About


Get this widget:

Rabu, 04 April 2018

HANYA 8,6 DETIK KITA HIDUP DI DUNIA!


Oleh: Muhamad Nur Hamid Hidayatullah
(Santri PPM. Al-Ashfa Yogyakarta)

أللهم لا عيش إلا عيش الأخرة (رواه البخاري)
Artinya:
“Ya Allah, tidak kehidupan (sejati. Pent) kecuali kehidupan akhirat.” (HR. Bukhari)

Keterangan:
Berbicara soal hidup, kita sering kali mendengar ada orang yang sangat mengeluh sangat pesimis, “Hidupku sudah tidak berarti lagi”. Lain waktu, kita mendengar ucapan yang bermakna sebaliknya, sangat optimis. “Rasa-rasanya saya adalah orang yang paling bahagia di dunia ini”. Dua ungkapan harian ini menunjukkan bahwa betapapun manariknya hidup ini, toh dapat membuat orang sengsara dan membuat orang bahagia.[1] kemudian timbul pertanyaan yang tidak bisa diingkari, apakah benar kehidupan manusia di dunia ini mempunya makna dan tujuan? Ataukah sesungguhnya hidup ini terjadi karena kebetulan belaka, tanpa makna apapun, dan tanpa tujuan sama sekali? Al-Quran juga tidak kalah serius mengajukan pertanyaan, “Apa kamu mengira bahwa Kami menciptakanmu sekalian secara sia-sia?”
Beberapa pertanyaan di atas menggambarkan problem makna hidup. Dalam hal ini, ada dua kelompok yang representatif mendiskripsikan problem makna hidup di atas, yaitu kaum Pesimis dan kaum Optimis.[2]
1.      Kaum Pesimis[3]
Kaum Pesimis berpandangan bahwa hidup ini tidak bermakna sekaligus tidak bertujuan, bahkan mengambil pengalaman keseluruhan manusia sebagai pangkal penalarannya. Mereka berpendapat bahwa hidup ini tidak saja tanpa makna dan tujuan, melainkan juga penuh kesengsaraan. Sehingga mati lebih baik dari pada hidup. Karena itu, menurut mereka, semua orang, seandainya bisa memilih, tentu akan memilih tidak ada dan hidup di dunia ini, dan puas dengan “damainya ketiadaan yang serba berkecukupan” (the piece of the all-sufficient nothing).
Selain alasan di atas, mereka menolak hidup memiliki makna dan tujuan dengan beberapa alasan. Pertama, mereka beranggapan bahwa setiap orang yang hidup pasti akan mengalami kematian, sedangkan kematian adalah peristiwa teragis dan amat menyedihkan. Ini berarti, menurut kamu Pesimis, hidup ini hanyalah proses menuju tragedi itu. jadi, hidup ini adalah kesengsaraan.
Kedua, mereka menolak hidup memiliki tujuan dan makna karena di dalam kehidupan tidak ada kebahagiaan sejati. Setiap gambaran mengenai kebahagiaan adalah palsu. Sebab, kebahagiaan itu sendiri adalah palsu. Suatu lukisan kebahagiaann akan menarik hati seseorang hanya selama lukisan itu masih berupa ide yang belum teerwujud, atau malah di masa lalu yang diromantiskan dan didambakan kembali secara nostalgik. Orang pun terdorong untuk mewujudkan lukisan kebahgiaan itu. tapi segera setelah usaha mewujudkan lukisan kebahagiaan itu dianggap selesai dan tujuan tercapai, mulailah kekecewaan demi kekecewaan timbul. Karena kebahagiaan adalah hal yang semu dan palsu, maka manusia adalah makhluk yang sengsara.
Ketiga, kaum Pesimis menolak makna dan tujuan hidup karena mereka mendifinisikan kebahagiaan itu secara negatif. Menurut mereka, jika kebahagiaan itu memang ada, maka akan didefinisikan secara negatif: “kebahagiaan ialah tidak adanya kesengsaraan”. Karena kebahagiaan adalah negatif, maka dirinya tidak mengandung kesejatiaan alias palsu. Oleh karena itu hidup adalah kesengsaraan.
2.      Kaum Optimis
Kaum Optimis memiliki pandangan bahwa hidup ini memiliki makna dan tujuan. Oleh karena itu, “menghidupkan” atau “menghidupi” orang adalah lebih baik dari pada “mematikan”-nya. kenyataan umum pada hampir setiap orang ialah pandangan bahwa hidup ini cukup berharga, karena memiliki makna dan tujuan. Tujuan hidup adalah memperoleh kebahagiaan, dan makna hidup ada dalam proses usaha mencapai tujuan itu. artinya, pertanyaan tentang makna hidup dilontarkan dalam rangka memutuskan bagaimana cara menjalani hidup ini. Oleh karena itu, hampir tidak ada orang yang tidak mempunyai makna dan tujuan hidup. Setiap orang memiliki tujuan yang cukup berharga untuk diperjuangkan agar terwujud. Karena adanya harapan itu akan menjadi penyangga kekuatan jiwanya untuk tetap hidup ditengah kemungkinan seseorang tertimpa kesengsaraan.[4]
