Tangan Kumaidi beraksi kembali. Memijit-mijit tombol
laptopnya sehinga keluar bunyi “cetak-cetok, cetak-cetok”. Tangannya tanpa jeda
sedikit pun berlarian dari satu tombol ke tombol lain. Ya, seperti di awal aku
katakan, dia itu master ngetik. Punggungnya bersandar di tembok. Kepalanya
menghadap ke bawah arah layar laptop. Pikirannya sangat fokus pada satu tema
yang ia tulis. Lapu aula pondok sangat terang menghangatkan tubuh Habibi yang
telanjang dada tergeletak di tengah. Tangannya dengan kokoh memegangi HP-nya,
menonton YouTube. Lantainya sangat bersih dan mengkilap.
Akan
tetapi, tanpa dinyana-nyana pikirannya membelot dari kehendaknya. Perkataan orang
tuanya menyurupi saraf otaknya. Kuamidi tertuduk memegangi keningnya. Keningnya
mengerut. Pusing. Dia pikir harus istirahat dulu. Sementara waktu ini dia butuh
ketenangan. Biar bisa membuat keputusan apa yang akan dilakukannya.
“Kir,
ngangkring, yuk!” ajak Kumaidi kepada Zikir yang sedang sibuk main game online.
Zikir
mendongakkan kepala, “Angkringan mana, Di?”
“Angkringan
biasa kita nongkrong.”
Tanpa
ngomong, Zikir bangkit. Dia tampak semangat sekali. Dia sudah lama tidak makan
di angkringan. Apalagi tempatnya yang sangat unik, di tengah sawah. Dan paling
membuat semua orang berbondong-bondong ke sana adalah harganya yang sangat murah di banding dengan yang lain. Padahal
warungnya itu bagus seperti kafe-kafe.
Mereka
berdua naik motor menuju ke sana. Menyusuri jalanan yang ramai oleh mobil dan
motor. Dipinggiran toko-toko dengan lampu hias yang warna warni menghiasi untuk
menarik pelanggan mereka. Warung makan lebih penuh pelanggan dari pada toko
yang lain.
Dari
belakang, Zikir terlihat sangat fokus memegangi setir motornya. Pas pertigaan
pertama dari arah pondok An-Nur, motornya belok kiri. Masuk di perkampungan
kecil. Jalan setapak gelap. Hanya lampu motornya Zikir yang membelah kegelapan
itu. Di depannya sana, ada satu bangunan rumah yang lumayan besar. Dilapisi
dengan cahaya lampu yang berwarna-warni. Tampat parkirannya juga terlihat
penuh. Banyak motor dan mobil yang mampir di sana.
Di depan
pintu masuk angkringan pun ada dua penyambut pelanggan. Sangat-sangat berbeda
dengan yang angkringan lainnya. Mata kuamidi tertuju pada para pelanggan yang
duduk menikmati makanan mereka. Mereka datang beramai-ramai dengan teman mereka
atau dengan keluarga. Berbincang-berbincang dan tertawa bersama. Indah sekali.
Lampu yang tidak terlalu terang menambah kenyamanan dan ketenangan di tempat
ini. Mahasiswa juga banyak yang datang ke sini sekedar untuk mengopi dan
mengerjakan tugas.
“Ini
seharusnya bukan angkringan. Ini namanya kafe,” itu yang dipikirkan Kumaidi
saat pertama kali datang ke sini. Sejujurnya, sejak pertama kali ngopi di
angkringan ini, dia ingin membuat angkringan juga. Sepertinya peminat
angkringan lebih banyak. Karena harganya yang murah, penggila kopi dan rokok
juga banyak. Apalagi mahasiswa kere lebih bludak dari pada mahasiswa kaya.
Kumaidi
dan Zikir berjalan menuju meja paling pojok belakang. Mereka kalau pergi ke
sini tempat favoritnya ya di sana. Kumaidi menaruh tas kecilnya di atas meja.
Sedangkan Zikir masih di tempat pemesanan makanan. Kumaidi mengeluarkan HP.
Membuka layarnya, melihat jam. Angka jam digital menunjukkan pukul 08.21 PM.
Suara
bersautan sana sini, berjejal memenuhi ruangan. Berisik. Ini satu hal yang
sedikit mengganggunya. Tapi, mau bagaimana lagi, angkringan banyak pelanggan
tentu banyak suara yang akan memekak telingamu. Kalau berisiknya karena
berbicara sih wajar saja, tapi kadang, terutama waktu nobar bola, sampai ada
yang teriak-teriak ketika tim favoritnya memasukkan bola. Bikin kaget dan
sangat menjengkelkan. Biasanya yang geger adalah mereka yang berkelompok, sedangkan
yang sendirian ataupun hanya berdua hanya bisa diam menerima kupingnya sakit
karena teriakan mereka. Kaum minoritas tidak bisa apa-apa di sini selain
pasrah.
Zikir
berjalan menghampiri Kumaidi yang sedang sibuk memainkan HP. Sarung coklat
membalut tubuh bawahnya. Tampak serasi dengan kaos merah yang ia kenakan. Zikir
lebih sering memakai sarung dari pada celana. Meskipun ke mall, dia akan
memakai sarung. Dia tidak akan malu atau merasa aneh dengan orang
sekelilingnya.
“Di!
Ngapain kamu diam saja dari tadi?” tanya Zikir merasa dicuekin.
“Aku
lagi mikir,” jawab Kumaidi seadanya.
“Tenang
saja. Nanti juga matang kopinya.” Zikir mengambil laptopnya dari dalam tasnya.
“Bukan
masalah kopi,” Kumaidi menegakkan kepalanya. “Ini masalah hidupku, Kir,”
Kumaidi meluruskan pemahaman temannya.
“Alay...”
“Lho
kok alay? Ini aku serius!” ucap Kumaidi dengan nada agak ditekan.
