About


Get this widget:

Minggu, 18 Maret 2018

AYAM BAPAKNYA MENJADI KORBAN


AYAM BAPAKNYA MENJADI KORBAN
Oleh: Muhamad Nur Hamid Hidayatullah

“Ampun, Pak!” Kata Pudin sambil lari sekencang mungkin, menghindari bapaknya yang sedang mengejarnya sambil mengacungkan celurit.
“Kesini kamu!” teriak bapaknya tidak mau kalah lari dengan anaknya.
Pudin, laki-laki berkulit hitam dan berambut pendek, tunggang langgang seperti harimau dikejar kerbau. Sedangkan Sa’diyah, ibu Pudin, berdiri di pintu rumah, berteriak, mencoba melerai pertikaian antara bapak dan anak. Tapi mereka berdua terlalu asik dengan aksi kejar-kejarannya.
Beberapa tetangga keluar dari rumah karena mendengar keributan ini. Di antara mereka ada yang mencoba melerai pertikaian ini, tapi mereka lebih takut dengan celurit yang ada di tangan Kasmarin. Sementara itu, Kasmarin semakin bersemangat kejar-kejaran dengan anaknya itu, mengayun langkah lebih cepat dari pada anaknya yang berlari di depannya. Meskipun begitu, Pudin kecil larinya lebih gesit ketimbang bapaknya.
Tidak menunggu lama, batang tubuh Pudin kurus kerempeng sudah menghilang dari halaman rumah. Entah pergi kemana. Kasmarin membungkukan badannya. Matanya menatap tanah dan daunan kering tergeletak bawah. Nafasnya terengah-engah hebat – mesin tua digenjot melawat mesin baru, ya, bisa-bisa bautnya lepas semua nanti.
“Sudah tho, Pak!” Sa’diyah berusaha melerai emosi suaminya. “Sama anak sendiri kok gitu pak,” lanjutnya.
“Habis pitek-ku lemes semua di kandang,” jawab Kasmarin.
“Masalah pitek lemes lho kok sampai tega mau mencelurit anaknya sendiri.”
“Bagaimana nggak tega, wong sudah berani mengadu ayam, taruhan lagi dengan teman-temannya,” jawab Kasmarin.
Sa’diyah diam. Dia tidak bisa mengucapkan apa-apa setelah mendengarkan penjelasan suaminya. Matanya yang mungil di balik kacamata mengisyaratkan dia tidak habis pikir, Pudin yang masih kanak-kanak, sudah bisa mengadu ayam dan berjudi. Sa’diyah menghampiri suaminya dan menggandeng tangannya memasuki rumah.
Tetangga yang dari tadi ramai menyaksikan kejadian itu, berangsur-angsur meninggalkan tempat berdiri mereka. Perlahan-lahan suasana menjadi tenang sampai hanya ada suara kicauan burung dan mesin motor yang melaju. Cahaya senja yang sangat hangat menerobos ke dalam kamar tidur Kasmarin, seolah-olah ingin menenangkannya dengan satu pelukan. Kasmarin masih tidak habis pikir. “Salah pergaulan itu anak,” gumam Kasmarin, duduk di atas ranjang kayunya.
Islam melarang mengadu domba, apalagi mengadu ayam. ayam itu kecil dan lemah dari pada domba. suwer deh. LOL!!

