About


Get this widget:

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 02 Mei 2018

Kebaikan di Dunia dan Akhirat


Rasulullah Saw bersabda:
إن الله تعالى لا يظلم المؤمن حسنة يعطى عليها في الدنيا، ويثاب عليها في الاخرة. وأما الكافر فيعطى بحسناته في الدنيا، حتى إذا أفضى إلى الاخرة لم تكن له حسنة يعطى عليها خيرا. (رواه النسائى عن أبي أمامة)
Artinya:
Sesungguhnya Allah SWT tidak akan menzhalimi mukmin dari kebaikan yang diberikan kepadanya di dunia, dan memberikannya pahala di akhirat. Adapun dengan orang kafir, Allah hanya memberinya kebaikan-kebaikan di dunia saja, ketika orang kafir sampai pada kehidupan akhirat, mereka tidak memiliki kebaikan yang diberikan kepadanya sebagai pahala.” (HR. Al-Nasai dari Abi Umamah)
Ulasan:
Gus Shovie menerangkan bahwa hadist di atas menunjukkan nilai plus orang mukmin ketimbang orang kafir. Orang mukmin dijanjikan Allah kebaikan di dunia dan di akhirat, sedangkan orang kafir hanya diberikan kebaikan di dunia saja.
Apapun yang diperbuat seorang mukmin yang diniatkan untuk mendapatkan ridla Allah maka perbuatannya itu bernilai kebaikan di dunia dan akan dibalas dengan pahala di akhirat kelak. Misalkan seorang mukmin A sedang mendirikan bisnis masakan, dirinya mendirikan bisnis tidak hanya semata-mata untuk mencari uang, namun juga diniatkan uang hasil bisnis itu untuk sedekah, atau dalam menjalankan bisnis itu, sikap jujur dan tidak menzhalimi pelanggan dijalankan dengan benar. Maka bisnisnya itu akan memberikan manfaat berupa uang dan pahala baginya.
Berbeda dengan orang kafir, dia berusaha dan mendapatkan hasil dari apa yang diusahakannya, tapi dia tidak mendapatkan hasilnya di akhirat kelak. Di dunia ini hukum sunnatullah tetap berlaku bagi siapapun, tidak memandang apakah dia mukmin atau tidak. Biarpun dirinya tidak beriman kepada Allah, tidak mengucapkan sahadat, jika orang kafir berusaha keras membanting tulang untuk mencari uang, misalnya, maka dia akan memperoleh uang yang dimaksut.
Sebaliknya, meskipun seorang mukmin, kalau dia bermalas-malasan, maka sampai kapanpun, selamanya akan menjadi miskin. Hanya saja, karena mukmin memiliki nilai plus, kemiskinannya itu juga bisa mengandung pahala baginya, asal dia bersabar atau tidak.
Setelah membaca penjelasan di atas, sudah adakah muncul pertanyaan di pikiran pembaca yang hebat? Kalau saya malah bertanya seperti ini, “Kenapa orang mukmin memiliki nilai plus, sedangkan orang kafir tidak? Apakah orang kafir juga bisa memiliki nilai plus itu?”
Jawaban pertanyaan pertanyaan adalah karena orang mukmin mempunyai karcis berbentuk dua syahadat. Orang mukmin pastilah islam, dan untuk menjadi islam dirinya harus mengucapkan dua syahadat terlebih dahulu; syahadat tauhid dan syahadat rasul. Di dalam kitab Sullamu At-Taufiq diterangkan bahwa, masuk agama Islam, seseorang – baik kafir murni atau orang pernah murtad sebelumnya – harus membaca dua syahadat.[1]
Ibaratnya seperti pemutaran film di bioskop. Untuk dapat memasuki gedung bioskop tentu seseorang harus memiliki karcis masuk yang disediakan oleh panitia. Kemudian, karcis sudah di tangan, selanjutnya mengikuti aturan dari panitianya, misalkan masuknya dengan mengantri dan menyerahkan tiketnya. Kalau main nyelonong, nyerobot antrian, atau tidak mengasihkan karcis ke panitia, maka dirinya siap-siap ditahan untuk melakukan pengecekan ulang.
Kedua syahadat tersebut merupakan prinsip dasar yang menjadi penentu keabsahan dan diterima atau tidaknya amal perbuatan hamba. Perbuatan hamba akan diterima oleh Allah jika dilakukan karena Allah SWT semata, bukan karena selain-Nya. niatan ikhlas tersebut sebagai bentuk nyata dari syahadat yang diucapkannya, La ilaha illa Allah (tiada tuhan yang wajib disembah kecuali hanya Allah) dan niatan ikhlas tadi harus sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah, wa anna Muhammadan Rasulullah (dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah).
Lanjut pertanyaan kedua, apakah orang kafir bisa memiliki nilai plus – yang Allah janjikan kepada mukmin? Jawabannya adalah SANGAT BISA! Waktu tempat dan kesempatan sangat terbuka sekali bagi mereka yang ingin mendapatkan nilai plus itu. sebagaimana penjelasan pertanyaan pertama, bahwa untuk mendapatkan nilai plus itu, seseorang harus membeli karcisnya.
Orang yang belum berikrar meniadakan tuhan-tuhan yang lain dan menerima Tuhan yang paling benar dan utusan-Nya yaitu Muhammad Saw, maka dia belum memiliki karcisnya. Dia harus membeli terlebih dahulu hanya dengan mengucapkan kalimat ikrar tersebut dan mempertahankannya sampai akhir hayat. Nabi Muhammad Saw bersabda:[2]
من كان آخره كلامه لا إله الا الله دخل الجنة. (رواه الحاكم بإسناد صحيح)
Artinya:
Barang siapa pada akhir hidupnya mengucapkan kalimat “la ilaha illallah, maka pasti masuk surga.” (HR. Al-Hakim dengan sanad yang shahih)


