“Entah, ini soal ketakutanku tentang waktu
yang akan terbuang sia-sia atau ketakutanku yang belum menemukan jati diriku,”
batinku. Karena sampai detik ini, aku belum mampu memantapkan diriku sendiri;
mau jadi apa? – antara menjadi penulis atau menjadi seorang komikus. Kedua hal
tersebut adalah salah satu hobi yang aku sukai. Menggambar sudah dari kecil,
sejak aku duduk di bangku kelas lima MI – terus berkembang sampai sekarang.
Meski perkembangannya nggak begitu besar ketimbang temanku, Iqbal –
panggilannya. Sedangkan menulis bisa dikatakan hobi baru karena mulai suka
menulis ketika aku pertama kali masuk ke MTs. Sunan Barmawi. Aku masih ingat
betul jenis tulisan apa yang aku buat waktu itu. Apalagi coba kalau nggak puisi
alay bin lebay yang isinya bahas cinta. Ya hal wajar untuk remaja usia segitu.
Dari dua skill – bukan sikel –
tersebut, aku menjadi orang yang bingung dan nggak jelas. Bahkan detik-detik
kopiku tinggal satu “serutupan” aku masih bengong. Penulis, komik? Penulis,
komik?
Sementara itu, temenku – Zaenullah namanya –
nggak kalah kalang kabut mikirin jati dirinya. Entah kenapa kita sama-sama
bingung. Terlalu banyak ngambil mata kuliah Filsafat kali ya. Hahah... tak
lihatin dia sedang asik maini HP-nya. Matanya fokus mengikuti jempolnya ke atas
dan ke bawah. Mungkin sedang baca chat – cari info lowongan kerja. Maklum, kita
masih pengangguran mencari jati diri.
“Zen, diminum lho kopimu”, tegurku, mencoba
mencairkan suasana.
“oh iya. Bentar lagi,” jawabnya. “Masih baca chat
WA”, lanjutnya. Kepalanya kembali enghadap ke arah HP. Artinya dia memang
sedang fokus.
Malam ini memang terasa dingin. Sisa air hujan
sesekali menetes dari atap gerobak nasi kucing, jatuh di lenganku. Tetapi mobil
dan motor banyak yang berlalu lalang dengan lampu yang terang – kombinasi
putih, kuning dan merah. Indah juga, pikirku. Suara erangan mesinnya juga tak
mau kalah mempesona telingaku supaya tidak tuli dari keramaian jalan dan
kehidupan. Ada satu isyarat yang harus aku tangkap bahwa hidup itu tidak ada
yang sia-sia jika aku mau berfikir dan bertindak.
“pak, nambah air putih hangat, njeh.”
Pintaku kepada bapak pemilik angkringan.
“iya, mas.” Jawabnya sambil tangannya meraih
gelas, hendak diisi air pesananku.
Sebelumnya udah tau apa itu angkringan tidak? Angkringan
adalah gerobak dorong yang di dalamnya terdapat tempat memanaskan air – buat
wedang nantinya, dan ada nasi kucing serta goreng-gorengan. Tak ketinggalan
juga kopi. Bagiku yang mantap adalah kopi dan nasi kucingnya. Karena murah
meriah. Haha. Terutama bagi mahasiswa yang lagi bokek atau tirakat.
Kulihat bapaknya seperti bahagia. Dia menerima
dan menjalani hidup ini tanpa “ba-bi-bu”. Yang ada di depannya saat ini adalah
tes ujian yang harus dia garap dengan menuliskan jawabannya - dengan menjalaninya, memanfaatkannya menjadi
lebih baik. Tidak hanya berhenti di kepala. Hidup tidak hanya untuk difikirkan
saja, tapi juga untuk dijalani.
“Monggo, mas, airnya.” Gelas air putih
disodorkan ke arahku. Kulihat wajahnya. Bapak itu tersenyum ramah.
Aku tersenyum kepada bapak angkringan – aku
nggak sempet tanya namanya.
Bapak angkringan kembali meladeni pelanggan
yang lain. Angkringannya cukup ramai, meski sudah jam sembilan malam. Semua
pelanggannya laki-laki. Ada sih tadi aku lihat cewek, pakai kerudung dan sambil
mendekap kitab kuning. Anak pondokan. Aku sih kenal banget makhluk unik ini.
Kan aku juga termasuk makhluk unik ini. Tapi bedanya aku gak jelas. Kalau
mbak-mbaknya jelas.
kok bisa nggak jelas?
Bisa lah. Wong aku bandel, sering
keluar malam, dan kalau ada acara aku sering banget gak pamit – pamitnya pas
pulang selesai acara. Terus dimarahi sama Kiai. Okey, jangan bahas soal ini
terlalu jauh. Takut dibaca sama bapak ibuku nanti. Nggak dapet uang jajan payah
aku.
Kuteguk sedikit air putih untuk menghilangkan
rasa gatal di tenggorokanku habis minum kopi. Nggak tanggung-tanggung kalau aku
minum kopi. Dua jenis kopi aku minum. Ada kopi hitam dan kopi GoodDay.
Sebetulnya nggak aku saja yang minum kopi ini. Aku joinan sama Zaenullah.
Kulirik dia masih nyaman aja gesek-gesek layar HP-nya.
