Oleh: Muhamad Nur
Hamid Hidayatullah
(Santri PPM. Al-Ashfa Yogyakarta)
(Santri PPM. Al-Ashfa Yogyakarta)
أللهم
لا عيش إلا عيش الأخرة (رواه البخاري)
Artinya:
“Ya Allah, tidak kehidupan (sejati.
Pent) kecuali kehidupan akhirat.” (HR. Bukhari)
Keterangan:
Berbicara soal hidup, kita sering kali mendengar ada
orang yang sangat mengeluh sangat pesimis, “Hidupku sudah tidak berarti lagi”.
Lain waktu, kita mendengar ucapan yang bermakna sebaliknya, sangat optimis.
“Rasa-rasanya saya adalah orang yang paling bahagia di dunia ini”. Dua ungkapan
harian ini menunjukkan bahwa betapapun manariknya hidup ini, toh dapat
membuat orang sengsara dan membuat orang bahagia.[1]
kemudian timbul pertanyaan yang tidak bisa diingkari, apakah benar kehidupan
manusia di dunia ini mempunya makna dan tujuan? Ataukah sesungguhnya hidup ini
terjadi karena kebetulan belaka, tanpa makna apapun, dan tanpa tujuan sama
sekali? Al-Quran juga tidak kalah serius mengajukan pertanyaan, “Apa kamu
mengira bahwa Kami menciptakanmu sekalian secara sia-sia?”
Beberapa pertanyaan di atas menggambarkan problem makna
hidup. Dalam hal ini, ada dua kelompok yang representatif mendiskripsikan
problem makna hidup di atas, yaitu kaum Pesimis dan kaum Optimis.[2]
1.
Kaum Pesimis[3]
Kaum Pesimis berpandangan bahwa hidup ini tidak bermakna
sekaligus tidak bertujuan, bahkan mengambil pengalaman keseluruhan manusia
sebagai pangkal penalarannya. Mereka berpendapat bahwa hidup ini tidak saja
tanpa makna dan tujuan, melainkan juga penuh kesengsaraan. Sehingga mati lebih
baik dari pada hidup. Karena itu, menurut mereka, semua orang, seandainya bisa
memilih, tentu akan memilih tidak ada dan hidup di dunia ini, dan puas dengan
“damainya ketiadaan yang serba berkecukupan” (the piece of the
all-sufficient nothing).
Selain alasan di atas, mereka menolak hidup memiliki
makna dan tujuan dengan beberapa alasan. Pertama, mereka beranggapan
bahwa setiap orang yang hidup pasti akan mengalami kematian, sedangkan kematian
adalah peristiwa teragis dan amat menyedihkan. Ini berarti, menurut kamu
Pesimis, hidup ini hanyalah proses menuju tragedi itu. jadi, hidup ini adalah
kesengsaraan.
Kedua, mereka menolak hidup memiliki tujuan dan makna karena di
dalam kehidupan tidak ada kebahagiaan sejati. Setiap gambaran mengenai
kebahagiaan adalah palsu. Sebab, kebahagiaan itu sendiri adalah palsu. Suatu
lukisan kebahagiaann akan menarik hati seseorang hanya selama lukisan itu masih
berupa ide yang belum teerwujud, atau malah di masa lalu yang diromantiskan dan
didambakan kembali secara nostalgik. Orang pun terdorong untuk mewujudkan
lukisan kebahgiaan itu. tapi segera setelah usaha mewujudkan lukisan
kebahagiaan itu dianggap selesai dan tujuan tercapai, mulailah kekecewaan demi
kekecewaan timbul. Karena kebahagiaan adalah hal yang semu dan palsu, maka manusia
adalah makhluk yang sengsara.
Ketiga, kaum Pesimis menolak makna dan tujuan hidup karena
mereka mendifinisikan kebahagiaan itu secara negatif. Menurut mereka, jika
kebahagiaan itu memang ada, maka akan didefinisikan secara negatif:
“kebahagiaan ialah tidak adanya kesengsaraan”. Karena kebahagiaan adalah
negatif, maka dirinya tidak mengandung kesejatiaan alias palsu. Oleh karena itu
hidup adalah kesengsaraan.
2.
Kaum Optimis
Kaum Optimis memiliki pandangan bahwa hidup ini memiliki
makna dan tujuan. Oleh karena itu, “menghidupkan” atau “menghidupi” orang
adalah lebih baik dari pada “mematikan”-nya. kenyataan umum pada hampir setiap
orang ialah pandangan bahwa hidup ini cukup berharga, karena memiliki makna dan
tujuan. Tujuan hidup adalah memperoleh kebahagiaan, dan makna hidup ada dalam
proses usaha mencapai tujuan itu. artinya, pertanyaan tentang makna hidup
dilontarkan dalam rangka memutuskan bagaimana cara menjalani hidup ini. Oleh
karena itu, hampir tidak ada orang yang tidak mempunyai makna dan tujuan hidup.
