AYAM BAPAKNYA MENJADI KORBAN
Oleh: Muhamad Nur Hamid Hidayatullah
“Ampun, Pak!” Kata Pudin sambil lari sekencang mungkin,
menghindari bapaknya yang sedang mengejarnya sambil mengacungkan celurit.
“Kesini kamu!” teriak bapaknya tidak mau kalah lari
dengan anaknya.
Pudin, laki-laki berkulit hitam dan berambut pendek,
tunggang langgang seperti harimau dikejar kerbau. Sedangkan Sa’diyah, ibu
Pudin, berdiri di pintu rumah, berteriak, mencoba melerai pertikaian antara
bapak dan anak. Tapi mereka berdua terlalu asik dengan aksi kejar-kejarannya.
Beberapa tetangga keluar dari rumah karena mendengar
keributan ini. Di antara mereka ada yang mencoba melerai pertikaian ini, tapi
mereka lebih takut dengan celurit yang ada di tangan Kasmarin. Sementara itu,
Kasmarin semakin bersemangat kejar-kejaran dengan anaknya itu, mengayun langkah
lebih cepat dari pada anaknya yang berlari di depannya. Meskipun begitu, Pudin
kecil larinya lebih gesit ketimbang bapaknya.
Tidak menunggu lama, batang tubuh Pudin kurus kerempeng
sudah menghilang dari halaman rumah. Entah pergi kemana. Kasmarin membungkukan
badannya. Matanya menatap tanah dan daunan kering tergeletak bawah. Nafasnya
terengah-engah hebat – mesin tua digenjot melawat mesin baru, ya, bisa-bisa
bautnya lepas semua nanti.
“Sudah tho, Pak!” Sa’diyah berusaha melerai emosi
suaminya. “Sama anak sendiri kok gitu pak,” lanjutnya.
“Habis pitek-ku lemes semua di kandang,” jawab
Kasmarin.
“Masalah pitek lemes lho kok sampai tega mau
mencelurit anaknya sendiri.”
“Bagaimana nggak tega, wong sudah berani mengadu ayam,
taruhan lagi dengan teman-temannya,” jawab Kasmarin.
Sa’diyah diam. Dia tidak bisa mengucapkan apa-apa setelah
mendengarkan penjelasan suaminya. Matanya yang mungil di balik kacamata
mengisyaratkan dia tidak habis pikir, Pudin yang masih kanak-kanak, sudah bisa
mengadu ayam dan berjudi. Sa’diyah menghampiri suaminya dan menggandeng
tangannya memasuki rumah.
Tetangga yang dari tadi ramai menyaksikan kejadian itu,
berangsur-angsur meninggalkan tempat berdiri mereka. Perlahan-lahan suasana
menjadi tenang sampai hanya ada suara kicauan burung dan mesin motor yang
melaju. Cahaya senja yang sangat hangat menerobos ke dalam kamar tidur
Kasmarin, seolah-olah ingin menenangkannya dengan satu pelukan. Kasmarin masih
tidak habis pikir. “Salah pergaulan itu anak,” gumam Kasmarin, duduk di atas
ranjang kayunya.
Islam melarang mengadu domba, apalagi mengadu ayam. ayam itu kecil dan lemah dari pada domba. suwer deh. LOL!!
***
Pudin berjalan klontang-kantung di jalan, tidak punya
tujuan yang jelas mau kemana. Saking bingungnya sampai terlintas dalam
pikirannya tidur di emperan rumah orang nanti kalau belum dapet tumpangan. Dia sangat
takut pulang ke rumah, takut digorok bapaknya. Jalanan juga tapak sepi. Hanya
ada beberapa motor yang melintas. Teman-temannya yang biasanya nongkrong di
sana, sore ini tidak muncul batang hidungnya. Entah mengapa rasanya seperti
dunia sedang menjauh, tidak mau mendekati Pudin.
Pudin duduk seorang didik di kursi yang terbuat dari
bambu. Clingak-clinguk mengamati motor yang lewat di depannya. Ingatan-ingatan
saat dia menyambung seluruh ayam sampai celurit bapaknya yang diacungkan ke
arahnya, masih tergambar jelas di kepalanya. Ada rasa penyesalan dalam hatinya.
Meskipun dia sekarang masih kelas V SD tapi perasaan penyesalan yang
dianugrahkan kepada manusia sudah muncul di dalam karakter Pudin. Lebih
tepatnya dia menyesal bukan karena takut dosa, tapi takut celurit besar milik
bapaknya.