[1] Dinukil Dari Kitab Sullamu At-Taufiq Ila Mahabbatillahi ‘Ala At-Tahqiq, Halm. 37
[2] Asy-Syaikh Mushlih Al-Maraqy, Inaratuzh Zhalam Fi ‘Aqaidil ‘Awam, (Semarang: Karya Thaha Putra, T,Th), Halm. 50

Nama Yang Baik


Rasulullah Saw bersabda:
إن من حق الولد على والده أن يعلمه الكتابة، وأن يحسن إسمه وأن يزوجه إذا بلغ. ( رواه إبن النجار)
Artinya:
Sesungguhnya salah satu yang menjadi hak anak atas orang tuanya adalah hendaknya orang tua mengajarinya menulis (sekolah), memberikan nama yang bagus, dan menikahkan ketika sudah sampai waktunya.” (HR. Ibnu Al-Najar)
Ulasan:
Menurut Gus shovie, hadist di atas menerangkan tentang kewajiban orang tua kepada anaknya. Orang tua harus melakukan, minimal – sesuai hadist tersebut, tiga hal, yaitu:
1.      Memberikan pendidikan
Orang tua adalah pendidik pertama bagi anak. Sebab di dalam keluarga itulah anak pertama kali mengenal lingkungan ketika dilahirkan di dunia. Dalam perkembangan selanjutnya keluarga juga merupakan lingkungan utama dalam pembentukan karakter pribadi seorang anak. Masa-masa awal anak pasti lebih banyak dihabiskan di dalam keluarga. Maka di dalam keluargalah seorang anak manusia mengalami proses pendidikan yang pertama. Segala bentuk prilaku keluarga, terutama kedua orang tua, baik lisan maupun perbuatan, baik yang bersifat pengajaran, keteladanan, maupun kebiasaan-kebiasaan yang diterapkan di dalam kehidupan sosial keluarga, akan mempengaruhi pola perkembangan prilaku anak selanjutnya.[1] Maka dari itu, orang tua harus memberikan pendidikan yang baik kepada anaknya.
pendidikan yang baik tersebut adalah tentang akhlak yang baik. Akhlak adalah modal besar untuk mengembangkan sikap keagamaan anak. Kita bisa mengambil hikmah dari tujuan pertama kali Rasulullah di utus adalah untuk menyempurnakan akhlak mulia.
Adapun akhlak Islam yang dapat dikatakan sebagai akhlak yang Islami adalah akhlak yang bersumber dari ajaran Allah dan Rasulullah. Akhlak Islami ini merupakan amal perbuatan yang sifatnya terbuka sehingga dapat menjadi indikator apakah seseorang muslim yang baik atau buruk. Akhlak ini merupakan buah dari akidah dan syariah yang benar.[2]
2.      Memberikan Nama yang Baik
Fungsi utama pemberian nama kepada anak adalah fungsi referensial, yaitu memberi identitas sebuah maujud atau insan, sehingga yang maujud atau insan dapat dikenali dan dibedakan dari maujud atau insan yang lain. Identitas tersebut bisa berupa identitas kedaerahan, keimanan atau status sosial.
Bahkan tidak hanya sekedar itu, nama adalah media untuk menegosiasikan berbagai identitas yang ada di dalam masyarakat, misalkan masyarakat yang kental adat jawanya akan memberikan nama kepada anaknya nama jawa, seperti Paijo, Paijan, Painem, atau yang lain. berbeda dengan orang yang suka dengan bahasa Arab, mereka akan memberikan nama yang berbahasa arab, seperti Wahid, Hamidah, Hidayat dan yang lain-lain. Masyarakat dapat menonjolkan identitas tertentu atau menyembunyikan identitas tertentu melalui nama.[3]
