Semarang : Karya Taha Putra), halm. 25
[4]  Muhamad Ichsan, Psikologi Pendidikan dan Ilmu Mengajar, Jurnal Edukasi vol. 2, nomor 1, Januari 2016, halm. 61
[5] Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Al-Syeikh, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, (Bogor : Pustaka Imam Syafi’i, 2004), halm. 104
[6] Ibid, halm. 104
[7] Ibid,. Halm. 106

0 komentar:

Posting Komentar