Pudin memutar otaknya lebih kerang, tampak di dahinya
yang mengkerut dan pandangannya tertunduk. Tubuhnya yang kecil dan kursi bambu
yang tinggi membuatnya bisa mengayun-ayunkan kakinya secara bergantian. Kedua
pundaknya terangkat ke atas karena kedua tangannya yang menyangga badan supaya
tetap tegak.
Mak bendunduk[1] dia teringat temannya yang paling baik dan alim di
kelasnya. Tanpa berpikir panjang, kakinya secepat kilat melangkah menerobos
dedaunan yang terjatuh di pinggir jalan. Dia berharap banyak pada temannya ini
untuk memberikan tumpangan tidur selama beberapa hari, bahkan selamanya. Dia
belum siap mati dipenggal apalagi oleh bapak sendiri.
“Assalamu’alaikum,” ucapnya ketika sampai di depan rumah
temannya yang sangat dia harapkan tumpangannya. “Assalamu’alaikum, Andre,”
Pudin mengulangi ucapan salamnya dan tangannya mengetuk pintu sedikit lebih
keras.
Belum ada jawaban dari dalam rumah.
Pudin berdiri di depan pintu, menunggu. Tapi sudah lima
menit belum ada yang keluar rumah. Pudin hendak berbalik mencari tempat
penginapan lain, tampak dari kejauhan Andre berjalan dengan menenteng kresek
hitam di dua tangannya. Pudin menghentikan langkahnya. Sambil tersenyum Pudin
melambaikan tangan ke pada Andre yang mengernyitkan keningnya – mungkin dia
tidak jelas melihat wajah Pudin sehingga harus mengfokuskan pandangannya.
“Lho, Ngapain kamu disini?” tanya Andre ketika jaraknya
satu langkah dari Pudin.
“Aku mau main saja ke rumahmu, Ndre,” jawab Pudin menyalami
tangan temannya itu.
“Owalah....” Andre membuka pintu. “Ayok, masuk, Din,”
Andre mempersilahkan teman satu kelasnya itu.
“Mau minum apa, Din?”
“Air putih saja, Ndre,” jawab Pudin sambil meletakkan bokongnya
ke kursi yang busanya sudah mulai menipis.
Andre melangkah ke belakang mengambilkan minum untuk
temannya. Sementara itu, Pudin sibuk melihat sekeliling ruangan. Nuansa jadul
begitu terasa meskipun zaman selalu melaju tanpa mau memperdulikan manusianya.
Temboknya terbuat dari kayu yang disusun sedemikian rupa dan dibubuhi cat hijau
mudah sedikit mengelupas. Kemudian di tengah-tengah rumah ada empat tiang
penyangga juga terbuat dari kayu dan kedua ujung atas-bawah terdapat ukiran
khas Jawa zaman dulu. Perabotan rumah dan juga kursinya memiliki unsur-unsur
klasik yang sangat menarik. Memang rumah Andre saja yang paling terlihat antik
di antara rumah yang ada di kampung Bubaan[2].
Selang beberapa waktu, Andre kembali dengan nampan ukuran
sedang, di atasnya ada dua gelas bening berisi air merah – sirup. Pudin menoleh
ke arah temannya yang terliihat canggung membawa nampan itu. Sepertinya dia
belum terbiasa membantu ibunya membawa minuman untuk tamu, batin Pudin.
Andre mempersilahkan Pudin untuk meminum sirup buatannya
sendiri. Pudin mengangguk, kemudian tangannya meraih gelas yang sudah ada di
depannya. Hawa dingin terasa di kulit telapak tangan Pudin lalu meneguk
secukupnya. Sebenarnya dia ingin menghabiskan minuman sirup dingin itu, dia
sangat suka dengan minuman dingin dari pada minuman panas atau hangat. Di
tenggorokan rasanya lebih “chessss” dan menyegarkan. Tapi dia tahan
nafsunya itu. Dia merasa tidak enak kalau harus memiinta tambah minuman.
“Kamu kok tumben main ke rumahku. Ada apa?” tanya Andre
kepada Pudin yang dari tadi lebih banyak diamnya.
“Mmmmm, begini, Ndre. Bisa tidak kalau aku menginap di
sini beberapa hari saja?” kata Pundin sambil cengar-cengir dan membenahi posisi
duduknya sedikit maju ke depan.