Nama juga merupakan media ampuh untuk menaikkan status sosial seseorang. menurut Nurhayanti(https://media.neliti.com/media/publications/4989-ID-negosiasi-identitas-dalam-pemberian-nama.pdf, akses 30 April 2018), berdasarkan hasil penelitiannya di desa Gotputuk, mengatakan bahwa masyarakat Gotputuk yang pernah mengenyam pendidikan tinggi atau merantau di kota-kota besar dan kemudian kembali ke desa, akan merasa bahwa desa Gotputuk adalah desa pelosok. Oleh karena itu, dengan memberi nama yang bercorak ‘urban’ atau ‘global’ sebagian masyarakat tersebut ingin menunjukkan identitas yang berbeda, yaitu bukan lagi bagian dari masyarakat pedesaan umumnya. Dengan demikian, secara tidak langsung, kelompok ini berupaya untuk menaikkan status sosial mereka.
Inti dari pembahasan poin nama ini adalah nama memiliki peran penting dalam pribadi individu yang akan mencerminkan pola pikir masyarakat dan tentu keluarga. Oleh karena itu, orang tua harus memperhatikan nama anak. Jangan memberikan nama anak sembarang apalagi nama yang memiliki arti jelek.
3.      Menikahkan anak
Puncak kewajiban orang tua kepada anaknya adalah menikahkannya. Setelah anak sudah sampai pada usia baligh dan meminta dinikahkan, maka wajib bagi orang tua untuk menikahkannya.
Sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Annas r.a. rasulullah Saw bersabda:
Seorang anak disembelihkan aqiqah, diberi nama dan dibersihkan (dari kotoran) yang membahayakan pada usia tujuh hari, apabila sampai pada usia enam tahun maka didiklah. Jika sampai pada usia sembilan tahun pisahkan tempat tidurnya. Jika sampai pada usia tigabelas tahun telah melaksanakan shalat dan apabila umurnya sampai pada enam belas tahun maka nikahkanlah, lalu pegang tangannya dan katakan: sungguh telah aku didik engkau dan telah kuberi ilmu dan telah aku nikahkan engkau maka aku berlindung kepada Allah dari fitnahmu di dunia dan azabmu di akhirat.
Salah satu kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah menikahkan anaknya ketika dirinya sudah siap. Jika orang tua mengabaikan hal ini, kemudian anaknya terjerumus dalam lubang perzinaan, maka orang tuanya juga yang akan ikut terkena akibat perbuatan anaknya. Rasa malu dan hancurnya harga diri di tengah masyarakat merupakan imbalan yang langsung Allah turunkan di dunia. Belum lagi siksaan diakhirat kelak yang lebih dasyat lagi mengerikan.
Oleh karena itu, ketiga kewajiban bagi orang tua tersebut harus diperhatikan. Anak-anak harus dipenuhi kebutuhan pendidikannya, diberikan nama yang paling bagus, kemudian menikahkan anaknya ketika sudah siap untuk menikah. Wallahu a’lam.


[1] Hasbi Wahy, “Keluarga Sebagai Basis Pendidikan Pertama Dan Utama,” Jurnal Ilmiah Didaktika 12, No. 2 (1 Februari 2012), Https://Doi.Org/10.22373/Jid.V12i2.451.
[2] Syarifah Habibah, Akhlak dan Etika dalam Islam, Jurnal Pesona Dasar, vol. 1, No. 4, Oktober 2015, halm. 74
[3] “4989-ID-negosiasi-identitas-dalam-pemberian-nama.pdf,” diakses 28 April 2018, https://media.neliti.com/media/publications/4989-ID-negosiasi-identitas-dalam-pemberian-nama.pdf.