***
Pudin berjalan klontang-kantung di jalan, tidak punya tujuan yang jelas mau kemana. Saking bingungnya sampai terlintas dalam pikirannya tidur di emperan rumah orang nanti kalau belum dapet tumpangan. Dia sangat takut pulang ke rumah, takut digorok bapaknya. Jalanan juga tapak sepi. Hanya ada beberapa motor yang melintas. Teman-temannya yang biasanya nongkrong di sana, sore ini tidak muncul batang hidungnya. Entah mengapa rasanya seperti dunia sedang menjauh, tidak mau mendekati Pudin.
Pudin duduk seorang didik di kursi yang terbuat dari bambu. Clingak-clinguk mengamati motor yang lewat di depannya. Ingatan-ingatan saat dia menyambung seluruh ayam sampai celurit bapaknya yang diacungkan ke arahnya, masih tergambar jelas di kepalanya. Ada rasa penyesalan dalam hatinya. Meskipun dia sekarang masih kelas V SD tapi perasaan penyesalan yang dianugrahkan kepada manusia sudah muncul di dalam karakter Pudin. Lebih tepatnya dia menyesal bukan karena takut dosa, tapi takut celurit besar milik bapaknya.
Pudin memutar otaknya lebih kerang, tampak di dahinya yang mengkerut dan pandangannya tertunduk. Tubuhnya yang kecil dan kursi bambu yang tinggi membuatnya bisa mengayun-ayunkan kakinya secara bergantian. Kedua pundaknya terangkat ke atas karena kedua tangannya yang menyangga badan supaya tetap tegak.
Mak bendunduk[1] dia teringat temannya yang paling baik dan alim di kelasnya. Tanpa berpikir panjang, kakinya secepat kilat melangkah menerobos dedaunan yang terjatuh di pinggir jalan. Dia berharap banyak pada temannya ini untuk memberikan tumpangan tidur selama beberapa hari, bahkan selamanya. Dia belum siap mati dipenggal apalagi oleh bapak sendiri.
“Assalamu’alaikum,” ucapnya ketika sampai di depan rumah temannya yang sangat dia harapkan tumpangannya. “Assalamu’alaikum, Andre,” Pudin mengulangi ucapan salamnya dan tangannya mengetuk pintu sedikit lebih keras.
Belum ada jawaban dari dalam rumah.
Pudin berdiri di depan pintu, menunggu. Tapi sudah lima menit belum ada yang keluar rumah. Pudin hendak berbalik mencari tempat penginapan lain, tampak dari kejauhan Andre berjalan dengan menenteng kresek hitam di dua tangannya. Pudin menghentikan langkahnya. Sambil tersenyum Pudin melambaikan tangan ke pada Andre yang mengernyitkan keningnya – mungkin dia tidak jelas melihat wajah Pudin sehingga harus mengfokuskan pandangannya.
“Lho, Ngapain kamu disini?” tanya Andre ketika jaraknya satu langkah dari Pudin.
“Aku mau main saja ke rumahmu, Ndre,” jawab Pudin menyalami tangan temannya itu.
“Owalah....” Andre membuka pintu. “Ayok, masuk, Din,” Andre mempersilahkan teman satu kelasnya itu.
“Mau minum apa, Din?”
“Air putih saja, Ndre,” jawab Pudin sambil meletakkan bokongnya ke kursi yang busanya sudah mulai menipis.
Andre melangkah ke belakang mengambilkan minum untuk temannya. Sementara itu, Pudin sibuk melihat sekeliling ruangan. Nuansa jadul begitu terasa meskipun zaman selalu melaju tanpa mau memperdulikan manusianya. Temboknya terbuat dari kayu yang disusun sedemikian rupa dan dibubuhi cat hijau mudah sedikit mengelupas. Kemudian di tengah-tengah rumah ada empat tiang penyangga juga terbuat dari kayu dan kedua ujung atas-bawah terdapat ukiran khas Jawa zaman dulu. Perabotan rumah dan juga kursinya memiliki unsur-unsur klasik yang sangat menarik. Memang rumah Andre saja yang paling terlihat antik di antara rumah yang ada di kampung Bubaan[2].
Selang beberapa waktu, Andre kembali dengan nampan ukuran sedang, di atasnya ada dua gelas bening berisi air merah – sirup. Pudin menoleh ke arah temannya yang terliihat canggung membawa nampan itu. Sepertinya dia belum terbiasa membantu ibunya membawa minuman untuk tamu, batin Pudin.