“Lho kenapa, Din? Kan kamu punya rumah. Nanti kamu
dicariin bapak-ibu kamu bagaiama?”
Pudin menghela nafas untuk berkata jujur. “Aku takut
pulang ke rumah, Ndre. Aku hampir saja dicelurit sama bapakku.”
Terdengar suara cekikik tawa yang tertahan di mulut
Andre. “Mesti kamu habis ngadu ayam bapakmu kan?” tanya Andre.
Pudin kaget mendengar tebakan temannya. “Kok kamu tahu?”
tanyanya penasaran.
“Ya tahu lah. Kan memang itu kan pekerjaanmu sepulang
sekolah.”
Pudin cengar-cengir tidak bisa membantah. Karena memang
seperti itulah kenyataannya. Setiap kali habis sekolah dia kerap mampir ke
tempat sabung ayam meski hanya untuk melihat-lihat saja. Itu dia lakukan sejak
duduk di bangku kelas 2 Sekolah Dasar. Pada awalnya Cuma melihat-lihat saja
bagaimana ayam diadu, bagaimana suasana di tempat sabung ayam. Hingga pada
akhirnya dia ingin mencoba mengadu ayam di sana. “Nyoba ah. Siaoa tahu menang
dapat uang. Lumayan buat jajan,” katanya ketika sedang asik menonton dua ayam
jantan sedang bertarung.
“Iya, Ndre. Memang benar. Aku ketahuan bapak kalau
menyabung ayamnya dan taruhan.”
“Wah, kalau gini aku bingung ngomongnya ke orang tuaku
nanti, Din,” kata Andre lemas, seperti tidak mungkin dirinya menerima orang
yang minggat dari rumah karena sebuah kesalahan. Sama saja menolong orang yang
berbuat salah dong, batinnya.
“Ya jangan sejujur itu ke orang tua, Ndre. Kan bisa beralasan
kalau aku ingin bersilaturrahmi sama kamu,” kata Pudin bernada memohon.
“Gundulmu! Ya tidak bisa aku berbohong ke orang tuaku,
Din,” tukas Andre.
“Pliiiissss....” Pudin menangkupkan kedua tangannya,
memelas.
Andre terdiam. Entah apa dia harus menolong dia atau
tidak. Andre bingung. Wajahnya melengos ke samping bawah. Otaknya berpikir. Ada
perasaan kasihan hinggap di dalam sanubari kecilnya. Apalagi Pudin melakukan
kesalahan itu karena khilaf. Eh, siapa tahu nanti kalau dibantu dia mau
bertaubat, pikirnya.
“Yo wes. Tak bantu. Tapi selama kamu di sini, jangan
sering keluar kamar ya. Nanti takut kamu ditanya yang tidak-tidak sama orang
tuaku.”
Pudin tersenyum sumringah mendengar jawaban temannya.
Artinya, dia tidak perlu pusing dan khawatir mencari tempat tidur. Dengan
reflek, Pudin bangkit dan menghampiri Andre, lantas memeluknya dengan erat.
“Terima kasih banyak, Ndre!” ucapnya kemudian.
Andre yang menerima pelukan tiba-tiba, spontan
merenggangkan kedua lengannya, hendak menolak pelukan temannya. Dia merasa
risih. Apalagi Cuma berdua. Nanti kalau ujuk-ujuk ibu atau bapaknya
masuk, kan bisa dianggap homo.
Setelah mendapat izin dari temannya, Pudin langsung
merebahkan tubuhnya di dalam kamar. Dia capek habis melarikan diri sekencang
mungkin dari celurit bapaknya. Matanya masih terbuka lebar. Memandang
langit-langit kamar. Satu bola lampu yang menyala temaram menjelang maghrib
membuat matanya semakin lama semakin menyipit. Pikirannya pun semakin mengabur.
Dan pada akhirnya dia hilang dari kesadarannya. Terlelap.
***
Dua hari sudah Pudin menginap di rumah Andre. Dia juga
sudah bertemu dengan orang tua Andre. Awalnya, orang tua Andre, terutama
ibunya, tidak pernah menanyakan perihal kenapa Pudin menginap sampai dua hari.
Padahal dia masih kecil, orang tuanya pasti mencemaskan keadaannya.