“Ya
sudah, silahkan cerita. Aku sudah siap menjadi pendengar yang baik ini lho,”
canda Zikir kepada temannya yang sudah cemberut mukanya.
“Sejak
di rumah kemarin aku sudah stres. Ibu dan bapakku membandingkan aku dengan
temanku yang sudah bisa cari uang sendiri. Sedangkan aku belum bisa memberi
apa-apa kecuali hanya membebani mereka,” Kumaidi mencurahkan kegelisahan
hatinya.
“Kalau
menurutku, orang tuamu tidak membandingkan dirimu dengan orang lain. Tapi
mereka ingin memotivasi dirimu kalau kamu pasti bisa sukses juga seperti
mereka. Sekaligus orang tuamu mengingatkan alasan kenapa kamu belajar, kamu
bekerja, kamu harus berbakti kepada orang tua. Tidak lupa dengan orang tua
ketika engkau sudah sukses kelak,” ucap Zikir penuh dengan kebijaksanaan.
“Aku
juga sempat berpikir seperti itu. Tapi terkadang emosiku membutakan akal
sehatku, Kir. Sehingga aku tidak bisa berpikir positif.”
“Nah...
okay, mulai sekarang kamu harus lebih semangat belajar.”
“Tapi
kalau hanya belajar, tentu masalah ekonomiku kurang membaik. Aku anak dari
orang tua yang miskin. Kalau aku hanya fokus pada pendidikan, sedangkan mereka
membanting tulang mati-matian demi pendidikan aku, mending aku tidak usah
kuliah saja. Sama saja aku menyiksa orang tuaku.”
“kalau
mikirmu seperti itu tidak apa-apa. Sekarang kita ambil jalan tengahnya. Kamu
lanjutkan pendidikanmu. Mereka menginginkan kamu berpendidikan tinggi. Belajar
dengan giat supaya prestasimu tambah baik. Di samping kamu kuliah, kamu
sambilan apa gitu, untuk meringankan beban orang tua kamu? Atau mau cari
beasiswa saja?”
“Aku
pengen sekali kerja atau bisnis. Tapi gerak-gerikku tidak bisa luas, Kir.”
“Lho
kenapa?” tanya Zikir.
“Pondok
menghambat gerak-gerikku.”
“Jangan
menyalahkan kondisi luarmu, Di. Kondisi luarmu itu tidak salah apa-apa. Yang
bermasalah adalah dirimu. Kamu tidak mau menyibukkan dirimu dengan aktifitas
yang mengantarkan kepada cita-citamu. Apalagi pondokmu sekarang kan lebih
banyak bebasnya dari pada ngajinya. Paling malam saja kamu harus ada di pondok.
Siangnya kamu bisa keluar. Cari kerja part-time kan bisa, Kir.”
di
tengah perbincanagan mereka, seorang pelayan datang dengan sebuah Nampan di
tangan kirinya. Ada dua gelas kecil di atasnya dan satu mangkok besar berisi
gorengan yang masih mengepulkan asap. Pelayan itu tersenyum sambil menaruh
pesanan di atas meja. Kumaidi dan Zikir membalas senyumannya. “Terima kasih,
Mas,” Ucap Zikir kepada pelayan.
“Kalaupun
part-time pasti kalau disuruh lembur, kita harus lembur kan? Pondok
tidak akan mengizinkan,” Kumaidi melanjutkan ceritanya.
“Memang
kamu sudah minta izin ke pak Yai?” tanya Zikir.
“Belum.
Hehe....” Kumaidi cengar-cengir.
“Lha
kamu saja belum izin kok mau pergi. Ya tidak boleh.”
“Kalau
orang kerja itu tidak enak. Harus ikut orang. Disuruh-suruh. Aku bukan tipe
orang seperti itu. Aku orangnya keras kepala dan seenaknya. Tidak suka
diatur-atur.”
“Berarti
kamu harus berbisnis, Di. Bisnis sekarang lho banyak. Bahkan ada yang tidak
memakai modal sama sekali. Kamu juga dulu sudah pernah nyoba bisnis ‘kan?”
“Iya,
sudah pernah,” Jawab Kumaidi kemudian meneguk kopinya.
“Terus
kenapa tidak dilanjutkan?”
“Hasilnya
tidak besar, habis untuk makan dua hari, Kir.”
“Namanya
saja usaha pertama kali, ya gaji tidak seberapa. Memang harus sabar, Di.”
“Lukisan
itu sedikit peminatnya. Ramai kalau musim wisuda atau musim kawin saja. Selain
itu sepi, tidak ada yang mesan. Bisnis lukisan itu cocoknya untuk sambilan. Aku
pengen cari usaha yang kira-kira dibutuhkan dan disenangi banyak orang.”
Zikir
terdiam. Dia berpikir jalan keluar bagi Kumaidi. Kumaidi pun terdiam.
Pikirannya sekarang buntu. Jalan
keluar apa yang harus dia buat. Tangan Kumaidi meraih cangkir kopi lalu meneguknya
sedikit. Memperencer jalan pikirannya.
Zikir
menyangga dagunya dengan tangan kanan. Otaknya berputar keras tentang usaha
bisnis yang pas untuk temannya. Kedua tangannya di belakang menopang tubuhnya.
Kepalanya terangkat menghadap atap genteng. Dadanya naik turun lembut dan
pelan.
“Mending
aku buat angkringan saja!” suara Kumaidi membuyarkan lamunan Zikir.
“Sudah
yakin kamu?” tanya Zikir.
“Bismillah.
Aku yakin,” jawab Kumaidi dengan sangat mantap.
Zikir
melirik jam tangannya. Jarum jam yang paling kecil menunjuk pada angka 10. Itu
artinya mereka harus pulang. Sudah malam. Kalau tidak balik pondok bisa dikunci
nanti gerbangnya. “Pulang, yuk!” ajak Zikir kemudian.