Andre mempersilahkan Pudin untuk meminum sirup buatannya sendiri. Pudin mengangguk, kemudian tangannya meraih gelas yang sudah ada di depannya. Hawa dingin terasa di kulit telapak tangan Pudin lalu meneguk secukupnya. Sebenarnya dia ingin menghabiskan minuman sirup dingin itu, dia sangat suka dengan minuman dingin dari pada minuman panas atau hangat. Di tenggorokan rasanya lebih “chessss” dan menyegarkan. Tapi dia tahan nafsunya itu. Dia merasa tidak enak kalau harus memiinta tambah minuman.
“Kamu kok tumben main ke rumahku. Ada apa?” tanya Andre kepada Pudin yang dari tadi lebih banyak diamnya.
“Mmmmm, begini, Ndre. Bisa tidak kalau aku menginap di sini beberapa hari saja?” kata Pundin sambil cengar-cengir dan membenahi posisi duduknya sedikit maju ke depan.
“Lho kenapa, Din? Kan kamu punya rumah. Nanti kamu dicariin bapak-ibu kamu bagaiama?”
Pudin menghela nafas untuk berkata jujur. “Aku takut pulang ke rumah, Ndre. Aku hampir saja dicelurit sama bapakku.”
Terdengar suara cekikik tawa yang tertahan di mulut Andre. “Mesti kamu habis ngadu ayam bapakmu kan?” tanya Andre.
Pudin kaget mendengar tebakan temannya. “Kok kamu tahu?” tanyanya penasaran.
“Ya tahu lah. Kan memang itu kan pekerjaanmu sepulang sekolah.”
Pudin cengar-cengir tidak bisa membantah. Karena memang seperti itulah kenyataannya. Setiap kali habis sekolah dia kerap mampir ke tempat sabung ayam meski hanya untuk melihat-lihat saja. Itu dia lakukan sejak duduk di bangku kelas 2 Sekolah Dasar. Pada awalnya Cuma melihat-lihat saja bagaimana ayam diadu, bagaimana suasana di tempat sabung ayam. Hingga pada akhirnya dia ingin mencoba mengadu ayam di sana. “Nyoba ah. Siaoa tahu menang dapat uang. Lumayan buat jajan,” katanya ketika sedang asik menonton dua ayam jantan sedang bertarung.
“Iya, Ndre. Memang benar. Aku ketahuan bapak kalau menyabung ayamnya dan taruhan.”
“Wah, kalau gini aku bingung ngomongnya ke orang tuaku nanti, Din,” kata Andre lemas, seperti tidak mungkin dirinya menerima orang yang minggat dari rumah karena sebuah kesalahan. Sama saja menolong orang yang berbuat salah dong, batinnya.
“Ya jangan sejujur itu ke orang tua, Ndre. Kan bisa beralasan kalau aku ingin bersilaturrahmi sama kamu,” kata Pudin bernada memohon.
“Gundulmu! Ya tidak bisa aku berbohong ke orang tuaku, Din,” tukas Andre.
“Pliiiissss....” Pudin menangkupkan kedua tangannya, memelas.
Andre terdiam. Entah apa dia harus menolong dia atau tidak. Andre bingung. Wajahnya melengos ke samping bawah. Otaknya berpikir. Ada perasaan kasihan hinggap di dalam sanubari kecilnya. Apalagi Pudin melakukan kesalahan itu karena khilaf. Eh, siapa tahu nanti kalau dibantu dia mau bertaubat, pikirnya.
“Yo wes. Tak bantu. Tapi selama kamu di sini, jangan sering keluar kamar ya. Nanti takut kamu ditanya yang tidak-tidak sama orang tuaku.”
Pudin tersenyum sumringah mendengar jawaban temannya. Artinya, dia tidak perlu pusing dan khawatir mencari tempat tidur. Dengan reflek, Pudin bangkit dan menghampiri Andre, lantas memeluknya dengan erat. “Terima kasih banyak, Ndre!” ucapnya kemudian.
Andre yang menerima pelukan tiba-tiba, spontan merenggangkan kedua lengannya, hendak menolak pelukan temannya. Dia merasa risih. Apalagi Cuma berdua. Nanti kalau ujuk-ujuk ibu atau bapaknya masuk, kan bisa dianggap homo.
Setelah mendapat izin dari temannya, Pudin langsung merebahkan tubuhnya di dalam kamar. Dia capek habis melarikan diri sekencang mungkin dari celurit bapaknya. Matanya masih terbuka lebar. Memandang langit-langit kamar. Satu bola lampu yang menyala temaram menjelang maghrib membuat matanya semakin lama semakin menyipit. Pikirannya pun semakin mengabur. Dan pada akhirnya dia hilang dari kesadarannya. Terlelap.