Setiap orang memiliki tujuan yang cukup berharga untuk diperjuangkan agar
terwujud. Karena adanya harapan itu akan menjadi penyangga kekuatan jiwanya
untuk tetap hidup ditengah kemungkinan seseorang tertimpa kesengsaraan.[4]
Makna dan Tujuan Hidup Manusia dalam Islam
Sekarang kita hidup di dunia, tepatnya menghuni bumi.
Namun suatu saat, dengan mengalami kematian, bumi akan hilang dari persepsi
kita. Karena persepsi kita mengenai bumi adalah berdasarkan kelima indra kita.
Maka apa yang kita lihat sebagai bumi, dunia kita, hanyalah sebatas kemampuan
fisik kita untuk melihat dan mengalami.[5]
Pada saat kematian, bumi yang kita tinggali ini akan
berada di luar kisaran persepsi kelima-indra kita, dan karenanya menjadi tidak
terlihat oleh kita, tapi kita akan terus ada dengan apa yang disebut dengan
badan-rohani. Badan astral atau badan halus kita, di dalam magnet bumi dan
terkena tarikan magnetik dari matahari.
Meskipun hubungan fisik kita akan berakhir melalui
kematian, badan-badan rohani kita akan terus hidup di dalam sabuk radiasi Von
Allen yang terkena medan magnet bumi di dalam pentas (platform)
matahari, seperti halnya yang saat ini kita jalani. Namun di dalam keadaan
keberadaan baru ini, bumi tidak akan nampak kepada kita; kita akan melanjutkan
kehidupan pada pentas (platform) radial matahari, hanya saja pada saat
ini dengan persepsi-ruh kita bukannya dengan persepsi indra tubuh fisik kita.[6]
Dengan mengasumsikan bahwa kita hidup selama 70 tahun di
bumi, akan berarti apakah angka ini jika kita mati? Karena kita akan pada zona
waktu matahari, dan satu tahun dari sudut pandang matahari adalah 255 juta
tahun, maka 70 tahun itu akan ekivalen dengan 8,6 detik. Yakni, orang mati pada
usia 70 tahun dan berpindah dimensi ke dimensi kehidupan berikutnya – yang
terikat zona waktu matahari – ia akan berkata, “Berapa lama aku hidup di bumi?
Apakah kehidupanku yang tidak lebih lama dari sebuah mimpi?”
Di dalam al-Quran, hal ini merujuk pada ayat, “Pada
hari ketika mereka melihatnya, akan terasa seolah mereka tidak tinggal (di
dunia ini) kecuali hanya selama waktu terbenamnya matahari (atau selama waktu
senja).” Kata asal yang digunakan untuk terbenamnya matahari atau senja
adalah asyiyyah, yang ekuivalen dengan waktunya shalat malam.
Sebagaimana diketahui, ini adalah priode pendek dimana warna kemerahan di
langit menghilang setelah matahari terbenam. Waktu ketika matahari tidak lagi
kelihatan, namun cahayanya belum benar-benar hilang; waktu singkat yang hanya
sesaat sebelum hari menjadi gelap.
Ketika kita melihat ke atas langit dan warna kemerahan
dari matahari yang baru terbenam menghilang. Tiba-tiba kegelapan akan
melingkupi kita. Seperti itulah singkatnya waktu yang akan dirasakan ketika
seseorang mati, meninggalkan zona waktu bumi, memasuki dimensi alam kubur dan
kemudian terkena zona waktu matahari!
Ketika kita mimpi selama tidur kita, berdasarkan indrawi
fisik duniawi dan konsep waktu kita sekarang, mimpi-mimpi kita bertahan selama
sekitar 40 hingga 50 detik. Namun ketika kita sedang bermimpi, beberapa detik
tersebut terasa lebih lama. Namun demikian, ketika kita bangun dan memikirkan
tentang mimpi kita, kita mengatakan itu hanya mimpi belaka. Hanya beberapa
detik yang singkat. Tidak lebih dari itu.
Seperti itulah kita diberitahu bahwa ketika kita mati dan
berpindah ke dimensi lain, memandang ke belakang kepada kehidupan kita di bumi
kita akan mengatakan, “itulah seolah kita hidup (di dunia), hanya sesaat ketika
matahari terbenam atau senja.” Inilah realitas yang diungkap kepada kita dalam
ayat ke-49 surah An-Naziat di dalam al-Quran.
Kematian akan membuat kita sadar bahwa rentang waktu
hidup 70 tahun kita di bumi hanyalah selama 8,6 detik waktu matahari. Segala
perjuangan kita, kesedihan-kesedihan kita, ikhtiyar-ikhtiyar kita, semuanya
berlangsung hanya dalam beberapa detik ini. Dan perlu dicatat bahwa periode 70
tahun merujuk pada rentang kehidupan secara kasar! Mulai masa kanak-kanak, masa
muda, usia lanjut, masa uzur semuanya sudah termasuk di dalamnya. Maka, jika
kita mendapatkan jatah periode dimana kita bisa mengevaluasi secara sadar,
berapa detik kah yang tersisa?[7]
Oleh karena itu, Islam selalu mengingatkan manusia akan
waktu yang singkat tersebut! Islam mengingatkan manusia untuk menghiasi
kehidupannya dengan hal yang positif, dengan beribadah kepada Allah SWT. Sebab
diciptakannya kita di dunia ini adalah untuk kehidupan yang kekal, akhirat;
untuk membangun badan rohani kita dan mengembangkan sumberdaya-sumberdaya untuk
perjalanan kita setelah kematian.