Kumaidi
meng-iya-kan.
Suasananya
masih sama seperti pertama kali masuk ke sini tadi, ramai dan berisik.
Pelanggannya tidak sepadat tadi. Kumaidi berjalan di depan Zikir menuju pintu
keluar. Sampah-sampah bungkus rokok dan piring serta gelas berserakan di atas
meja. Kemudian seorang pelayan cewek menghampiri meja yang sudah kosong dan membersihkannya.
***
Matahari sudah setinggi tombak. Cahayanya pun menyilaukan
mata. Mata Kumaidi menyipit karena cahayanya. Seperti biasa, berdiri di jendela
saat pagi hari. Awan dan langit terlihat tidak jelas; langit tidak berwarna,
awan pun tidak mengumpal. Warna keduanya bercampur menjadi satu.
Tidak ada burung ataupun pesawat yang lewat di angkasa.
Sepi sekali sesepi pondok. Sampai saat ini pun santri yang masih di rumah belum
balik ke sini. Zikir masih tidak sadarkan diri dari mimpinya. Dengkurannya lirih
mengiringi kehampaan. Setidaknya tidak terlalu sepi.
Kumaidi membuka laptopnya. Menyelesaikan cerpennya. Dia
harus mempercepat cerpennya karena mau dikirimkan ke redaksi. Kalau tidak
terselesaikan dengan cepat maka dia tidak akan bisa makan dan jajan. Ada
pepatah konyol yang pernah ia dengar dari teman pondoknya waktu masih MA, “Paijo
Paijan, ora kerjo ora jajan”. Artinya, kita tidak bekerja maka kita tidak
bisa makan atau membeli sesuatu. Mau makan bagaimana? Wong uang tidak punya.
Jari-jemarinya mengetik lebih cepat dari biasanya.
Halaman cerpennya sudah tigapuluh. Melebihi persyaratan dari redaksi yang hanya
tiga halaman. Kumaidi tidak memperdulikan itu. Yang penting nulis dan kirim.
Dia belajar dari kisahnya seorang Kiai dari Rembang. Beliau adalah Gus Mus
(Mustafa Bisri). Seorang seniman, budayawan sekaligus seorang Kiai. Mulanya Gus
Mus ingin menulis cerpen di koran tertentu. Yang namanya cerpen paling banter
halamannya sekitar dua sampai sepuluh halaman – paling wajar. Tetapi beliau
menulis cerpen sampai seratus halaman lebih. Gus tidak memperdulikannya. Terus
istiqamah menulis dan nekat dikirim ke sana. Apa yang terjadi? Cerpennya
diterima dan diterbitkan secara bersambung. Kisah itu yang membuat Kumaidi
terus menulis meski syarat dari suati redaksi aneh-aneh yang hanya menghambat
ide kreatifitasnya – menurut Kumaidi.
Satu halaman, dua halaman dan berhalaman-halaman dia
tambahkan di cerpennya. Sebenarnya cerpen itu dibuat berdasarkan pengalaman
pribadi cuma nama dan latar saja yang disamarkan. Sekarang tinggal peleraian
yang harus dia selesaikan.
Di tengah-tengah menulis peleraian, melintas di
pikirannya tentang pembicaraanya dengan Zikir tadi malam. Dalam hatinya ingin
sekali segera mengeksekusi rencana bisnisnya itu. Tapi dia tidak boleh
tergesa-gesa. Dia harus menyelesaikan cerpennya terlebih dahulu. Setelah
selesai dengan tulis-menulis, dia akan mengfokuskan diri dengan angkringan.
Di samping itu, Kumaidi juga mikir kalau kopi angkringan
itu sudah mainstream. Dia ingin cari sesuatu yang berbeda dengan lain.
Sesuatu yang belum ada dan itu yang seharusnya dibutuhkan pelanggannya.
“Entahlah. Itu dipikir nanti saja sampai cerpenku kelar,” batinnya.
***
Setelah dua hari dia mengetik bagian akhir kisah
cerpennya, dia langsung mengirimkan naskahnya yang berjumlah enampuluh halaman
ke redaksi tertentu. Dia sudah pasrah. Diterima tidak diterima itu urusan
belakang. Yang penting usaha dulu.
Selanjutnya dia ingin benar-benar fokus memikirkan usaha
angkringan yang masih tersusun rapi di dalam benaknya. Satu hal yang paling
membuatnya bingung adalah mencari sesuatu yang berbeda dengan yang lainnya.
Kumaidi sudah mencari informasi dari berbagai sumber media tentang ide kreatif
berbisnis angkringan. Tapi tidak banyak informasi yang menunjukkan keunikannya.
Kebanyakan hanya sebatas kekereatifan tempatnya, sedangkan untuk menu makanan –
terutama kopi – belum ada yang unik.
Otaknya dipaksa kerja Rodi berpikir kreatif. Matanya
terpejam rapat. Dahinya mengerut dan tangannya menggenggam ditempelkan hidung.
Duduk termenung di depang teras pondok. Tidak ada ide. Dia tidak menemukan ide.
Kali ini benar-benar buntu. Tidak seperti ketika sedang menulis, ide unik
selalu muncul tanpa diminta. Mungkin karena ini adalah hal pertama baginya
bahwa dia harus benar-benar bertarung mempertahankan eksistensi angkringan ke
depan supaya tidak kalah saing dengan orang lain.
Malam semakin mendalam menggoda setiap manusia terlelap
dengan rencana masing untuk hari esok. Suara jangkrik belum pernah terdengar di
telinga Kumaidi semenjak di Jogja. Entah karena Jangkriknya sudah punah
mungkin. Senyap sekali. Hanya saura ketukan jarum jam yang menempel di atas
pintu kamarnya.
Seolah-olah malam ini hanya Kumaidi yang masih terjaga.