“Nak, itu teman kamu sebenarnya kenapa nginap sampai dua
hari? Apa orang tuanya tidak mencarinya?” tanya ibu Andre kepada anaknya yang
paling terakhir saat makan siang berdua dan Pudin sedang keluar, entah kemana.
Andre tidak langsung menjawab pertanyaan ibunya itu. Dia terdiam
bingung antara jujur dan tidak. “Sebenarnya dia menginap di sini karena
melarikan diri dari rumah, Bu,” kata Andre. Dia memilih jujur.
“Kenapa melarikan diri, Nak?” tanya ibunya lagi.
“Dia habis judi ayam, Bu. Dan ayam yang diadu itu ayam
bapaknya. Bahkan dia hampir disembelih bapaknya karena itu.”
Mendengar jawaban anaknya itu, wanita yang setiap hari
pergi ke sawah itu malah tertawa terbahak-bahak. Andre yang melihat tingkah
ibunya yang aneh kebingungan sendiri. “Kok malah ketawa tho, Bu?”
tanyanya kemudian karena penasaran.
“Haha... bagaimana tidak tertawa, masih kecil kok sudah
bisa berjudi. Ayam bapaknya lagi yang dipakai judi...” kata-katanya terhenti
karena gelak tawa yang tidak bisa lagi ditahan. “Ya, wajar kalau bapaknya marah
besar. Gedenya mau jadi apa kalau kecilnya sudah seperti itu. Makanya kamu
jangan ikut-ikutan seperti itu ya, Nak,” ucapnya menasihati anaknya.
“Iya, Bu. Andre berjanji tidak akan nakal,” ucap Andre
sambil mendekatkan cendok ke mulutnya.
“Besok dia suruh balik aja ke rumahnya ya, Nak. Orang
tuanya pasti cemas memikirkan dirinya. Semarahnya orang tua pasti sayangnya
lebih besar. Orang tua kalau marah bukan karena nafsu amarah. Tapi karena
mereka ingin anaknya menjadi baik dan berakhlak baik.”
“Iya, Bu. Nanti malam aku akan bujuk dia pulang ke
rumahnya,” Jawab Andre.
Setelah dirasa cukup perbincangan masalah Pudin, Andre
dan ibunya menikmati makanan siang yang masih separuh di piring masing-masing.
Bau sambal terasi yang sangat khas, menelusup ke dalam hidung Andre. Kemudian
tangannya yang kurus meraih cendok dan mengambil ulekan sambal terasi
secukupnya. Andre paling suka dengan sambal terasi. Setiap makan sambal ini
seperti tidak boleh absen dari piringnya. Harus selalu ada di sana menemaninya.
***
Malam ini terasa lebih dingin dari malam sebelumnya. Akan
tetapi sepinya masih terasa sama. Bahkan orkestra para jangkrik pun tetap pada
tempo kemarin.seperti biasanya, Andre belajar dengan cahaya lampu yang
seadanya. Bangku persegi panjang dari kayu bekas seolah menjadi hamparan di
bawah buku lusuh sobek beberapa bagiannya karena keseringan dibuka-buka. Mata
Andre yang mungil dengan perkasa menerobos sisa kegelapan yang terselip di
antara cahaya lampu kuning di atas kepalanya.
Sementara itu, Pudin malah molor di samping Andre. Suara
dengkurannya samar-samar terdengar oleh telinga Andre. Andre menoleh ke tubuh
yang tergeletak tengkurap di sampingnya. Dia merasa agak terganggu dengan
dengkuran temannya itu. Tapi dia berusaha fokus dengan materi bacaannya. Dia
juga memaklumi kenapa Pudin molor padahal shalat maghrib baru saja
dilaksanakan, seharian tadi dia ngelayap entah kemana, bahkan sampai sekarang
dia belum makan.
Andre merasa kasihan dengan temannya itu. Tangannya yang
mungil kemudian menggoyang tubuh kurus untuk bangun. Tapi Pudin tidak lekas
bangun. Pudin menggeliyat membalikkan tubuhnya telentang dan matanya masih
terpejam rapat. Andre menggoyang bahu Pudin berulang kali. Kali ini lebih keras
menggoyangnya. Dan berhasil. Pudin membuka matanya perlahan-lahan. Lengannya
diusap-usapkan ke matanya yang menyipit karena beradaptasi dengan cahaya yang
ada.
“Makan dulu sana, Din,” suruh Andre.
Pudin kemudian bangkit dan duduk lemas di samping Andre.