Makna dan Tujuan Hidup Manusia dalam Islam
Sekarang kita hidup di dunia, tepatnya menghuni bumi. Namun suatu saat, dengan mengalami kematian, bumi akan hilang dari persepsi kita. Karena persepsi kita mengenai bumi adalah berdasarkan kelima indra kita. Maka apa yang kita lihat sebagai bumi, dunia kita, hanyalah sebatas kemampuan fisik kita untuk melihat dan mengalami.[5]
Pada saat kematian, bumi yang kita tinggali ini akan berada di luar kisaran persepsi kelima-indra kita, dan karenanya menjadi tidak terlihat oleh kita, tapi kita akan terus ada dengan apa yang disebut dengan badan-rohani. Badan astral atau badan halus kita, di dalam magnet bumi dan terkena tarikan magnetik dari matahari.
Meskipun hubungan fisik kita akan berakhir melalui kematian, badan-badan rohani kita akan terus hidup di dalam sabuk radiasi Von Allen yang terkena medan magnet bumi di dalam pentas (platform) matahari, seperti halnya yang saat ini kita jalani. Namun di dalam keadaan keberadaan baru ini, bumi tidak akan nampak kepada kita; kita akan melanjutkan kehidupan pada pentas (platform) radial matahari, hanya saja pada saat ini dengan persepsi-ruh kita bukannya dengan persepsi indra tubuh fisik kita.[6]
Dengan mengasumsikan bahwa kita hidup selama 70 tahun di bumi, akan berarti apakah angka ini jika kita mati? Karena kita akan pada zona waktu matahari, dan satu tahun dari sudut pandang matahari adalah 255 juta tahun, maka 70 tahun itu akan ekivalen dengan 8,6 detik. Yakni, orang mati pada usia 70 tahun dan berpindah dimensi ke dimensi kehidupan berikutnya – yang terikat zona waktu matahari – ia akan berkata, “Berapa lama aku hidup di bumi? Apakah kehidupanku yang tidak lebih lama dari sebuah mimpi?”
Di dalam al-Quran, hal ini merujuk pada ayat, “Pada hari ketika mereka melihatnya, akan terasa seolah mereka tidak tinggal (di dunia ini) kecuali hanya selama waktu terbenamnya matahari (atau selama waktu senja).” Kata asal yang digunakan untuk terbenamnya matahari atau senja adalah asyiyyah, yang ekuivalen dengan waktunya shalat malam. Sebagaimana diketahui, ini adalah priode pendek dimana warna kemerahan di langit menghilang setelah matahari terbenam. Waktu ketika matahari tidak lagi kelihatan, namun cahayanya belum benar-benar hilang; waktu singkat yang hanya sesaat sebelum hari menjadi gelap.
Ketika kita melihat ke atas langit dan warna kemerahan dari matahari yang baru terbenam menghilang. Tiba-tiba kegelapan akan melingkupi kita. Seperti itulah singkatnya waktu yang akan dirasakan ketika seseorang mati, meninggalkan zona waktu bumi, memasuki dimensi alam kubur dan kemudian terkena zona waktu matahari!
Ketika kita mimpi selama tidur kita, berdasarkan indrawi fisik duniawi dan konsep waktu kita sekarang, mimpi-mimpi kita bertahan selama sekitar 40 hingga 50 detik. Namun ketika kita sedang bermimpi, beberapa detik tersebut terasa lebih lama. Namun demikian, ketika kita bangun dan memikirkan tentang mimpi kita, kita mengatakan itu hanya mimpi belaka. Hanya beberapa detik yang singkat. Tidak lebih dari itu.
Seperti itulah kita diberitahu bahwa ketika kita mati dan berpindah ke dimensi lain, memandang ke belakang kepada kehidupan kita di bumi kita akan mengatakan, “itulah seolah kita hidup (di dunia), hanya sesaat ketika matahari terbenam atau senja.” Inilah realitas yang diungkap kepada kita dalam ayat ke-49 surah An-Naziat di dalam al-Quran.
Kematian akan membuat kita sadar bahwa rentang waktu hidup 70 tahun kita di bumi hanyalah selama 8,6 detik waktu matahari. Segala perjuangan kita, kesedihan-kesedihan kita, ikhtiyar-ikhtiyar kita, semuanya berlangsung hanya dalam beberapa detik ini. Dan perlu dicatat bahwa periode 70 tahun merujuk pada rentang kehidupan secara kasar! Mulai masa kanak-kanak, masa muda, usia lanjut, masa uzur semuanya sudah termasuk di dalamnya. Maka, jika kita mendapatkan jatah periode dimana kita bisa mengevaluasi secara sadar, berapa detik kah yang tersisa?[7]
