HARUS ADA TUMBAL UNTUK KESUKSESAN
Oleh: Must Hiday
Pernah denger tidak, kalau hidup adalah pilihan.
Artinya harus ada yang dikorbankan. Ungkapan itu ternyata benar. Misalkan
ketika engkau sedang menginginkan pekerjaan, akan tetapi ditengah jalan kamu dihadapkan
masalah ujian PPL kuliah. Lantas apa yang akan kamu lakukan? Memilih keduanya?
Tentu tidak bisa. Apa mau menghindari keduanya? Silahkan kalau ingin mati
konyol – itupun suatu pilihan yang mengorbankan masa depanmu. Berarti kamu
harus memilih salah satunya yang menurutmu baik dan lebih penting untuk
menunjang masa depanmu. Setuju kan?
Nah, tadi pagi, jam delapan, aku harus berangkat
untuk interview pekerjaan. Kamu tahu kan, orang segede aku gini, udah tua,
pasti membutuhkan pekerjaan untuk masa depan, untuk tabungan masa depan, dan
tentu untuk modal nikah. Oleh karena itu, pekerjaan ini sangat berarti bagiku.
Aku harus mendapatkan kerja. Sehingga aku bisa memiliki uang sendiri untuk
mencukupi kebutuhan hidup, tidak perlu mengemis kepada orang tua lagi. Uang
orang tua yang biar dinikamati orang tua. Bahkan kalau bisa kita yang harus
menafkahi orang tua, sebagai balas budi kepada mereka.
Berkas sudah aku siapkan semua, mulai dari CV
sampai fotokopi foto. Aku cek lagi untuk memastikan syarat interview sudah lengkap.
Dirasa cukup, aku keluar pondok menuju ke motorku. Ku tenteng tasku layaknya
seorang direktur perusahaan. Saya suka bergaya seperti orang sukses. Ada satu
buku yang sangat menginspirasiku. Buku itu berjudul.... apa ya? Kok lupa
aku. Tapi intinya buku itu menerangkan bahwa orang sukses dapat diprediksi
mulai dari detik ini. Tidak usah menunggu besok. Jika sejak kecil atau muda,
seseorang sudah berperilaku, berbudaya, bertindak seperti orang sukses, maka
orang itu kemungkinan besar besok masa depan akan menjadi orang hebat. Itulah
mengapa aku berlagak seperti orang hebat, bertindak seperti orang hebat dan
berpikir seperti orang hebat. Supaya masa depanku juga secerah mereka yang
menjadi manajer, direktur dan orang sukses lainnya.
Ku-“pancal” sepeda motor jadulku yang berwarna
putih hitam. Suaranya sangat khas; trontong tong tong, memekak telinga orang
yang mendengarkannya. Kutarik gasnya pelan-pelan. Motor SuperCub – motor
Thailand – mulai maju perlahan-lahan menyusuri jalan (Sisa orang yang aku makan.
Malah nyanyi).
Kulihati rumah dan toko-toko pinggir jalan. Jam
segini masih banyak toko yang belum buka. Sudah menjadi adat orang sini kalau
buka toko itu jam sembilanan. Kalau di daerahku – Demak sana – warung buka pada
jam enam, bahkan jam lima pas. Jadi, ma cari sarapan itu enak, nggak usah
nunggu sampe jam sembilan lebih. Padahal sarapan melebihi jam sembilan kan
tidak baik.
Berlalu lalang motor dan mobil menyalip motorku.
Ada yang boncengan ada yang tidak. Ada yang bawa keranjang besar juga dengan
sayur-sayuran. Ujung sayurannya terjuntai keluar dari keranjangnnya.
Melambai-lambai ke arahku. Kulihatin saja itu sayuran. Sepertinya sayuran itu
minta tolong sama aku. Dia nggak mau berakhir jadi oseng-oseng atau sayur
bening. Kasihhan. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. “Maafkan aku, sayur.” Aku
berimajinasi seperti orang gila.
Aaahhh jadi lapar kan.
Lagi bengong ngelihatin sayuran, tiba-tiba ada
motor metik yang ditunggangi dua cewek, menyenggol motor sama-sama metik yang
dikendarai mas-mas gendut. Kronologinya pertama kali si mbak-mbak mau menyalip
karena terburu-buru, mereka takut terlambat. Sedangkan masnya mau belok kiri
menuju warung makan. Sayangnya mas ini tidak menyalakan lampu Sen. Sehingga
yang terjadi adalah gubrak! Glontang! Tiyarr! Pess! Preettt! Duttt! Ya kurang
lebih suaranya seperti itu.