Sebenarnya kantuk sudah berhasil merenggut semangatnya. Tapi dia paksakan
bertahan berkelana mencari sesuatu yang “Nyeleneh” untuk angkringan.
Memori yang terbenam di dalam saraf otaknya, dia gali
kembali. Siapa tahu ada informasi penting. Mulai dari kelas MI sampai kemarin
dia liburan di rumah. Memori lama tidak bisa begitu jelas dia akses. Hanya
kenangan waktu di rumah, saat bersama dengan orang tuanya, masih sangat jelas
di kepalanya.
Dirinya ingat ketika dibuatkan kopi oleh ibunya. Kopinya
sangat berbeda. Dia kaget saat pertama meminumnya. Belum pernah dia meneguk
kopi senikmat itu. Rasa Jahe yang diseduh dengan kopi sangat khas sekali. Kata
Bapaknya “Kopi ini bisa buat pengobatan, Nang. Belum ada kan kopi Jahe senikmat
ini?” ketika sedang menikmati kopi jahe di waktu pagi.
“Okey. Aku ambil kopi Jahe resepnya Ibu saja untuk
angkringanku,” ucap Kumaidi kemudian.
Jam sudah menunjukan pukul 04. 43 pagi. kantuk yang
melandanya selama tiga jam tadi sudah tidak terasa. Ia mungkin menyerah untuk
merobohkan tekat Kumaidi memikirkan bakal bisnisnya. Kumaidi tidak ingin tidur
dulu. Ada kewajiban yang harus dilaksanakannya. Dia bangkit menuju ke kamar
mandi dengan langkah yang pelan. Energinya sedikit banyak terkuras karena
memikirkan bisnisnya dan tidak tidur.
Kemudian Kumaidi berdiri tegak di depan aula menjalankan
shalat Subuh. Dengan sangat khusuk mengucapkan takbir. Pandangannya tertunduk.
Menatap lekat tempat sujudnya. Surat Al-Fatihah mengisi kehampaan hatinya. Dia
coba menghayati makna per-ayat. Sampai di ayat yang ke enam gemuruh dalam
dadanya tidak bisa ditahan lagi, mengalir air matanya dengan sangat cepat jatuh
ke sajadahnya. Dia takut selama ini langkahnya tidak sesuai dengan jalur Allah.
Ayat inilah perantara dia berdoa memohon kepada Allah untuk membimbingnya.
Isak tangisnya terus berlanjut sampai dia mengucapkan
salam yang ke dua. Diusapnya sisa air matanya yang mulai agak mengering di
pipinya. Sementara itu, teman-temannya mulai pada bangun dan mengambil air
wudlu. Suara-suara kehidupan pun mulai terdengar di pondok ini setelah
semalaman mati ditinggal sukma penghuninya. Cekikikan juga mengalun lirih dari
salah satu kamar. Entah kamar mana, Kumaidi tidak bisa memastikan.
Kumaidi mengangkat ke dua tangannya ke atas menghadap
langit. Sedangkan wajahnya tertunduk ke bawah. Bibirnya bergetar lirih
memanjatkan doanya kepada Allah. Dia adukan semua permasalahan yang sedang dia
hadapi termasuk tentang bisnis angkringannya itu. “Semoga Engkau lancarkan dan
diberikan manfaat barakah di dunia dan akhirat, ya Allah,” pintanya di akhir kalimat doa kemudian dia
menutup permohonan itu dengan bacaan surah Al-Fatihah.
Kumaidi beranjak dari tempat duduknya. Teman-temannya
sudah banyak yang berjejer di belakang, duduk sambil membuka Al-Quran.
Pondoknya ini kalau masalah shalat itu ditaruh di waktu bagian akhir. Kumaidi
tidak tahu mengapa harus ditaruh di akhir terus. Apa tidak takut kalau nanti
kehabisan waktu?, atau karena ada suatu urusan mendesak sehingga menyebabkan
diri mereka sibuk sehingga waktu shalatnya hilang? Itu yang dikhawatirkan
Kumaidi. Makanya tadi shalat duluan. Tidak ikut berjamaah. Dia lebih shalat di
awal waktu, karena posisinya yang sangat luas sehingga bisa menghayati
shalatnya. Tapi kalau shalat di akhir waktu apa bisa menghayatinya?
Kumaidi duduk di pojok kamar, tempat tidurnya. Memandangi
beberapa kitab yang tergeletak di atas meja kecilnya. Dia sangat suka sekali
dengan yang namanya buku – apalagi buku yang tebal – tertumpuk atau berserakan
di dekatnya, meskipun tidak dibaca. Ada semacam rasa kagum kepada penulis yang
telah membagi ilmu mereka kepada orang lain lewat tulisan. Baginya mengkoleksi
buku adalah langkah awal untuk mencintai ilmu. Nanti pada akhirnya pasti akan
timbul rasa ingin membacanya. Pada awalnya Kumaidi juga hanya mengkoleksi
buku-buku, tetapi pada akhirnya dia ketagihan dengan membacanya. Sampai sekarang
dia sangat keasikan membaca karya-karya intelektual orang lain.
Saraf otaknya tersangkut kembali memikirkan bisnisnya.
“Okey, sekarang bisnis itu yang akan aku ambil. Tapi dari mana modalku? Aku
tidak punya modal untuk beli gerobaknya. Belum lagi nanti beli bahan-bahan
makanannya,” keningnya mengerut. “Kalau aku minta sama orang tua tentu tidak
bisa. Lagian aku kerja kan untuk meringankan orang tua. Aku tidak mau
melibatkan mereka dengan masalahku....”
“Tapi kalau aku tidak minta ke mereka, modal dari mana
coba?”
“Masak pinjam bank? Aku tidak berani. Apalagi kalau nanti
aku tidak bisa membayar hutangku bisa hancur hidupku karena semua akan disita.”