Oleh karena itu, Islam selalu mengingatkan manusia akan waktu yang singkat tersebut! Islam mengingatkan manusia untuk menghiasi kehidupannya dengan hal yang positif, dengan beribadah kepada Allah SWT. Sebab diciptakannya kita di dunia ini adalah untuk kehidupan yang kekal, akhirat; untuk membangun badan rohani kita dan mengembangkan sumberdaya-sumberdaya untuk perjalanan kita setelah kematian.
Allah SWT berfirman:[8]
وما خلقت الجن والإنس الا ليعبدون.
Artinya:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah menyembah (kepada Aku).”
Di dalam ayat tersebut Allah menggunakan kata ya’budun sebagai penekanan bahwa selama proses hidup, manusia harus selalu melakukan kebaikan dalam rangka beribadah kepada Allah, sampai nanti datang keyakinan – meminjam istilah Gus Shofie, pengasuh PPM. Al-Ashfa Yogyakarta. Hatta ya’tiyakal yaqin, yakni kematian. Jangan sampai di akhir hayat, kita sedang melakukan hal yang dilarang Allah. Karena ‘Ujian Akhir Semester’ manusia dengan Allah itu ketika sakaratul maut. Nah, perbuatan selama hidup di dunia menentukan bagaimana sakaratul maut kita; apakah husnul khatimah? Atau malah su’ul khatimah? Na’uzhubillah min zhalik!
Ketika manusia itu lolos dari Ujian akhir tersebut maka ganjarannya adalah surga. Adapun yang tidak lolos maka dibalas dengan balasan yang pedih. Allah MahaAdil di dalam mengadili hamba-Nya. tidak mungkin Allah menzhalimi manusia. “Barang siapa yang berbuat kebaikan seberat biji zharrah, maka dia akan melihat (merasakan balasannya). Dan barang siapa berbuat kejelekan seberat biji zharrah, maka dia akan melihat (merasakan balasannya).”[9]
Manusia Cerdas VS Manusia Bodoh
Jika manusia tersebut cerdas, tentu dia akan melakukan hal yang bisa menjaminnya di kehidupan akhirat. Dia akan mengorientasikan seluruh aktifitas hidup di dunia untuk menggapai kebahagiaan hakiki. Sebaliknya, orang yang bodoh adalah mereka yang lalai dengan kehidupan yang kekal setelah di dunia. Sehingga mereka melakukan hal yang tidak ada manfaat bagi dirinya.
Rasulullah Saw bersabda:[10]
إبن آدم أطع ربك تسمى عاقلا ولا تعصه فتسمى جاهلا
Artinya:
“Wahai ibnu Adam: taatlah engkau kepada Tuhanmu, maka kamu adalah orang yang berakal. Dan jangan bermaksiat kepada Tuhanmu (kalau kamu maksiat) maka kamu adalah orang bodoh.”
Di dalam hadist lain, Rasulullah menggambarkan orang yang cerdas dengan sangat gamblang:
أزهد الناس من لم ينس القبر والبلى وترك أفضل زينة الحياة الدنيا، وآثر ما يبقى على ما يفنى، ولم يعدّ غدا من أيامه وعدّ نفسه في الموتى (رواه البيهقي عن الضحاك مرسلا)
Artinya:
“manusia yang paling zuhud adalah manusia yang tidak melupakan kehidupan di kuburan dan kerusakan serta kelenyapannya, meninggalkan perhiasan dunia, mendahulukan perkara abadi dari pada perkara yang akan rusak, lebih baik dari pada hari-hari sebelumnya, dan mempersiapkan dirinya menghadapi kematian.”
Oleh karena itu, kita harus memperhatikan betul apa yang kita lakukan di dunia ini. Jika sudah terlanjur ceroboh melakukan hal yang bakal menjerumuskan kita ke dalam neraka maka bertaubatlah! Mumpung belum terlambat. Kita harus selalu mengingatkan diri kita bahwa kehidupan yang sebenarnya bukan di dunia ini tapi di akhirat kelak. Dunia ini hanya tempat singgah sementara untuk mengumpulkan modal untuk perjalanan yang lebih jauh dan lebih abadi. Jangan ssampai kita menjadi orang yang celaka dan rugi karena telah menyia-nyiakan waktu yang sebentar ini!



[1] Andewi Suhartini, Agama Dan Problem Makna Hidup (Hermeneia, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner Vol. 2 no. 1 Januari-Juni 2003), hal. 147
[2] Ibid. Halm. 148
[3] Ibid., halm. 149
[4] Ibid,. Halm. 151
[5] Ahmed Hulusi, Hakikat Kehidupan, halm. 3
[6] Ibid., halm. 4
[7] Ibid., halm. 7
[8] Baca surah Azh-Zhariat ayat 56
[9] Baca surah Az-Zalzalah ayat 7-8
[10] Assayid Ahmad Al-hasyimi, Mukhtarul Ahadist An-Nabawiyah wal Hikami al-Muhamadiyah; Edisi ke-12 (Semarang: Karya Taha Putra). Halm. 4

0 komentar:

Posting Komentar