***
Dua hari sudah Pudin menginap di rumah Andre. Dia juga sudah bertemu dengan orang tua Andre. Awalnya, orang tua Andre, terutama ibunya, tidak pernah menanyakan perihal kenapa Pudin menginap sampai dua hari. Padahal dia masih kecil, orang tuanya pasti mencemaskan keadaannya.
“Nak, itu teman kamu sebenarnya kenapa nginap sampai dua hari? Apa orang tuanya tidak mencarinya?” tanya ibu Andre kepada anaknya yang paling terakhir saat makan siang berdua dan Pudin sedang keluar, entah kemana.
Andre tidak langsung menjawab pertanyaan ibunya itu. Dia terdiam bingung antara jujur dan tidak. “Sebenarnya dia menginap di sini karena melarikan diri dari rumah, Bu,” kata Andre. Dia memilih jujur.
“Kenapa melarikan diri, Nak?” tanya ibunya lagi.
“Dia habis judi ayam, Bu. Dan ayam yang diadu itu ayam bapaknya. Bahkan dia hampir disembelih bapaknya karena itu.”
Mendengar jawaban anaknya itu, wanita yang setiap hari pergi ke sawah itu malah tertawa terbahak-bahak. Andre yang melihat tingkah ibunya yang aneh kebingungan sendiri. “Kok malah ketawa tho, Bu?” tanyanya kemudian karena penasaran.
“Haha... bagaimana tidak tertawa, masih kecil kok sudah bisa berjudi. Ayam bapaknya lagi yang dipakai judi...” kata-katanya terhenti karena gelak tawa yang tidak bisa lagi ditahan. “Ya, wajar kalau bapaknya marah besar. Gedenya mau jadi apa kalau kecilnya sudah seperti itu. Makanya kamu jangan ikut-ikutan seperti itu ya, Nak,” ucapnya menasihati anaknya.
“Iya, Bu. Andre berjanji tidak akan nakal,” ucap Andre sambil mendekatkan cendok ke mulutnya.
“Besok dia suruh balik aja ke rumahnya ya, Nak. Orang tuanya pasti cemas memikirkan dirinya. Semarahnya orang tua pasti sayangnya lebih besar. Orang tua kalau marah bukan karena nafsu amarah. Tapi karena mereka ingin anaknya menjadi baik dan berakhlak baik.”
“Iya, Bu. Nanti malam aku akan bujuk dia pulang ke rumahnya,” Jawab Andre.
Setelah dirasa cukup perbincangan masalah Pudin, Andre dan ibunya menikmati makanan siang yang masih separuh di piring masing-masing. Bau sambal terasi yang sangat khas, menelusup ke dalam hidung Andre. Kemudian tangannya yang kurus meraih cendok dan mengambil ulekan sambal terasi secukupnya. Andre paling suka dengan sambal terasi. Setiap makan sambal ini seperti tidak boleh absen dari piringnya. Harus selalu ada di sana menemaninya.
***
Malam ini terasa lebih dingin dari malam sebelumnya. Akan tetapi sepinya masih terasa sama. Bahkan orkestra para jangkrik pun tetap pada tempo kemarin.seperti biasanya, Andre belajar dengan cahaya lampu yang seadanya. Bangku persegi panjang dari kayu bekas seolah menjadi hamparan di bawah buku lusuh sobek beberapa bagiannya karena keseringan dibuka-buka. Mata Andre yang mungil dengan perkasa menerobos sisa kegelapan yang terselip di antara cahaya lampu kuning di atas kepalanya.
Sementara itu, Pudin malah molor di samping Andre. Suara dengkurannya samar-samar terdengar oleh telinga Andre. Andre menoleh ke tubuh yang tergeletak tengkurap di sampingnya. Dia merasa agak terganggu dengan dengkuran temannya itu. Tapi dia berusaha fokus dengan materi bacaannya. Dia juga memaklumi kenapa Pudin molor padahal shalat maghrib baru saja dilaksanakan, seharian tadi dia ngelayap entah kemana, bahkan sampai sekarang dia belum makan.
Andre merasa kasihan dengan temannya itu. Tangannya yang mungil kemudian menggoyang tubuh kurus untuk bangun. Tapi Pudin tidak lekas bangun. Pudin menggeliyat membalikkan tubuhnya telentang dan matanya masih terpejam rapat. Andre menggoyang bahu Pudin berulang kali. Kali ini lebih keras menggoyangnya. Dan berhasil. Pudin membuka matanya perlahan-lahan. Lengannya diusap-usapkan ke matanya yang menyipit karena beradaptasi dengan cahaya yang ada.