Dia berusaha mengumpulkan bagian-bagian sukmanya yang masih tertinggal di alam
mimpi. Andre mengingatkan kembali temannya untuk makan malam. Pudin menoleh ke
Andre dan menganggukkan kepala.
Pudin bangkit dari kasur kemudian berangjak keluar kamar.
Di meja sudah tertata rapi beberapa piring dan beberapa di antaranya masih
mengepulkan asap. Pudin menggeser kursinya sedikit ke belakang, memberikan
ruang untuk tubuhnya masuk antara meja dan kursi. Sebelum duduk Pudin sempat
menoleh ke kamar Andre. Tapi sepertinya Andre masih asik belajar.
Pudin makan dengan sangat lahap. Dia benar-benar lapar.
Nasi bak gunung menjulang ke atas langit, lauknya bak bebatuan yang tajam
sedangkan kuahnya seperti lautan berombak. Di tengah-tengah makan, Andre datang
duduk di samping Pudin. Pudin menoleh ke Andre dan menawarinya makan. Pudin
menggelengkan kepalanya. Tidak mau. Karena masih kenyang.
“Din, apa orang tua kamu tidak khawatir sama kamu?” tanya
Andre membuka perbincangan.
“Tidak tahu, Ndre. Ya mungking cemas. Tapi aku takut mau
pulang ke rumah,” jawab Pudin menghentikan makannya.
“Kenapa takut?”
“Ya takutlah. Nanti kalau aku pulang terus disembelih
bagaimana? Kemarin saja aku mau disembelih sama bapak,” kata Pudin sembari
tangannya mencendok nasi.
“Aku kasih tahu ya. Orang tua itu tidak ada yang tega
membunuh anaknya. Semua ektingnya itu semata-mata untuk mendidik anaknya supaya
tidak nakal lagi.”
“Sotoy kamu, Ndre. Kamu masih kecil. Jadi tidak
ngerti masalah begituan,” kata Pudin dengan nada meremehkan. Dia tidak mau diceramahi
oleh anak kecil sama seperti dirinya.
“Lho, ini bukan perkataanku, Din. Ibuku yang bilang!”
Andre agak emosi diremehkan.
Pudin kaget. Matanya sedikit terbelalak dan mukanya maju
ke depan. “Apa? Kamu bilang sama ibumu?”
“Aku tidak cerita. Ibuku sendiri yang nanya soal kamu.
Ya, aku jawab kan,” Andre menjelaskan ke temannya. “Jadi besok kamu pulang ya,
Din. Kasihan orang tua kamu. Mereka mencemaskan kamu. Lagian, aku tidak enak
sama ibuku, membawa teman yang kabur dari rumah. Sama saja menolong orang yang
durhaka kepada orang tua, Din,” lanjut Andre.
Mendengar ucapan temannya, Pudin jadi mikir. Benar
juga kata Andre. Seharusnya aku tidak kabur dari rumah. Aku yang salah.
Seharusnya aku minta maaf kepada orang tuaku. Aku tidak mau jadi anak durhaka,
batin Pudin. Andre memandangi ekspresi Pudin yang datang, matanya pun kosong.
Andre tidak berani bertanya-tanya lagi. Dia memilih diam. Dia tahu kalau
temannya itu sedang mikir. Semoga dia sadar akan kesalahannya, doanya
dalam hati.
“Ya sudah, Ndre. Aku balik pulang. Tapi besok sore saja.
Aku harus ngumpulin mentalku dulu. Aku masih takut soalnya.”
“Baik,” jawab Andre singkat kemudian menuju kamar,
melanjutkan belajarnya.
Sedangkan Pudin masih duduk di kursi. Melanjutkan
makannya yang masih menggunung.
***
Pukul 15.30 PM.
Dua bocah, yang satu kurus berkulit hitam dan yang satu
berkulit putih, seperti kopi dan susu lagi jalan bareng di pinggir jalan
setapak di pinggir tambak ikan. Ombak yang terukir di permukaan air tambak
menyita pikiran pudin. Setidaknya ada sesuatu yang bisa mengalihkan pikiran
takutnya. Mata Pudin menatap ombak kecil yang berlarian mengejar angin. Pudin
memperlambat langkahnya. Dia ingin lebih lama menikmati pemandangan indah ini.
Dalam hati kecilnya dia masih takut bertemu dengan bapaknya. Tapi, dia
membenarkan perkataan Andre, pasti orang tuanya mencemaskan dirinya.
