Oleh: Must Hiday
Realita sosial adalah
keniscayaan yang tidak bisa dihindarkan. Sedangkan kita adalah para penafsir
zaman bahkan “nilai berjalan” yang seharusnya mengisi realita itu. Ya,
dimanapun posisi kita, kita harus menjadi lampion bagi sekitar kita. Karena,
sebenarnya, masalah itu bukan masalah. Masalah adalah itu tergantung sikapmu
terhadap masalah; jika kamu menganggap itu sebagai masalah, maka akan menjadi
masalah serius yang bisa membahayakan hidupmu, masa depanmu. Akan tetapi jika
kamu menyikapi masalah itu dengan tenang dan memasrahkan segalanya kepada Allah
SWT, maka masalah itu tidak akan bisa mengganggumu apalagi berantakin hidupmu. The
problem is not the problem, but problem is your attitud about that problem.
Kala itu, aku masih “mager”[1]
di atas kasur lantai. Tanganku dan mataku sibuk pada satu hal, yaitu HP. Mataku
mendapat tugas memandangi layar HP. Sedangkan tangan bertugas menggesek-gesek
layar HP. Tinggal nunggu bulan depan, gajian mereka. Haha
Aku sendirian di kamar. Kamar
kecil dengan cat putih agak kusam karena memang rumah lama. di sebelah kiri
kasur lantaiku ada lemari bajuku beserta rak-rak buku yang berjejer pula. Sepi.
Aku sering kesepian kalau di kamar ini. Makanya aku setiap kali berada di
kamar, kalau siang jendela kamar pasti terbuka. Sedangkan kalau malam lampu
tidak pernah aku matiin. Sampai tidurpun lampunnya masih menyala - meskipun aku harus beruasaha keras menidurkan
diri sendiri dengan lampu yang masih benderang terang. Aku paling susah kalau
tidur dengan lampu menyala. Meski sebenarnya aku kesusahan tidur kalau lampu
terang.
Tapi untungnya aku sudah punya
pacar. Cieee... masih ada temen ngobrol meski Cuma sebatas chattingan
WA. Kami kalau WA-nan pasting ujung-ujungnya saling menghina, bercanda, ketawa
bareng lewat layar. Tapi semua itu kami lakukan supaya tidak terlalu serius.
Gak enak terlalu serius. Ya ada tempatnya; kapan harus serius dan kapan harus
bercanda. Kata dia kalau terlalu serius nanti mukanya boros, nggak unyu-unyu
lagi.
“Dek, ayuk tebak-tebakkan ma
mas.” Pintaku di WA mecoba mencairkan suasana.
“Tebak-tebakkan apa, Mas?”
jawabnya beberapa saat kemudian.
“Tebak-tebakkan yang lucu aja.
Terserah mau tebak-tebakkan apa.” Kusentuh tombol hijau pada sisi kanan chat
untuk mengirim.
Lama aku menunggu balesan
darinya. Sudah biasa dia kalau bales lama. aku maklumi aja, mungkin dia sedang
sibuk atau sedang ngobrol sama temennya. Tapi nanti juga bales sendiri.
Dan betul. Nderrrrr...
ndeerrrr... HP-ku bergetar. Cepat-cepat aku buka WA-ku. Mataku membaca satu
chat, tapi bukan dari ngatmi.
Muridku nge-chat aku. Waahh
ada apa ini? Cewek lho, imoet-imoet lagi. Sekilas aku lihat, dia meminta tolong
untuk ngirimin... nggak tau. Aku sentuh chatnya. Owalah ternyata dia minta
tolong untuk ngirimin foto yang diambil siang tadi di dalam satu kelas. Satu
kelas minta foto bareng sama aku. Padahal ditengah kegiatan belajar mengajar.
Anak-anak kelas MTsN 2 Sleman
emang aktif-aktif.
“Iya, dek, bentar ya,” jawabku
singkat.
Kemudian aku melihat-lihat
folder foto di HP-ku. Mancari foto yang bersama kelas delapan A. Jariku terus
men-scroll layar HP. Aku heran melihat fotoku yang banyak. Padahal aku
nggak pernah foto-foto kecuali tadi siang itu – bersama muridku. Tapi ternyata
foto di folderku banyak banget. Mungkin karena WA-ku belum aku atur untuk
download otomatis ketika tersambung ke WIFI.
“Terima kasih, Mas Hamid.”
Balasnya setelah beberapa foto aku kirimkan kepadanya.
“Sama-sama, adek Cupit.” Aku
menirukan gaya chat-nya.
Adek gemesnya tidak WA lagi.
Asem. WA kalau ada butuhnya aja. Deket kalau ada butuhnya saja. Sebenarnya,
dalam pertemanan atau sillaturrahmi kan harus ikhlas. Tidak hanya ketika butuh
sesuatu atau tertimpa sesuatu, baru bersilaturrahmi, mendekati atau mengakrabi
orang lain. Seperti itu, menurutku, kurang tepat.
Pikiranku kembali ingat dek
Ngatmi, calon istriku. “Kok dia belum bales juga ya?” batinku.