“Makan dulu sana, Din,” suruh Andre.
Pudin kemudian bangkit dan duduk lemas di samping Andre. Dia berusaha mengumpulkan bagian-bagian sukmanya yang masih tertinggal di alam mimpi. Andre mengingatkan kembali temannya untuk makan malam. Pudin menoleh ke Andre dan menganggukkan kepala.
Pudin bangkit dari kasur kemudian berangjak keluar kamar. Di meja sudah tertata rapi beberapa piring dan beberapa di antaranya masih mengepulkan asap. Pudin menggeser kursinya sedikit ke belakang, memberikan ruang untuk tubuhnya masuk antara meja dan kursi. Sebelum duduk Pudin sempat menoleh ke kamar Andre. Tapi sepertinya Andre masih asik belajar.
Pudin makan dengan sangat lahap. Dia benar-benar lapar. Nasi bak gunung menjulang ke atas langit, lauknya bak bebatuan yang tajam sedangkan kuahnya seperti lautan berombak. Di tengah-tengah makan, Andre datang duduk di samping Pudin. Pudin menoleh ke Andre dan menawarinya makan. Pudin menggelengkan kepalanya. Tidak mau. Karena masih kenyang.
“Din, apa orang tua kamu tidak khawatir sama kamu?” tanya Andre membuka perbincangan.
“Tidak tahu, Ndre. Ya mungking cemas. Tapi aku takut mau pulang ke rumah,” jawab Pudin menghentikan makannya.
“Kenapa takut?”
“Ya takutlah. Nanti kalau aku pulang terus disembelih bagaimana? Kemarin saja aku mau disembelih sama bapak,” kata Pudin sembari tangannya mencendok nasi.
“Aku kasih tahu ya. Orang tua itu tidak ada yang tega membunuh anaknya. Semua ektingnya itu semata-mata untuk mendidik anaknya supaya tidak nakal lagi.”
Sotoy kamu, Ndre. Kamu masih kecil. Jadi tidak ngerti masalah begituan,” kata Pudin dengan nada meremehkan. Dia tidak mau diceramahi oleh anak kecil sama seperti dirinya.
“Lho, ini bukan perkataanku, Din. Ibuku yang bilang!” Andre agak emosi diremehkan.
Pudin kaget. Matanya sedikit terbelalak dan mukanya maju ke depan. “Apa? Kamu bilang sama ibumu?”
“Aku tidak cerita. Ibuku sendiri yang nanya soal kamu. Ya, aku jawab kan,” Andre menjelaskan ke temannya. “Jadi besok kamu pulang ya, Din. Kasihan orang tua kamu. Mereka mencemaskan kamu. Lagian, aku tidak enak sama ibuku, membawa teman yang kabur dari rumah. Sama saja menolong orang yang durhaka kepada orang tua, Din,” lanjut Andre.
Mendengar ucapan temannya, Pudin jadi mikir. Benar juga kata Andre. Seharusnya aku tidak kabur dari rumah. Aku yang salah. Seharusnya aku minta maaf kepada orang tuaku. Aku tidak mau jadi anak durhaka, batin Pudin. Andre memandangi ekspresi Pudin yang datang, matanya pun kosong. Andre tidak berani bertanya-tanya lagi. Dia memilih diam. Dia tahu kalau temannya itu sedang mikir. Semoga dia sadar akan kesalahannya, doanya dalam hati.
“Ya sudah, Ndre. Aku balik pulang. Tapi besok sore saja. Aku harus ngumpulin mentalku dulu. Aku masih takut soalnya.”
“Baik,” jawab Andre singkat kemudian menuju kamar, melanjutkan belajarnya.
Sedangkan Pudin masih duduk di kursi. Melanjutkan makannya yang masih menggunung.
***
Pukul 15.30 PM.
Dua bocah, yang satu kurus berkulit hitam dan yang satu berkulit putih, seperti kopi dan susu lagi jalan bareng di pinggir jalan setapak di pinggir tambak ikan. Ombak yang terukir di permukaan air tambak menyita pikiran pudin. Setidaknya ada sesuatu yang bisa mengalihkan pikiran takutnya. Mata Pudin menatap ombak kecil yang berlarian mengejar angin. Pudin memperlambat langkahnya. Dia ingin lebih lama menikmati pemandangan indah ini. Dalam hati kecilnya dia masih takut bertemu dengan bapaknya. Tapi, dia membenarkan perkataan Andre, pasti orang tuanya mencemaskan dirinya.