Lima menit perjalanan dari rumah Andre yang terletak di
tengah desa menuju ke rumah Pudin yang terletak paling ujung desa. Akhirnya dua
anak kecil itu sampai di sebuah rumah putih bertembok separuh semen separuh
kayu. Dua jendela di sisi pintu memperkuat aura jadul, apalagi di samping
emperan depan ada tempat duduk terbuat dari semen dan nyambung ke tembok rumah.
Andre mengangkat tangan kanannya kemudian mengetuk pintu
sebanyak tiga kali. Andre lalu mengucapkan salam dengan suara sedikit ditekan
supaya terdengar sampai ke dalam rumah. Sementara itu, Pudin hanya berdiri di
belakang Andre. Dirinya sedang menyiapkan mentalnya kalau-kalau nanti dikejar
lagi dengan celurit seperti sore dulu.
“Wa’alaikum sala!” terdengar suara ibu-ibu dari dalam
rumah.
Suara itu tidak asing bagi Pudin. Suara yang setiap hari
selalu terdengar di telinganya ketika sedang memberikan nasihat-nasihat. Ya,
siapa lagi kalau bukan ibunya, Sa’diyah.
Beberapa saat kemudian, pintu itu terbuka. Seorang wanita
bertubuh pendek dan mengenakan jilbab coklat berdiri di ambang pintu. Wanita
itu menoleh dari Andre ke seorang anak-anak yang berdiri di belakang Andre.
Tanpa berkata apa-apa, Sa’diyah langsung menghampiri anaknya dan merangkulnya.
Pudin sedikit menghindar karena takut nanti dibunuh oleh ibunya. Tapi ternyata
tidak. Pudin dipeluk erat oleh ibunya, pelukan yang sangat hangat dan penuh
dengan arti kasih sayang.
Pudin tidak berdaya dalam pelukan itu. Dia pasrah. Selama
tiga hari perasaan ini tidak dia dapatkan dari manapun kecuali ibunya. Air mata
Sa’diyah tidak bisa tertahankan mendengar isak tangis Pudin. Bahu Sa’diyah
sebelah kanan sedikit basah karena linangan air mata Pudin. Lama mereka
berpelukan melepas kangen sekaligus melengkapi ruang kosong antara mereka.
“Kemana saja kamu, Nak. Bapak-ibu mengawatirkanmu selama
ini. Kamu masih kecil. Tidak boleh seperti itu. Nanti kalau kamu kenapa-kenapa,
bapak ibu pasti akan sedih selamanya,” kata Sa’diyah sembari melepaskan
pelukannya.
“Aku takut pulang, Bu. Takut sama bapak. Takut dibunuh,”
jawab Pudin polos.
“Bapak lho tidak ngapa-ngapain. Kemarin bapak seperti itu
karena ingin kamu menjadi anak yang baik, tidak nakal. Biar kamu kapok makanya
bapak mengambil celurit seolah-olah mau membunuhmu.”
“Maafin Pudin, ya, Bu,” ucap Pudin sambil menjabat tangan
ibunya lalu menciumnya.
Sa’diyah tersenyum. “Iya, Nak. Kami sudah memaafkan kamu.
Yang penting jangan diualngi lagi ya,” lanjutnya, mengusap kepala anaknya.
Pudin mengangguk.
Andre hanya berdiri diam melihat fenomena kasih sayang
seorang ibu. Dia tidak ingin merusak momen ini.
Malam tiba. Jangkrik bersautan mengumandangkan keindahan
mereka lewat kesunyian malam. Jalan kampung Bubaan terlihat sepi. Tidak ada
satu orang pun yang lewat. Padahal baru saja selesai isya’. Mungkin karena
mereka sedang asyik menonton Dangdut Akademi, sebuah acara Televisi tentang
kompetisi menyanyi dangdut. Acara baru. Makanya tidak heran jika banyak orang
yang rela berjam-jam menontonnya.
Berbeda dengan keluarga Kasmarin yang sedang dirundung
kebahagiaan. Mereka memilih berkumpul di ruangan depan untuk sekedar bercerita.
Terutama Kasmarin, bapaknya Pudin, paling banyak ngomongnya tentang sawah.
Sa’diyah dan Pudin sangat antusias mendengarkan ceritanya. Terkadang gelak tawa
mereka bertiga tidak dapat terbendung lagi.