Allah SWT berfirman:[8]
وما
خلقت الجن والإنس الا ليعبدون.
Artinya:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia kecuali untuk beribadah menyembah (kepada Aku).”
Di dalam ayat tersebut Allah menggunakan kata ya’budun
sebagai penekanan bahwa selama proses hidup, manusia harus selalu melakukan
kebaikan dalam rangka beribadah kepada Allah, sampai nanti datang keyakinan –
meminjam istilah Gus Shofie, pengasuh PPM. Al-Ashfa Yogyakarta. Hatta
ya’tiyakal yaqin, yakni kematian. Jangan sampai di akhir hayat, kita sedang
melakukan hal yang dilarang Allah. Karena ‘Ujian Akhir Semester’ manusia dengan
Allah itu ketika sakaratul maut. Nah, perbuatan selama hidup di dunia
menentukan bagaimana sakaratul maut kita; apakah husnul khatimah? Atau malah
su’ul khatimah? Na’uzhubillah min zhalik!
Ketika manusia itu lolos dari Ujian akhir tersebut maka
ganjarannya adalah surga. Adapun yang tidak lolos maka dibalas dengan balasan
yang pedih. Allah MahaAdil di dalam mengadili hamba-Nya. tidak mungkin Allah
menzhalimi manusia. “Barang siapa yang berbuat kebaikan seberat biji
zharrah, maka dia akan melihat (merasakan balasannya). Dan barang siapa berbuat
kejelekan seberat biji zharrah, maka dia akan melihat (merasakan balasannya).”[9]
Manusia Cerdas VS Manusia Bodoh
Jika manusia tersebut cerdas, tentu dia akan melakukan
hal yang bisa menjaminnya di kehidupan akhirat. Dia akan mengorientasikan
seluruh aktifitas hidup di dunia untuk menggapai kebahagiaan hakiki.
Sebaliknya, orang yang bodoh adalah mereka yang lalai dengan kehidupan yang
kekal setelah di dunia. Sehingga mereka melakukan hal yang tidak ada manfaat
bagi dirinya.
Rasulullah Saw bersabda:[10]
إبن
آدم أطع ربك تسمى عاقلا ولا تعصه فتسمى جاهلا
Artinya:
“Wahai ibnu Adam: taatlah engkau
kepada Tuhanmu, maka kamu adalah orang yang berakal. Dan jangan bermaksiat
kepada Tuhanmu (kalau kamu maksiat) maka kamu adalah orang bodoh.”
Di dalam hadist lain, Rasulullah menggambarkan orang yang
cerdas dengan sangat gamblang:
أزهد
الناس من لم ينس القبر والبلى وترك أفضل زينة الحياة الدنيا، وآثر ما يبقى على ما
يفنى، ولم يعدّ غدا من أيامه وعدّ نفسه في الموتى (رواه البيهقي عن الضحاك مرسلا)
Artinya:
“manusia yang paling zuhud adalah
manusia yang tidak melupakan kehidupan di kuburan dan kerusakan serta
kelenyapannya, meninggalkan perhiasan dunia, mendahulukan perkara abadi dari
pada perkara yang akan rusak, lebih baik dari pada hari-hari sebelumnya, dan
mempersiapkan dirinya menghadapi kematian.”
Oleh karena itu, kita harus memperhatikan betul apa yang
kita lakukan di dunia ini. Jika sudah terlanjur ceroboh melakukan hal yang
bakal menjerumuskan kita ke dalam neraka maka bertaubatlah! Mumpung belum
terlambat. Kita harus selalu mengingatkan diri kita bahwa kehidupan yang
sebenarnya bukan di dunia ini tapi di akhirat kelak. Dunia ini hanya tempat
singgah sementara untuk mengumpulkan modal untuk perjalanan yang lebih jauh dan
lebih abadi. Jangan ssampai kita menjadi orang yang celaka dan rugi karena
telah menyia-nyiakan waktu yang sebentar ini!
[1] Andewi
Suhartini, Agama Dan Problem Makna Hidup (Hermeneia, Jurnal Kajian Islam
Interdisipliner Vol. 2 no. 1 Januari-Juni 2003), hal. 147
[5] Ahmed Hulusi, Hakikat Kehidupan, halm. 3
[9] Baca surah Az-Zalzalah ayat 7-8
[10] Assayid Ahmad Al-hasyimi, Mukhtarul Ahadist
An-Nabawiyah wal Hikami al-Muhamadiyah; Edisi ke-12 (Semarang: Karya Taha
Putra). Halm. 4
0 komentar:
Posting Komentar