Lima menit perjalanan dari rumah Andre yang terletak di tengah desa menuju ke rumah Pudin yang terletak paling ujung desa. Akhirnya dua anak kecil itu sampai di sebuah rumah putih bertembok separuh semen separuh kayu. Dua jendela di sisi pintu memperkuat aura jadul, apalagi di samping emperan depan ada tempat duduk terbuat dari semen dan nyambung ke tembok rumah.
Andre mengangkat tangan kanannya kemudian mengetuk pintu sebanyak tiga kali. Andre lalu mengucapkan salam dengan suara sedikit ditekan supaya terdengar sampai ke dalam rumah. Sementara itu, Pudin hanya berdiri di belakang Andre. Dirinya sedang menyiapkan mentalnya kalau-kalau nanti dikejar lagi dengan celurit seperti sore dulu.
“Wa’alaikum sala!” terdengar suara ibu-ibu dari dalam rumah.
Suara itu tidak asing bagi Pudin. Suara yang setiap hari selalu terdengar di telinganya ketika sedang memberikan nasihat-nasihat. Ya, siapa lagi kalau bukan ibunya, Sa’diyah.
Beberapa saat kemudian, pintu itu terbuka. Seorang wanita bertubuh pendek dan mengenakan jilbab coklat berdiri di ambang pintu. Wanita itu menoleh dari Andre ke seorang anak-anak yang berdiri di belakang Andre. Tanpa berkata apa-apa, Sa’diyah langsung menghampiri anaknya dan merangkulnya. Pudin sedikit menghindar karena takut nanti dibunuh oleh ibunya. Tapi ternyata tidak. Pudin dipeluk erat oleh ibunya, pelukan yang sangat hangat dan penuh dengan arti kasih sayang.
Pudin tidak berdaya dalam pelukan itu. Dia pasrah. Selama tiga hari perasaan ini tidak dia dapatkan dari manapun kecuali ibunya. Air mata Sa’diyah tidak bisa tertahankan mendengar isak tangis Pudin. Bahu Sa’diyah sebelah kanan sedikit basah karena linangan air mata Pudin. Lama mereka berpelukan melepas kangen sekaligus melengkapi ruang kosong antara mereka.
“Kemana saja kamu, Nak. Bapak-ibu mengawatirkanmu selama ini. Kamu masih kecil. Tidak boleh seperti itu. Nanti kalau kamu kenapa-kenapa, bapak ibu pasti akan sedih selamanya,” kata Sa’diyah sembari melepaskan pelukannya.
“Aku takut pulang, Bu. Takut sama bapak. Takut dibunuh,” jawab Pudin polos.
“Bapak lho tidak ngapa-ngapain. Kemarin bapak seperti itu karena ingin kamu menjadi anak yang baik, tidak nakal. Biar kamu kapok makanya bapak mengambil celurit seolah-olah mau membunuhmu.”
“Maafin Pudin, ya, Bu,” ucap Pudin sambil menjabat tangan ibunya lalu menciumnya.
Sa’diyah tersenyum. “Iya, Nak. Kami sudah memaafkan kamu. Yang penting jangan diualngi lagi ya,” lanjutnya, mengusap kepala anaknya.
Pudin mengangguk.
Andre hanya berdiri diam melihat fenomena kasih sayang seorang ibu. Dia tidak ingin merusak momen ini.
Malam tiba. Jangkrik bersautan mengumandangkan keindahan mereka lewat kesunyian malam. Jalan kampung Bubaan terlihat sepi. Tidak ada satu orang pun yang lewat. Padahal baru saja selesai isya’. Mungkin karena mereka sedang asyik menonton Dangdut Akademi, sebuah acara Televisi tentang kompetisi menyanyi dangdut. Acara baru. Makanya tidak heran jika banyak orang yang rela berjam-jam menontonnya.
Berbeda dengan keluarga Kasmarin yang sedang dirundung kebahagiaan. Mereka memilih berkumpul di ruangan depan untuk sekedar bercerita. Terutama Kasmarin, bapaknya Pudin, paling banyak ngomongnya tentang sawah. Sa’diyah dan Pudin sangat antusias mendengarkan ceritanya. Terkadang gelak tawa mereka bertiga tidak dapat terbendung lagi.
***
Enam bulan berlalu.
Menjelang Maghrib, Kasmarin pulang dari sawahnya dengan memikul Pacul kecil di atas pundaknya. Kasmarin berniat melihat pekarangan ayamnya di belakang rumah. Tiba-tiba matanya terbelalak melihat pemandangan mengerikan. Kasmarin melihat ke sekeliling, memeriksa satu persatu kandang ayam. Semua ayamnya teler dan mukanya berdarah!
“PUDINN!!!”