Aku menghela nafas. Aku
khawatir. Takut terjadi hal-hal yang tidak disenangi. Kupejamkan mataku,
meyakinkan hatiku kalau semuanya baik-baik saja. Aku percaya sama dia. Aku
rebahkan ke dua tanganku membuka ke atas. kurasakan empuknya kasur lantaiku.
Setidaknya aku merasa nyaman sekarang. Tidak kacau.
Beberapa menit kemudian, HP-ku
bergetar lama sekali. Awalnya kukira itu adalah telfon. Eh ternyata balesan WA
dari dek Ngatmi. Lama banget. Aku WA dia pada jam delapan lebih tiga puluh
empat. Dia membalasnya pada jam sembilan lebih lima puluh empat. Satu jam
kurang lebih dia tidak membalas chat-ku.
Dia memang sibuk beneran. Dia
tadi mengangkat jemurannya kemudian masak nasi dan lauk. Dia ingin hidup
mandiri. Tidak mau manja, katanya.
“Ayo, Mas, lanjut. Maaf tadi
adek harus ngangkat jemuran dan masak buat makan.” Ada emot senyum dan tangan
mengatup setelah chatnya. Emot senyumnya seimut senyuman dia. jadi kangen kan.
“Coba jawab; didumuk empuk,
nak ditutuk atos[2],
apa itu?” aku mulai mengajukan tebakan ke dia.
Aku yakin dia tidak bisa
menjawab pertanyaanku.
Lama nggak bales. Ya, kali ini
dia mungkin lagi gluntungan di kasur sambil megangin kepalanya. Mikir mencari
jawabannya. Perkiraanku. Lucu juga ya.
Aku tersenyum sendiri membayangkan dia mikir sambil guling-guling.
“Aku menyerah mas. Nggak tau.”
Benar kan dugaanku. Karena
pertanyaan ini memang pertanyaan yang sangat sulit. Orang paling jenius di
dunia ini – misalkan albert enstein – belum tentu bisa menjawabnya.
Aku tertawa terpingkal-pingkal
membaca pesannya. Cepet banget menyerah. Dia nggak sampai memikirkan ke jawaban
yang aku pikirkan.
“Jawabannya adalah.....”
sengaja ku kirimkan potongan pesan gak lengkapku kepadanya. Supaya seperti
pemanggilan nomor undian lomba jalan sehat. Hahaha
“Apa, Mas?” jawabnya
penasaran.
“TELEEEEKKK..... hahaha”,
jawabku dengan cepat.
Perutku terasa sakit karena
tertawa terus, bercanda sama dek Ngatmi. Dek Ngatmi bagiku adalah cewek yang
cantik, tinggi, putih, penyayang, keibuan, dewasa dan manja. Menurutku cewek
manja itu hal positif yang bisa menambah keharmonisan hubungan. Tapi dengan
satu catatan, TIDAK KETERLALUAN MANJANYA! Ada kadar yang harus dijaga untuk
keseimbangan hidup. Kalau istilah jawanya: NGONO YO NGONO, TAPI YO OJO NGONO,
gitu ya gitu, tapi jangan terlalu seperti itu. Jangan berlebihan.
Malam itu aku merasa tentram
bahagia. Aku bisa komunikasi dengan belahan jiwaku dan belahan uangku - suatu saat kan emang uangku untuk dia. aku
ingin serius sama dia. aku tidak ingin hubungan ini berhenti sampai pacaran
saja. Percuma dong. Kalau memang cinta, ya pertahankan dia dengan segala
kelebihan dan kekurangannya.
Cinta itu bukan tentang
perasaanmu yang tetap sayang kepadanya. Lantas kalau perasaan itu hilang, kamu
malah meninggalkannya. Cinta itu nggak senaif itu. Cinta itu lambang kedewasaan
seseorang. Sehingga orang yang benar-benar mencintai, maka dia akan mengerti
bagaimana seharusnya dia tanggungjawab kepada komitmen awal.
Hargai wanita. Jangan
permainkan wanita. Mereka adalah tulang rusuk kita. Kalau kita menyia-siakan
mereka, maka kita sama saja menghina Allah SWT yang sudah menjadikan wanita
dari bagian diri kita. Okey. Kita harus didik mereka dengan sebaik mungkin.
Karena wanita adalah cerminan kewibawaan seorang laki-laki. Almar’atu hiya
mir’atul muru’ah.
Malam sudah semakin larut dan
membawa lamunanku semakin dalam tersungkur ke dalam lelapku. Entah bagaimana
kantukku mencuri kesadaranku sehingga yang tersisa adalah hampa. Memang
kehampaan terkadang sangat diperlukan untuk menyeimbangkan ego dan cintamu.
Setelah mentari esok terbit membumbung lalu membiaskan senyummu, maka saat
itulah kau akan menjadi dewasa dan bertanggung jawab kepada wanitamu.
Aku terlelap.
Entah apa yang sedang terjadi
selama malam itu.
0 komentar:
Posting Komentar