Aku melihat dengan jelas bagaimana mbak-mbaknya
tersungkur. Motornya jatuh menabrak tempat duduk. Seketika aku langsung
berhenti dan berlari membantu mereka. Kasihan. Baju, androk dan sepatu mereka
berdua kotor terkena tanah yang bercampur air. Untung mereka tidak terluka
parah, paling Cuma lecet di telapak tangan. Sementara itu, masnya baik-baik
saja. Motornya tidak jatuh.
Mas gendut pakai baju biru dan katok pendek, turun
dari motornya menhampiri korban yang jatuh. Sambil tersenyum ketakutan, dia
meminta maaf. Akan tetapi mbaknya diam aja, kebingungan; mau dimaafkan tapi
masnya kan harus tanggung jawab, mau menuntut tanggungjawab masnya juga
mbak-mbaknya takut.
“Mas, sampean harus tanggungjawab. Sampean yang
salah. Mau belok, lampu Sen-nya tidak
digunakan!”Ucapku dengan tegas membantu menyuarakan hak mbak-mbak tadi.
Saya tidak takut bilang seperti itu, meski aku
masih muda, sedang umur masnya di atasku. Tapi karena memang dia yang salah dan
harus tanggung jawab to. Masak mau lari begitu saja, sementara mbaknya dan
motornya belum dipenuhi haknya.
“Nggeh mas,” jawabnya sambil sedikit membungkuk ke
arahku. Dia takut. Orang yang salah pasti akan ketakutan karena dia sadar
perbuatannya itu merugikan orang lain. Bagi yang sadar. Kalau yang tidak sadar
atas kesalahannya, mau diomongin kayak apa juga tidak akan ngerti.
“Ya masalah kalian diselesaikan dengan baik.
Jangan sampai ada yang dirugikan,” kataku kemudian aku naik motor dan melaju
meninggalkan mereka. Karena aku masih ada urusan yang penting juga.
Setibanya dilokasi interview kerja, kami, para
calon karyawan, memasuki sebuah ruangan seminar. Di dalam ruangan sudah berdiri
beberapa panitia; cewek satu cowok empat – berdiri menyambut kami. Di depan
ruang seminar sudah menyala proyektor, menyorotkan tampilan Poer Point yang
tertulis “SELAMAT DATANG PARA PEMIMPIN”. Ruangannya gelap karena lampunya
dimatiin.
Di situ kita disuruh duduk dengan rapi dan tenang.
Karena setelah ini acara akan dimulai. Kemudian seorang cowok kurus tinggi
melangkah menuju ke depan peserta. Dia terlihat sangat percaya diri. Terlihat
dari cara dia berjalan dan berdiri memegang mikrofon. Dia melihat kami dari
ujung kanan ke kiri. Kemudian dia mengawali pidatonya dengan ucapan salam. Dia
MC to ternyata.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaaatuh!”
“Wa’alaikumus salam warahmatullahi wabarakatuh,”
jawab kami serentak dengan sangat bersemangat.
“Kita berkumpul di sini tidak lain adalah untuk
melangkah menjadi pemimpin besok di masa yang akan datang. Karena kalian lah
yang akan melanjutkan perjuangan kami. Kejayaan negara dan agama kelak berada
di tangan kalian. Jika yang kalian tanamkan dalam diri kalian sejak dini adalah
budaya malas, tidak memiliki etos kerja tinggi, dan tidak mempunyai mimpi yang
tinggi, maka tinggal menunggu waktu Indonesia dan Islam menjadi sesuatu yang
tinggal nama. Akan tetapi, jika sebaliknya, yang kalian kerjakan saat ini
adalah hal positif untuk membangun masa depan, untuk mengembangkan potensi
kalian, maka, saya yakin bahwa Islam dan Indonesia akan jaya di tengah dunia
yang semakin gila ini.” Orasi awal yang cukup menggugah mataku.
Di tengah-tengah aku sedang fokus mendengarkan
motivasi dari mas panitia, aku teringat kalau hari ini adalah hari Jumat. Yang
artinya hari ini aku ada ujian PPL! Buset gimana ini?? Mana yang harus aku
pilih antara kerja dan kuliah? Kalau aku pilih kuliah berarti aku harus
siap-siap gak kerja dan otomatis aku tidak akan punya uang. Sedangkan kalau aku
pilih kerja, hla nanti kuliahku bagaimana? Ujian PPL-ku? Skripsi-ku?
Memang kerja disini memakai sistem pembagian jam
atau shift. Tetapi, kalau dipikir-pikir, itu tetap akan mengganggu
kuliahku. Okey, katakan aku bisa mencicil skripsiku pada malam hari, tetapi
siang hari aku tidak bisa bimbingan karena aku harus kerja. Terus kalau aku
dapet kerja malam, tentu aku tidak bisa menulis skripsiku dan siangnya aku
tidak bisa bimbingan. Hla bimbingan apa, wong tidak ada yang ditulis? Tidak
mungkin kan aku ngajak pembimbingku untuk bimbingan haji, bisa dicorat-coret
nanti mukaku.