Kumaidi sibuk berbicara dengan pikirannya sendiri. “Aku
harus ikut orang. Ya, aku harus kerja di tempat orang lain,” batinnya
memutuskan langkah awalnya. Dia berencana nanti siang dia akan mencari
pekerjaan. Kumaidi melihat jam dinding di atas pintu kamarnya, menunjukan pukul
06. 38 pagi. kemudian dia merebahkan tubuhnya di atas kasur tipis. Matanya
terpejam. Nafasnya sedikit lebih cepat. Kantuk yang dari tadi tidak menampakkan
hawanya sekarang mulai menyerbu pertahanan Kumaidi. Dunia sedikit demi sedikit
melebur hilang dari pikiran dan kulitnya sampai akhirnya dia benar-benar hilang
sendiri.
***
Kumaidi sudah berpakaian rapi. Baju Kemeja warna biru dan
celana hitam terlihat sangat cocok menempel di badannya. Rambut hitam mengkilap
karena minyak rambut Gasby menambah aura ketampanan di wajahnya yang lonjong.
Kumaidi berjalan dengan gagah menuruni tangga. Tas cangklong yang dia gantung
di pundak sebelah kanan melambai-lambai sesuai dengan langkah kakinya.
“Bismillah. Ya Allah, bantu hamba-Mu dalam mencari
pekerjaan. Berikan pekerjaan yang halal bagi hamba. Amin,” pintanya kepada Sang
Maha Memberi sebelum dia menarik gas motornya.
Terik matahari menyengat tangannya yang sedang memegangi
setang motornya. Menyusuri kota Yogyakarta seorang diri, dari padi hingga
siang. Tapi belum juga nemu tempat pekerjaan yang ada lowongan kerja. Keringat
sebesar biji janggung menetes keluar dari pori-pori kulitnya yang sawo matang
itu. Bajunya menjadi basah karenanya. Sesekali dia berhenti di warung untuk
membeli minuman menghilangkan dahaga.
Meski begitu, dia harus terus mencari pekerjaan hingga
maghrib menjelang. Kalau bisa secepat mungkin dia bisa memiliki pekerjaan.
Sebab dia mesti mengumpulkan uang untuk modalnya berbisnis angkringan. Tapi
sepertinya takdir belum menjawab usahanya. Dia pulang dengan tangan hampa.
Pikirannya sangat kacau terpancar dari ekspresi wajahnya.
“Aku tidak boleh menyerah begitu saja. Ini baru
permulaan. Aku yakin besok akan dapat pekerjaan,” gumamnya ketika motornya
berhenti di parkiran depan pondok.
Kumaidi merebahkan tubuhnya di tengah aula, menikmati
angin yang tidak begitu terasa. Tangannya merogo saku celana, mengambil HP-nya.
Dia ingin tanya-tanya ke teman kampusnya. Mungkin ada yang tahu informasi
pekerjaan, batinnya.
Satu persatu teman kampusnya dia chat. Dia juga ikut
bergabung dengan group-group WA. Dia yakin dari sekian banyak orang pasti ada
yang tahu info lowongan kerja. Jari jemarinya sibuk mengetikkan kalimat
pertanyaan “Kamu tahu info loker nggak?”. Beberapa pesan darinya ada yang
langsung dibaca dan ada yang masih centang satu atau dua.
“Maaf, Di. Aku tidak tahu info lowongan kerja,” balasan
dari salah satu temannya.
Bahkan malah ada yang tanya balik. “Loker itu apa, Di?”
“Loker itu singkatan Lowongan Kerja,” jawab Kumaidi
singkat.
Kumaidi tersenyum kecil melihat ada orang se-kuper
temannya tadi.
Temannya yang sudah bales chatnya mengatakan tidak tahu
soal info lowongan kerja. Lantas kemudian dia putus asa. “Kan masih ada yang
belum balas. Mungkin mereka malah tahu tentang info yang aku butuhkan,”
batinnya.
Kumaidi bangkit dari istirahatnya. Kepalanya menoleh ke
sekeliling aula. terlihat Habibi sangat khusuk duduk di depan aula sedang
membaca kitab Al-Quran. Kumaidi teringat kalau dia belum shalat ashar.
Dilihatnya jam dinding yang menempel di depan aula, menunjukkan pukul 04.30.
Kumaidi bersyukur karena dia belum kehabisan waktu shalat. Bergegas dia
langsung menuju kamar mandi untuk sekedar membasahi tubuh kemudian berwudlu.
Setiap hari, dari pagi hingga sore dia habiskan untuk
mencari pekerjaan untuk modal awal dia mendirikan bisnis angkringan.
Hitung-hitung dirinya belajar bagaimana mengatur perusahaan. Bagaimana cara
bersosialisasi dengan para pelangaan. Kuamaidi tidak tahu sama sekali tentang
dunia perbisnisan dan pekerjaan. Ini adalah pengalaman pertamanya keluar dari
dunia tulis menulis.
Di samping itu, pondok sudah mulai ramai. Banyak santri
yang sudah bosen di rumah dan balik ke pondok. Sudah barang tentu kardus dan
jajanan tergeletak di setiap kamar. Mereka berkumpul melingkar menikmati
jajanan dari rumah sambil mengobrol dan tertawa bersama. Sedangkan Kumaidi
hanya tiduran di dalam kamar mendengar ocahan mereka. Ya, Kumaidi tidak ingin
bergabung dengan mereka. Mereka anaknya orang kaya yang bergelimang harta. Mau
ini, bisa, beli baju, okey. Makan enak, setiap saat. Untuk bayar SPP
pondok sebesar limapuluh ribu saja Kumaidi harus tidak makan selama empat hari
karena uangnya habis untuk membayar. Kumaidi minder.
“Ya Allah, bantu hamba-Mu untuk meraih cita-cita hamba,”
sepenggal kalimat doa yang dia panjatkan di dalam hatinya, menyadari bahwa
dirinya tidak mampu untuk melakukan apapun kecuali atas bantuan kekuatan Allah.