***
Enam bulan berlalu.
Menjelang Maghrib, Kasmarin pulang dari sawahnya dengan
memikul Pacul kecil di atas pundaknya. Kasmarin berniat melihat pekarangan
ayamnya di belakang rumah. Tiba-tiba matanya terbelalak melihat pemandangan
mengerikan. Kasmarin melihat ke sekeliling, memeriksa satu persatu kandang
ayam. Semua ayamnya teler dan mukanya berdarah!
“PUDINN!!!”
TAMAT
[2] Bubaan
adalah salah satu kampung yang ada di desa Morodemak, Bonang, Demak. Bisa dikatakan
kampung paling ujung di desa Morodemak – dekat laut “Pagir”.
Hey sob...
BalasHapusLagi blogwalking sore ini...
Lagi cari blogpost tentang ayam, trs sampe ke sini.
:)
Bermanfaat tulisannya, ditunggu postingan selanjutnya ya pren.
Mampir balik kesini https://agenzeus.net/tips-langkah-bermain-permainan-sabung-ayam-sv388/ ya bro...
Silakan Kunjungi Artikel tajenonline.com
BalasHapusLogin S128
Dan dapat Hubungi Kontak Whatsapp Kami +62-8122-222-995
ayo bagi yg suka maen judi ayam on line sabung ayam peru
BalasHapusdi bolavita tempat nya banyak sekali bonus2 menarik
dan game2 on line terlengakap se indonesia
dengan pelayanan 24 jam yg sangat ramah
ayo segera daftar dan buktikan sendiri
info lbh lanjut:
whatup : +62812-2222-995
BBM: BOLAVITA
BalasHapusAgen Judi Pulsa Terpercaya Di Indonesia, tempat tinggal badal Judi Online menganjurkan pulsa yakni setara gembong judi yang mengutarakan pergelaran poker online pada saat ini sudah sekali gampang degnan munculnya pementasan ini poker online endapan dengan pulsa fasilitas bermutu berlagu disebuah permainan poker online yang mampu kita jumpai saat ini sebenarnya buah dari makin tumbuhnya masa dan teknologi kala ini didalam permainan jaminan online. Atas cukup merancangmengabdikan pulsa rupa uang endapan atraksi di bolazeus online, pemain sudah mencengkau giliran yang luas bermegah-megah dan memihak permainan.
Bersikap menelantarkan pulsa didalam pementasan poker online tentunya memang bakal kian mendaifkan anggota masa agan mengamalkan tontonan agunan online. Berlandaskan datangnya endapan melalui pulsa lalu anggota akan mampu sehubungan sederhana berat berlagak lalu berperan jagoan didalam sepotongan pementasan poker. Permainan judi online deposit melalui pulsa mestinya tentu mendapat sebagian kemaslahatan bermain yang dapat berupa pulsa saja maupun berwujud uang benar didalam selaur pertunjukan judi online.
BACA JUGA:
http://134.209.98.69/main-judi-poker-deposit-via-pulsa-terpercaya-2019/
http://134.209.98.69/cara-mudah-menang-dominoqq-deposit-via-pulsa/
http://134.209.98.69/strategi-menang-judi-poker-depo-pulsa-terpercaya/
Ayo daftar sekarang hanya di ZeusBola
BISA DEPOSIT PAKAI PULSA
BalasHapusDewaZeus merupakan bagian dari situs ZeusBola, yg merupakan agen master agen taruhan judi bola, Casino, Poker, taruhan sabung ayam online S128, CF88 DewaPoker, Live Casino Dealer Resmi Lisensi Filipina Paling Terpercaya di Indonesia, hanya di zeusbola.
Yang Merupakan Agen Bola Sbobet Indonesia Terpercaya, ZeusBola telah berkerja sama dgn perusahaan Sbobet beroperasi di Asia yg dilisensikan oleh First Cagayan Leisure & Resort Corporation, Manila-Filipina dan di Eropa dilisensikan oleh presiden Isle of Man bagi beroperasi juga sebagai juru taruhan sport sedunia.
https://dewazeus.site/tips-penting-memilih-agen-poker-online-deposit-via-pulsa-terpercaya/
https://dewazeus.site/situs-poker-online-deposit-via-pulsa-termurah-hanya-25rb/
zeus77.org
bonus deposit sabung ayam
Kunjungi juga link alternatif maxbet nova88 link nova88, main langsung maxbet nova88.