Aku berusaha mengajaknya berbicara yang
berarti supaya tidak sia-sia waktu dua jam dari tadi. Aku bertanya dua hal yang
masih mengganjal di kepalaku – membuatku pusing juga. Siapa tahu dia punya
saran. Kan dia juga kritis kalau soal kehidupan. Toh dia juga lebih tua
dariku – lebih banyak makan garam.
“Aku cocoknya jadi penulis apa pembuat komik,
Zen?”
“Menurutku, kamu lebih pantas jadi peneliti.” Jawabnya
sambil menyulut rokok. HP-nya sudah dilepas ternyata.
“Hah? Peneliti apa?” Aku bingung. Cocok dari
mana aku jadi peneliti.
“Peneliti dan pengamat pendidikan, Mid,”
jawabnya setelah sejenak menyedot rokoknya.
“Kok kamu bisa bilang seperti itu,
alasannya?” tanyaku lagi semakin penasaran.
“Dari artikel-artikelmu. Artikelmu tadi yang
tentang kritik setrategi pendidikan active learning dan strategi
Konvensional juga bagus,” jelasnya.
Jujur, aku sedikit senang dipuji tulisanku. Karena,
secara aku nggak bisa nulis dan nggak ada yang bilang tulisanku bagus. Tapi dia?
Malah bilang tulisanku bagus.
Tapi ya, terimakasih banyak atas pujiannya.
“Tetapi peneliti atau pengamat pendidikan ini
yang dimaksut pendidikan yang murni pendidikan to? Tidak pendidikan yang ada di
Kemendiknas, kemendikbud atau yang ada unsur
politiknya to? Sebab, maaf, aku nggak suka membahas yang ada politiknya gitu. Disamping
gak suka, aku juga gak paham apa dan bagaimana politik.” Timpalku.
Aku mulai tertarik membahas ini. Aku suka
berdiskusi tentang segala hal. Ingat, bukan tentang politik. Diskusi bagiku
adalah rukun untuk mendapatkan ilmu. Boleh aku singgung sedikti tentang rukun
tersebut? Hitung-hitung tambah pengetahuan. Ada tiga hal jika kita ingin apa
yang kita pelajari menancap betul di dalam hati, yaitu membaca, menulis dan
mendiskusikannya. Kalau ketiganya sudah dipenuhi, maka, Insya Allah,
ilmu itu tidak akan mudah hilang dari ingatan kita. Apalagi jika ilmu itu kita
amalkan dan kita peraktekan. Lebih jossss!
“Iya yang murni pendidikan. Aku juga kalau
ngomong soal politik, aku nggak “ngeh”, nggak ngerti.” Tangannya meraih kopi
hitam lalu srutup...
Mulutnya yang hitam – karena rokok – ditutup rapat-rapat,
tanda sedang menikmati kopi yang ada di dalam mulutnya. Kebiasaan para “Penikmat
kopi”. Lama banget kalau ngadepin kopi. Beda dengan “Peminum kopi” seperti aku.
Minum kopi ya kaya minum air putih. “glok-glok-glok”, habis.
Malam semakin larut. Jalan pun mulai sepi. Kulihat
pelanggan yang tadi ramai memenuhi bangku duduk yang berjejer di sekitar
grobak, kini sudah “suwung”[1]. Udara dinginnya justru
makin ramai menusuk kulitku. Bapak angkringan juga sudah memberesi dagangannya.
Hla aku? Jati diriku? Belum ketemu?
Memang belum jelas siapa aku? Jati diriku apa?
Belum jelas. Aku masih mencarinya dengan berpikir kemudian melaksanakan
pikiranku. Itulah kenapa diciptakannya masa muda. Supaya kita berpikir dan
bertindak untuk “modal” masa depan. Memang saat ini belum terlihat, belum bisa
dirasakan. Tetapi, nekatlah untuk masa depan yang mulia. Mumpung masih muda. Kalau
sudah tua, terus kamu hanya berfikir menyesali tanpa bisa memperbaiki, mending
perbaiki sekarang.
Jadilah oranga yang tidak jelas jati dirimu
siapa. Karena kau terlalu sibuk menggali potensimu dengan mencintai segala hal,
hobi dan ilmu yang kamu lihat. Karena, juga, hasil tidak pernah mengecewakan
usaha.
Aku tersenyum. Aku harus nulis habis ini!
Aku dan Zaenullah balik pulang ke pondok. Kami
naik motor. Dia yang nyetir dan aku yang bonceng. Motor sudah berjalan pelan
membawa kami pergi menjauh meninggalkan jiwa yang ragu – ketidakjelasan mau
ngapain dan mau jadi apa - menuju keyakinan bahwa aku harus menulis ide ini. Aku
harus sukses. Hatta ya’tiyakal yaqiin.
Dua jam lebih tadi ternyata bermanfaat. Hasil adalah
soal waktu ternyata. Yang penting usaha. Tidak perlu cemas dan takut akan
waktumu. Asalkan kita tetap melangkah merasakan kerikil kehidupan. Meski terkadang
kita harus mencabut duri yang menancap di telapak kaki kita nantinya. Meringis sebentar,
bahkan menangis. Namun kita wajib bangkit dan berjalan lagi.
“Itu hal yang wajar dalam hidup. Itu adalah
rukun kehidupan yang harus dipenuhi, kalau nggak, hidupmu akan batal.”
*)cerita di atas adalah fiktif. sekedar membangkitkan semangat kita. jika adalah salah kata, saya pribadi mohon maaf yang sebesar-besarnya. :) :)
0 komentar:
Posting Komentar