***
Setelah berusaha keras ke sana kemari menyusuri setiap
warung makan, toko, mall, sampai tempat karaoke, Kumaidi menemukan toko yang
mau menerimanya. Tokonya memang tidak terlalu besar dan mewah, tapi Kumaidi
rasa gajinya lebih dari cukup untuk mengumpulkan modal. Kumaidi tidak mau
munafik kalau uanglah yang dia butuhkan saat ini. Kerja untuk apa kalau bukan
untuk uang?, ucapmya ketika mengobrol dengan Zikir, sahabatnya.
Sekarang ini kesibukannya berbeda dengan yang lalu. Saat
ini setiap pagi dia harus berangkat ke tokonya. Pulangnya jam sembilan malam.
Terkadang juga dia harus menginap di toko karena ambil lembur. Meski letih
menyambar jasmaninya, tapi dia harus tetap berjuang. Yang ada dalam otaknya
sekarang adalah “Aku harus sukses!”
“Mas, ada makan anjing tidak?” tanya salah satu pembeli
waktu Kumaidi sedang beres-beres pulang karena jam kerjanya sudah habis.
“Ada mbak,” jawabnya tanggap menghampiri pembelinya.
Pembelinya tampak bingung melihat beberapa jenis makanan
anjing yang terpampang di dalam lamari kaca. “Yang bagus mana, Mas?” tanya mbak
pembeli yang mengenakan kaca mata dan jaket warna orange.
“yang bagus untuk anjing biasanya itu ini mbak,” Kumaidi
mengambilkan satu kemasan sedang. “Royalcanin yang bagus untuk anjing, Mbak.
Tapi harganya memang yang mahal.”
“Memang berapa harganya?”
“1,5 kilogram dog chihuahua 28 Rp. 200,000. Kalau 1,5
kilogram dog shih tzu 24 Rp. 170,000. Kalau 1,5 kilogram dog Yorkshire Terrier
28 Rp. 170,000. Kalau 3 kilogram puppy babydog 28 Rp. 300,000. Dan 3 kilogram
puppy mini junior Rp. 270,000,” Kumaidi membacakan daftar harga. “Bagaimana,
Mbak?”
Mbaknya diam sejenak sambil melihat daftar harga yang
disodorkan Kumaidi. “Kalau yang lebih murah ada, Mas?” tanya mbaknya sambil
nyengir malu-malu kucing.
“Ada, Mbak. Sini mah lengkap. Sebentar saya ambilkan dulu
mbak,” canda Kumaidi. Tubuh Kumaidi membungkuk mengambil makanan anjing yang
ditata di rak paling bawah. Tangannya meng-Gayoh kemasan paling depan.
“Ini Dog Food Canine Selection Repacking
1 kg harganya 34.000.”
“Ya sudah, Mas. Saya ambil yang ini saja,” kata mbaknya
tanpa berpikir dulu sambil menunjuk ke makanan anjing yang paling murah.
Kumaidi lantas mengambil keresek hitam. Tangannya dengan
lincah membuka keresek tersebuk dan memasukan barang yang sudah dibeli
pelanggannya. “Terima kasih banyak, Mbak.”
“Sama-sama, Mas.”
***
Empat bulan terlewati dengan suka dan duka bekerja dengan
orang lain. Dia juga dimarahi bosnya karena sering lupa dengan nama-nama produk
yang dijual. Bagi Kumaidi, itu adalah hal yang wajar. Teman-temannya juga
bilang resiko ikut orang ya dimarahi bosnya.
Tapi karena kesabaran dan kegigihannya, sekarang dia
menerima hasilnya. Uang gajian yang selama ini dia kumpulkan sudah bisa untuk
membeli satu gerobak kecil dan menu-menu makanan ala angkringan. Kumaidi tidak
menyangka ada uang enam juta tergeletak di depannya setelah dia membongkar
celengan Kelinci yang dia beli sejak gajian pertama.
Pagi hari menyingsing, Kumaidi langsung pergi ke pasar
mencari keperluan bahan-bahan dagangannya nanti malam. Terutama Jahe merah dan
Peka – yang biasa buat campuran minuman kacang hijau. Kakinya berjalan pelan
menjelajahi jalan setapak di tengah pasar sambil melihat-lihat kalau ada jahe
merah. Orang-orang – terutama yang emak-emak – riuh memenuhi pasar. Suara
cerewet dan cempreng ala emak-emak juga lengkap di tengah semerbak khas pasar.
Penjual juga sibuk meladeni pembeli yang kebanyakan ngeyel menawar barang
dagangan.
Kumaidi terus melangkah menerobos gerombolan emak-emak
bagai elang yang membelah awan di angkasa. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke
kiri memperhatikan setiap dagangan yang di hamparkan. Sudah sejauh ini dia
belum ketemu dengan Jahe merah. Saking bingungnya, dia bertanya kepada salah
satu penjual ikan bakar.
“Mbah, saya mau tanya. Kalau yang jual Jahe merah di sini
ada tidak ya?”
“Di sana, Nak,” jawab nenek penjual ikan bakar sambil
menunjuk ke arah kanan Kumaidi.
“Terima kasih, Nek,” ucap Kumaidi menyunggingkan senyum
ramah kepada nenek tadi.
Setelah berjibaku dengan bermacam-macam perkara yang ada
di pasar, mulai dari berdesak-desakkan, bau bawang merah dan bawang putih, dan
bau amis ikan, kumaidi keluar dengan menenteng dua keresek putih besar yang tak
lain isinya adalah bahan-bahan dagangan.
Kumaidi tidak langsung pulang ke pondok. Karena masih ada
satu yang dia butuhkan. Gerobak angkringan. Dia memacu kuda besinya yang sudah
lansia dengan kecepatan yang paling tinggi – sesuai kapasitasnya. Dia ingin
pergi ke tukang kayu. Di daerah pondoknya ada tiga toko kayu dan mereka juga
melayani pemesanan pembuatan lemari, meja dan lain-lainnya.
