About


Get this widget:

Jumat, 23 Maret 2018

(Review) Film Arumi

DTOq4uwVwAEs-vo


Change – Lana Del Rey

Kenapa lirik lagu Lana Del Rey di atas digunakan untuk membuka ulasan film terbaru Nayato? Apakah Nayato sudah berubah? Tidak ada lagi asas ketiba-tibaan khas Nayato seperti saat beliau tiba-tiba memunculkan Uli Auliani yang mendadak mengejar pria dengan obeng di ending Santet Kuntilanak? Atau kemunculan Kuntilanak dengan senapan di After School Horror 2? Atau tidak ada lagi penggunaan benda sehari-hari sebagai senjata seperti mesin tik atau tabung gas elpiji? Atau tidak ada lagi segala sesuatu yang membuat semesta filmografi Nayato menjadi sangat Nayato?
Bukan, bukan.
Mari kita bahas apa yang dimaksud dengan perubahan ini pelan-pelan.
Film Arumi bercerita tentang Rasty, yang mengajak empat sahabatnya berlibur ke villa di mana ibu dan kakaknya tewas lima belas tahun yang lalu. Selain itu Rasty juga membawa pistol tanpa sepengetahuan teman-temannya. Saya tidak tahu apa Rasty sebenarnya memang sudah memiliki agenda tersendiri saat mengajak teman-temannya berlibur ke villa milik orangtuanya mengingat… kakak dan ibunya tewas di sana, dan pistol.
Tapi Rasty memang cenderung suka bersikap aneh dan ganjil. Ketika temannya membeli kamera baru, pertanyaan pertama Rasty adalah: “ini kamera bisa nangkep setan ga ya?”
Musik mencekam mengalun.
Saya pikir kepribadian Rasty memang aneh karena dia merupakan seorang penyintas dari peristiwa pembunuhan lima belas tahun lalu. Jangan ada yang menghakimi Rasty, tolong.
Di tengah jalan, Rasty dan teman-temannya bertemu Lily, seorang gadis kecil yang bersahabat dengan makhluk astral bernama Arumi. Pertemuan Rasty dan teman-temannya dengan Lily akhirnya berujung pada sederet peristiwa-peristiwa mengerikan.
Jika selama ini film-film Nayato cenderung lebih dominan pada adegan penampakan dan minim sekali plot, maka Arumi berbeda. Film ini menuntut penontonnya merangkai plot film dengan mencermati dan mengikuti dialog demi dialog yang dituturkan oleh para tokoh di film ini dengan seksama. Dengan meminimalisir adegan jumpscare yang diiringi musik berisik dan mencurahkan lebih banyak perhatian pada alur cerita, film ini dapat saya katakan sebagai salah satu film Nayato yang digarap paling baik setelah beberapa tahun terakhir meski masih ada beberapa kekurangan teknis, seperti pengambilan gambar yang kurang fokus dan lain sebagainya.
Tidak seperti kebanyakan film-film Nayato yang alurnya terasa serba cepat (atau terburu-buru), Arumi terasa lebih detil dalam bercerita dengan alur yang pelan. Bahkan beberapa build-up suspense di film ini cukup rapi dibangun oleh Nayato dibanding film-film horor beliau sebelumnya. Coba lihat juga bagaimana Nayato menjelaskan jarak villa yang sangat jauh dari keramaian dan terpencil di tengah hutan. Saya pun merasa bahwa interaksi para tokoh di film ini terasa lebih mengalir ketimbang film-film horor Nayato terdahulu.
Namun saya sangat menyayangkan jajaran departemen akting di film ini. Salah satu tumpuan terbesar film Arumi adalah dialog-dialognya. Saya memahami bahwa film Arumi berusaha menawarkan bentuk ketakutan yang berbeda kepada penonton film lokal. Rasa takut tersebut bukan hanya berasal dari sosok setan yang ditampilkan, namun juga dari penanaman informasi-informasi ke alam bawah sadar penonton mengenai betapa mengancamnya keberadaan sosok setan Arumi ini lewat tuturan dialog-dialognya. Sebuah niat yang sangat baik memang, namun sangat disayangkan jika dialog-dialog yang diharapkan dapat membuat bulu kuduk berdiri disampaikan lewat penampilan para pemain yang tidak prima, maka rasa takut yang diharapkan muncul tentu tidak dapat tersampaikan dengan baik.  Alih-alih parno, saya malah terganggu dan merasa cringe.
Selain soal kualitas departemen akting, permasalahan lain film Arumi juga terletak di pacing filmnya yang luar biasa dragging di beberapa bagian. Ada beberapa pengulangan-pengulangan dialog atau adegan yang saya pikir dapat dipangkas agar jalan cerita film bisa jauh lebih enak diikuti.
Tapi, tapi, tapi, hey.
Terlepas dari segala perubahan yang Nayato lakukan saat menggarap Arumi, saya masih melihat sentuhan magis khas Nayato di dalam filmnya. Wanita yang menggoda kekasihnya dengan rambut berkibar ditiup angin, setan yang senang merusak barang milik orang lain, juga adegan pengembalian tisu yang sangat mengesankan. Senyum saya terkembang. Tidak sampai membuat saya sesumringah saat bertemu Kuntilanak dengan senapan atau melihat hantu tanpa kepala dalam wujud hologram, namun cukuplah membuat hati saya sebagai penggemar Nayato berbunga-bunga.
Terakhir, ini mungkin akan jadi permasalahan terbesar bagi semua orang yang sudah menyaksikan filmnya, namun tidak bagi saya. Saya justru menikmati bagaimana film Arumi meninggalkan banyak sekali pertanyaan-pertanyaan tak terjawab. Selain melahirkan interpretasi sendiri bagi saya, ada kesan misterius mendalam yang ditinggalkan setelah filmnya berakhir, dan saya pikir merupakan pilihan yang tepat untuk tidak menjelaskan segalanya di dalam film sehingga Arumi beserta semesta khayal yang menaunginya menjadi sebuah misteri besar yang memang lebih baik dibiarkan terkubur di hutan tempat Arumi bersarang.

baca juga:

0 komentar:

Posting Komentar