TAMAT



[1] Secara tiba-tiba (bahasa Jawa).
[2] Bubaan adalah salah satu kampung yang ada di desa Morodemak, Bonang, Demak. Bisa dikatakan kampung paling ujung di desa Morodemak – dekat laut “Pagir”.

5 komentar:

  1. Hey sob...
    Lagi blogwalking sore ini...
    Lagi cari blogpost tentang ayam, trs sampe ke sini.
    :)
    Bermanfaat tulisannya, ditunggu postingan selanjutnya ya pren.
    Mampir balik kesini https://agenzeus.net/tips-langkah-bermain-permainan-sabung-ayam-sv388/ ya bro...

    BalasHapus
  2. Silakan Kunjungi Artikel tajenonline.com

    Login S128

    Dan dapat Hubungi Kontak Whatsapp Kami +62-8122-222-995

    BalasHapus
  3. ayo bagi yg suka maen judi ayam on line sabung ayam peru
    di bolavita tempat nya banyak sekali bonus2 menarik
    dan game2 on line terlengakap se indonesia
    dengan pelayanan 24 jam yg sangat ramah

    ayo segera daftar dan buktikan sendiri
    info lbh lanjut:

    whatup : +62812-2222-995
    BBM: BOLAVITA

    BalasHapus


  4. Agen Judi Pulsa Terpercaya Di Indonesia, tempat tinggal badal Judi Online menganjurkan pulsa yakni setara gembong judi yang mengutarakan pergelaran poker online pada saat ini sudah sekali gampang degnan munculnya pementasan ini poker online endapan dengan pulsa fasilitas bermutu berlagu disebuah permainan poker online yang mampu kita jumpai saat ini sebenarnya buah dari makin tumbuhnya masa dan teknologi kala ini didalam permainan jaminan online. Atas cukup merancangmengabdikan pulsa rupa uang endapan atraksi di bolazeus online, pemain sudah mencengkau giliran yang luas bermegah-megah dan memihak permainan.

    Bersikap menelantarkan pulsa didalam pementasan poker online tentunya memang bakal kian mendaifkan anggota masa agan mengamalkan tontonan agunan online. Berlandaskan datangnya endapan melalui pulsa lalu anggota akan mampu sehubungan sederhana berat berlagak lalu berperan jagoan didalam sepotongan pementasan poker. Permainan judi online deposit melalui pulsa mestinya tentu mendapat sebagian kemaslahatan bermain yang dapat berupa pulsa saja maupun berwujud uang benar didalam selaur pertunjukan judi online.

    BACA JUGA:

    http://134.209.98.69/main-judi-poker-deposit-via-pulsa-terpercaya-2019/
    http://134.209.98.69/cara-mudah-menang-dominoqq-deposit-via-pulsa/
    http://134.209.98.69/strategi-menang-judi-poker-depo-pulsa-terpercaya/


    Ayo daftar sekarang hanya di ZeusBola

    BalasHapus
  5. BISA DEPOSIT PAKAI PULSA

    DewaZeus merupakan bagian dari situs ZeusBola, yg merupakan agen master agen taruhan judi bola, Casino, Poker, taruhan sabung ayam online S128, CF88 DewaPoker, Live Casino Dealer Resmi Lisensi Filipina Paling Terpercaya di Indonesia, hanya di zeusbola.

    Yang Merupakan Agen Bola Sbobet Indonesia Terpercaya, ZeusBola telah berkerja sama dgn perusahaan Sbobet beroperasi di Asia yg dilisensikan oleh First Cagayan Leisure & Resort Corporation, Manila-Filipina dan di Eropa dilisensikan oleh presiden Isle of Man bagi beroperasi juga sebagai juru taruhan sport sedunia.

    https://dewazeus.site/tips-penting-memilih-agen-poker-online-deposit-via-pulsa-terpercaya/
    https://dewazeus.site/situs-poker-online-deposit-via-pulsa-termurah-hanya-25rb/
    zeus77.org

    bonus deposit sabung ayam

    Kunjungi juga link alternatif maxbet nova88 link nova88, main langsung maxbet nova88.

    BalasHapus