“Pak, ada gerobak angkringan yang kecil tidak?” tanya
Kumaidi kepada Bapak-bapak yang sedang mengecak pintu.
“Silahkan masuk, Mas,” kata bapak parobaya
mempersilahkan.
Kumaidi masuk ke dalam toko dan melihat-lihat gerobak
yang sudah jadi. Dengan jeli dirinya memeriksa satu persatu gerobak. Bahkan dia
harus membungkuk ke bawah untuk mengetahui keadaan bagian bawahnya. Dia harus
mendapatkan gerobak yang paling baik.
Bapak yang mempersilahkan tadi berdiri di belakang
Kumaidi, memperhatikan gerak-gerik pelanggannya itu. Di toko ini hanya ada
bapak itu. Tidak ada karyawan lain. Mungkin karena toko ini hanya milik beliau
dan beliau tidak mau mencari karyawan. Bangunan berdinding kayu dengan ukuran yang
lumayan besar adalah bukti betapa semangatnya pemiliknya untuk membesarkan
tokonya. Meskipun tubuhnya termakan usia namun jiwa mudanya masih kekal di
dada.
Toko ini adalah toko pertama yang disambangi Kumaidi
karena memang jalurnya lebih dulu dari arah pasar. Di samping toko ada
pemakaman umum yang besar. Meski begitu, tidak mempengaruhi aura toko. Malah
terlihat berwibawa.
Kumaidi bingung untuk menentukan gerobak mana yang akan
dia beli. Semuanya bagus dan sesuai selera. Ukurannya juga pas. Kepalanya menoleh
memandangi satu persatu gerobaknya. Otaknya berpikir keras memilih calon
partner kerjanya itu.
“Bagaimana, Mas?” tanya bapaknya sambil menyandarkan
tangan kanannya pada gerobak yang masih proses pembuatan.
“Ini saja, Pak,” kata Kumaidi menunjuk gerobak yang
paling kecil ukurannya.
Kumaidi pulang ke pondok dengan menggandeng gerobaknya
yang diikat di belakang motornya. Tangan Kumaidi kerepotan melepas tali
pengikat yang melilit di pegangan belakang bagian jok. Terlalu kuat tadi
bapaknya mengikatkan tamparnya. Ujung jari jempol dan telunjuk terasa sakit
karena ikatan tampar yang kuat. Kendor saja tidak.
Kumaidi masuk ke dalam pondok untuk mengambil pisau. Dia
sudah tidak sabar lagi. Sebab dia kudu menyiapkan bisnisnya secepatnya.
Rencananya nanti malam dia akan beraksi menjadi direktur, manajer, dan
sekaligus karyawan. Ucapan-ucapan yang dulu pernah diucapkan orang tuanya
melintas di atas teritori otaknya, tidak terkecuali orang tuanya membandingkan
dirinya dengan orang lain.
***
Malam hari setelah menunaikan shalat berjamaah bersama
Kiai di pondok, Kumaidi langsung mengganti pakaian shalat dengan kaos lengan
panjang dan celana kain yang sudah lusuh. Bahan makanan yang akan dia jual
sudah dipersiapkan sebelum shalat maghrib. Sekarang dia tinggal dorong gerobaknya
menuju tempat jualan. Dalam bayangan otaknya, tempat jualannya di trotoar.
Karena pasti banyak mobil ataupun honda berlalu lalang. Oramg-orang pejalan
kaki juga pasti bludak.
Kumaidi mendorong gerobaknya dengan penuh semangat. Di
depan gerobaknya ada tulisan “Angkringan Kopi Sehat”. Dengan embel-embel sehat
pasti banyak yang akan memburu kopinya, pikirnya. Tangannya yang kurus
kerempeng memegangi erat-erat pegangan kayu yang dipasang herisontal di
belakang badan gerobak. Matanya mengamati setiap jengkal yang dilaluinya. Siapa
tahu ada posisi yang bisa dijadikan perbandingan tempat besoknya.
Dua orang parkir tengah sibuk membantu mobil keluar dari
parkiran tokonya. Tangannya diacungkan ke atas dengan telapak terbuka. Tanda
berhenti. Kumaidi pun ikut berhenti ketika mobil dengan pelan dan hati-hati
keluar parkiran. Mobil dan sepeda motor juga berhenti di tengah jalan.
Setelah mobil pelanggan toko yang mereka tempati, pergi,
salah satu tukang parkir mempersilahkan mobil dan motor yang sempat berhenti untuk berjalan lagi. Kumaidi
memperhatikan wajah tukang parkir yang sudah keriput di bagian bawah kelopak
matanya. Senyuman ramah muncul dari bibir mereka di tengah kegelapan malam.
Kumaidi mendorong terus gerobaknya hingga tiba di pinggir
jalan dekat kampusnya, UIN Sunan Kalijaga. Kumaidi lantas menyiapkan barang
dagangannya. Menata gelas dan piring di tempatnya masing-masing. Kursi panjang
mengelilingi gerobaknya.
Belum juga selesai menyiapkan ini-itu, sudah ada pembeli
yang datang membeli. Dua orang bapak-bapak duduk di depannya. Salah satu bapak
yang memakai jaket kulit hitam tangannya memilah-milah gorengan. Dia mencari
gorengan yang paling besar. Gorengan yang masih hangat mengepulkan sedikit asap
ke udara. Sementara bapak yang satunya dengan pakainan yang simpel, hanya
mengenakan kaos pendek, membakar sebatang rokok yang sudah menancap di
mulutnya. Keningnya mengernyit melihat api yang mendekat ke bibirnya.
“Sampean baru, Mas?” tanya bapak yang sedang menghisap
rokoknya.