Aku bingung. Mana yang harus aku menangkan dan aku
jadikan tumbal. Aku harus menumbalkan salah satunya. Memilih kerja tentu tidak
mungkin. Memilih kuliah, aku juga kurang puas karena tidak akan bekerja.
Aku terdiam. Aku sudah tidak bisa fokus
mendengarkan kata-kata panitia di depan. Yang ada dalam pikiranku adalah kerja
dan kuliah. Bahkan mataku tidak melihat orang-orang disekitarku. Aku bengong.
tepat dibelakangku ada orang berdiri hendak lewat ke depan. Dia menyentuhku,
membuyarkan lamunanku. Aku kemudian menoleh kebelakang. Dia tersenyum ramah
kepadaku. Aku paham maksutnya – dia minta jalan. Dia tidak bisa lewat karena
terhalang aku.
Aku bergeser sedikit ke arah barat. Sekiranya ada
jalan yang bisa dia lewati. Kakinya melangkahi lutut kananku. Aku memandangi
rambutnya. Aku tertarik kepada rambutnya. Unik banget. Rambutnya krebo sehingga
kepalanya terlihat besar sekali dibandingkan badannya. “berat tidak ya rambut
segede itu?” pikirku.
Kemudian aku menoleh ke belakang. Sepertinya ada
salah satu panitia sedang berdiri di belakang. Aku mau izin dulu untuk
meninggalkan ruangan. Aku mau ke kampus dulu, mengikuti ujian PPL. Aku berdiri
menghampiri mas Rahman – panitia yang berdiri di belakangku. Sambil tersenyum
aku meminta izin kepadanya. Akan tetapi dia tidak mengizinkan.
Aku kembali ke tempat dudukku semula. Aku terdiam
lagi. Bingung apa yang harus aku lakukan. Pandanganku tertunduk. Berpikir
keras. Okey, aku harus buat keputusan dan keputusanku adalah kuliah. Kuliah
harus aku nomor-satukan. Pendidikanku lebih penting. Aku harus ingat bahwa aku
ingin S2. Tidak boleh berhenti di S1 saja. Sebab di era modern ini, S1 ibarat
seperti anak lulusan SMA atau yang lain. Artinya sarjana S1 saat ini sudah
banyak sekali. Tentu lapangan kerja lebih membutuhkan tingkat pendidikan yang
lebih tinggi yakni S2.
“bismillah, aku milih kuliahku,” batinku
meyakinkan diriku sendiri.
Kemudian aku bangun dan menghampiri mas Rahman.
“Mas, saya pamit mau ke kampus. Karena hari ini
saya ujian PPL,” ucapku berpamitan.
“Oh iya mas. Berari mas sudah tidak bisa bergabung
dengan kami,” ujarnya sambil bersandar ke tembok.
“Iya, mas. Tidak apa-apa. Terima kasih ya sudah
memanggil saya untuk interview, meski ada hal lain yang tidak bisa saya
lepaskan,” jawabku.
Kujabat tangannya. Lalu aku pergi keluar ruangan.
Sinar matahari langsung menyambutku dengan lembut.
Menyadarkan aku bahwa di luar sana masih banyak pekerjaan. Yang penting saat
ini aku harus fokus mengejar pendidikan. Saya yakin dengan sabda Nabi Muhammad
SAW bahwa dengan ilmu maka dunia dan akhirat akan mengikutiku. Tidak usah
takut, Mid. Justru kamu jangan mau dipekerjakan orang. Kamu harus
memperkerjakan orang, menggaji mereka, menghidupi mereka. Para direktur aja
bisa, masak saya tidak bisa. Wong makannya ya sama-sama nasi.
Aku melangkah menuju tempat parkiran, mengambil
motorku. Setelah beberapa detik mencari dimana aku memarkirkan motorku,
akhirnya ketemu juga. Bingung mencari motor di tengah motor yang berjubel. Aku
dorong motorku ke luar area parkiran. Kemudian aku duduk di atas motor bututku
sebelum akhirnya melaju kencang menerobos jalan raya. Aku menghela nafas
dalam-dalam. Membuang semua pikiran negatif dan mengisi ulang dengan harapan
yang positif.
“Ada pengorbanan – baik itu tenaga, waktu, uang
maupun pikiran – untuk masa depan yang lebih cerah. Bagaimana kau akan merasa
kenyang jika tidak diawali dengan memasak atau membeli makanan?”
0 komentar:
Posting Komentar