“Iya, Pak. Saya baru jualan. Latihan usaha sendiri pak,” Jawab
Kumaidi sambil menuangkan seduhan air jahe merah ke dalam cangkir kopi.
“Bagus itu, Mas. Masih muda harus punya semangat yang
tinggi untuk merintis usaha sendiri.”
“Doanya, Pak. Semoga bisnis saya ini lancar, membawa
berkah dan semakin besar,” Kumaidi menyodorkan dua cangkir kopi khasnya ke
depan ke dua pelanggan pertamanya.
“Amin, Mas. Apalagi kopi yang kamu tawarkan ini sangat
unik. Belum pernah dengar saya kopi sehat dengan rasa yang sangat nikmat.
Jahenya sangat khas dan seperti ada resep lainnya ini. Tapi apa saya nggak
tahu.”
Kedua pelanggan tersebut membungkukkan kepala, menyeruput
kopi yang masih panas sepanas harapan dan semangat yang jual.
Waktu semakin malam, pengunjung semakin banyak.
Kebanyakan yang ngangkring di tempatnya adalah anak muda – mahasiswa. Mereka
mengobrol sangat akrab dengan Kumaidi. Bercanda bareng. Tanya ini-itu terkait
kampus dan isu-isu terbaru. Dalam hati Kumaidi bersyukur sekali. Baru pertama
kali buka jualan tapi pelanggannya sudah sebanyak ini. Kumaidi membuka HP,
melihat angka jam digital. Jam 01.54 PM. Nasi kucing, gorengan, rokok, dan
kopinya juga sudah sangat tipis, mau habis.
Kumaidi memberes-bereskan tempatnya yang berantakan dan
sampah yang tergeletak di bawah gerobaknya. Dia mengemasi semuanya karena dia
harus pulang. Jualannya sekarang laris manis. Secepatnya dia harus balik
pondok. Biasanya jam setengah tiga santri dibangunkan untuk menunaikan shalat
sunah Tahajud. Dia takut terlambat. Yang dia khawatirkan sebenarnya adalah
bisnisnya ini. Kalau dia terlambat, tentu Kiai akan tidak suka dan bisa jadi
Kumaidi dilarang berjualan lagi.
Dengan sisa-sisa tenaga yang masih melekat di tangan dan
kakinya, Kumaidi mendorong gerobaknya menuju ke pondok. Jarak satu kilometer
harus dia tempuh. Sepi menyekap kebisuannya berjalan sendirian di pinggir
jalan. Sepi sekali. Manusia pada tidur, mengumpulkan kembali energi dan
harapannya untuk esok hari. Hanya ada satu dua motor yang sliweran. “Kalau lama
begini, besok bawa motor sajalah,” gumamnya lirih menahan lelah.
***
Kumaidi menggeluti bisnis angkringannya sudah mencapai
waktu dua tahun. Pahit getir sekaligus suka bahagia, semuanya pernah dia
rasakan dan telan mentah-mentah. Tapi, dia harus tahan banting. Karena hanya
orang yang mampu bertahan sajalah yang pantas menyandang kesuksesan.
Bahkan Kumaidi sudah memiliki cabang angkringan di empat
tempat. Dia sudah memiliki karyawan. Sudah bisa membayar orang lain untuk
menjalankan bisnisnya. Tahun depan dia ingin memberangkatkan kedua orang tuanya
ke tanah suci.
“Bapak, Ibu, Kumaidi ingin memberangkatkan Panjenengan
ke tanah suci,” katanya ketika sedang menelpon orang taunya.
“Jangan repot-repot, Nak. Kami tidak mau membebani kamu.”
“Tidak membebani kok. Ini keinginan Kumaidi sendiri.
Sebenarnya sudah lama Kuamidi mengumpulkan uang hasil jualan angkringan untuk
memberangkat bapak ibu pergi haji,” Kumaidi menjelaskan niat sucinya ke orang
tuanya.
Terdengar samar-samar dari telepon isak tangis orang
tuanya. Kumaidi pun tidak sanggup menahan air matanya mengucur dari ke dua
matanya. “Ya Allah, Nak. Kenapa kamu tidak bilang dari dulu. Sehingga kamu yang
harus menanggung susahnya kehidupan ini,” kata Fauzi, bapaknya Kumaidi, dengan
menahan cegukan karena tangis.
“Beban ini tidak ada apa-apanya dari pada beban yang Bapak
Ibu tanggung selama ini untuk memenuhi kebutuhanku, untuk menyekolahkan aku.
Sekarang saatnya, Allah memberikan kesempatan kepada Kumaidi untuk membalas
ketulusan Bapak Ibu. Meskipun masih sangat-sangat kurang.”
Orang tuanya tidak bisa berkata-kata lagi. Hanya ada
isakan tangis yang menderu. Fauzi dan Siti tidak menyangka anaknya memiliki
niatan yang begitu mulia. Dia harus menahan sakit dan susah selama dua tahun,
setiap malam dia kedinginan dan lelah yang menggerogoti tubuhnya yang kurus.
“Iya, Nak. Bapak Ibu sangat berterima kasih kepadamu, Nak,” kata Siti.
“Sama-sama, Pak, Buk.... ya sudah. Kumaidi istirahat
dulu. Besok lagi Kumaidi telpon,” katanya sebelum menutup telpon.
Kumaidi menatap ke atas dengan sisa air mata yang masih
mengalir pelan di pipinya. Hatinya memanggil Allah dengan kuat dan berulang
kali. Untuk saat ini dia ingin dekat dengan-Nya, menyebut nama-nama-Nya yang
agung. Karena dia sadar bahwa hanya karena Allah-lah dia bisa membuktikan bahwa
dirinya bisa sukses, membahagiakan orang tuanya sampai bisa memberangkatkan
haji ke dua orang tuanya tahun depan.
“Allah....”
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar