Oleh: Muhamad Nur Hamid Hidayatullah
آفة
العلم النسيان، وإضاعته أن تحدّث به غير أهله (رواه ابن أبي شيبة)
Artinya:
“sesuatu yang merusak ilmu adalah lupa dan
membicarakannya bukan dengan orang yang ahli dalam bidangnya.” (HR. Ibnu Aby
Syaibah)
Keterangan:
- Paradigma Hubungan Agama dan Ilmu Pengetahuan
Sebelum kita masuk ke dalam pembahasan yang lebih kritis,
alangkah baiknya kita mempelajari terlebih dahulu terkait paradigma hubungan
agama dan ilmu pengetahuan. Sekirannya nanti akan diketahui, sejauh mana agama
menempatkan ilmu padanya? Dan kita – umat Islam – pada posisi yang mana? Menurut
Hasal Farghal yang dikutip oleh Zainal Ilmi, Dosen tetap di STAIN Samarinda,
bahwa secara garis besar, dari tinjauan ideologis ada 3 (tiga) jenis paradigama
:[1]
Pertama, paradigma sekuler, yaitu paradigama yang memandang agama
dan IPTEK adalah terpisah satu sama lain. Sebab dalam ideologi sekulerisme
Barat, agama telah dipisahkan dari kehidupan. Agama tidak dinafikan
eksistensinya, hanya saja peranannya dibatasi dalam hubungan individu dengan tuhannya.
Agama tidak mengatur kehidupan umum/publik. Paradigma ini memandang agama dan
IPTEK tidak bisa mencampuri atau mengintervensi yang lainnya. Agama dan IPTEK
sama sekali terpisah baik secara ontologis (berkaitan tentang pengertian dan
hakikat suatu hal), epistimologi (berkaitan dengan cara memperoleh pengetahuan),
dan aksiologis (berkaitan bagaimana menerapkan pengetahuan)
Kedua, paradigma Sosialis, yaitu paradigma daari ideologi
Sosialisme yang menafikan eksistensi agama secara total dari iptek. Agama tidak
ada hubungan dan kaitan apapun dengannya. Iptek bisa berjalan secara independen
dan terlepas sama sekali dari agama. Jika kita lihat, paradigma ini mirip
dengan paradigma Sekuler di atas, tapi lebih ekstrim. Dalam paradigma Sekuler,
agama berfungsi secara sekuleristik, yaitu tidak dinafikan keberadaannya, tapi
hanya dibatasi peranannya dalam hubungan vertikal manusia-tuhan. Sedangkan
paradigma sosialis, agama dipandang secara ateistik, artinya agama dianggap
tidak ada dan dibuang sama sekali dari kehidupan.
Lebih lanjut, Zainal Ilmi menjelaskan bahwa berdasarkan
paradigma sosialis, maka seluruh bangunan ilmu pengetahuan dalam pandangan ini
pada ide dasar Materialisme, khususnya Materialisme Dialektis.[2]
Paham Materialisme Dialektis[3]
adalah paham yang
memandang adanya keseluruhan
proses perubahan yang
terjadi terus menerus
melalui proses dialektika,
yaitu melalui pertentangan-pertentangan yang ada pada materi
yangsudah mengandung benih perkembanganitu sendiri.
Ketiga, paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa
agama adalah dasar dan pengatur kehidupan. Paradigma ini memerintahkan kepada
manusia untuk membangun segala pemikiran berdasarkan aqidah Islam. Bukan lepas
dari aqidah itu. Hal ini bisa dipahami dari ayat yang pertama kali turun: “Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan” (QS. Al-‘Alaq: 1). Ayat
ini berarti manusia diperintahkan untuk senantiasa membaca guna memperoleh
berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikiran itu tidak boleh lepas
dari bingkai “dengan menyebut nama Tuhan-mu” – dari aqidah Islam.[4]
Uraian ketiga paradigma di atas, kita telah mengetahui
dimana dan bagaimana posisi kita. Islam tidak memisahkan antara agama dan ilmu.
Sebab kedua hal tersebut adalah satu kesatuan yang sangat penting dalam
kehidupan manusia. Islam tidak menspesifikkan manusia harus mempelajari apa.
Semua harus dipelajari di dalam Islam. Makanya, ayat perintah membaca pada
surah Al-‘Alaq tidak menyebutkan objek yang harus dibaca. Karena kucinya bukan
pada apa yang dipelajari tapi bagaimana mengarahkan yang kita pelajari untuk
memperkuat keimanan kita.
- Ilmu Pengetahuan Bagi Islam
Kenapa Islam sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan? Sebab,
ilmu pengetahuan adalah modal manusia menjalani kehidupannya di dunia dan di
akhirat kelak. Mengingat posisi yang diberikan Allah kepadanya sebagai Khalifah
di bumi, sudah barang tentu dia harus mengerti tentang kehidupan di bumi. Nabi
Adam as diajari oleh Allah tentang nama-nama segala sesuatu itu bukan hanya
untuk membanggakan diri di depan para malaikat, akan tetapi juga untuk modalnya
kelak ketika diturunkan ke dunia.
Lho, Allah mengajari Adam tentang nama-nama itu jauh sebelum
dia diturunkan ke dunia, lantas bagaimana bisa nama-nama yang diajarkan
kepadanya benar-benar diniatkan Allah sebagai modal nabi Adam hidup di dunia?
Sebenarnya, nabi Adam akan tetap diturunkan ke dunia, meski setan tidak
menggodanya memakan buah terlarang sekalipun. Sebab tujuan diciptakannya Adam
adalah sebagai “Pengramut” bumi.
Pernyataan itu bukan tanpa dasar. Kita dapat melihat
pernyataan Allah kepada para malaikat ketika hendak menciptakan manusia. Allah
berfirman yang artinya “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di
bumi”.[5] Artinya,
tujuan diciptakannya manusia (yang diwakili oleh Adam) adalah untuk menjaga
bumi, menjadi khalifah disana. Bahkan, andai kata setan tidak menggoda nabi
Adam sekalipun, Adam tetap akan diturunkan ke dunia. Itu sudah takdir Allah!
Rasulullah Saw sendiri sudah menegaskan betapa pentingnya
ilmu pengetahuan:
من
أراد الدنيا فعليه بالعلم ومن أراد الأخرة فعليه بالعلم.
Artinya:
“Barang siapa menghendaki dunia, maka baginya (wajib
memiliki) ilmu pengetahuan. Dan barang siapa menghendaki akhirat, maka baginya
(wajib memiliki) ilmu pengetahuan.”
Jadi, ilmu pengetahuan adalah modal utama manusia hidup.
Ilmu tidak bisa dilepaskan dari diri manusia. Meski nanti kualitas dan
kuantitas keilmuan berbeda antara manusia satu dengan yang lain.
- Menjaga Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan adalah penting bagi manusia. Maka sudah
seharusnya kita merawatnya jangan sampai rusak dan hilang. Rasulullah Saw
memberitahu kita apa saja yang dapat merusak ilmu pengetahuan supaya kita tidak
melakukan hal tersebut. Ada dua faktor yang dapat merusak ilmu, yaitu lupa dan
berdiskusi atau berbicara dengan orang yang tidak memiliki kapasitas keilmuan
tertentu. Pada paragraf selanjutnya hanya akan dibahas masalah lupa, sebab lupa
ini adalah sifat alamiah manusia. Sehingga memerlukan solusi yang tepat.
Terkait tentang lupa, Islam sudah menawarkan satu metode
belajar yang sangat manjur. Sayangnya, kita melupakan tawaran itu. kita malah
ribut mengkiblat ke teori-teori yang ribet. Apa metode belajar itu? praktik.
Mengamalkan langsung ilmu yang dipelajari. Metode Praktik merupakan metode yang
paling efektif dan efisien serta lebih kuat ilmu yang dipelajari tersimpan di
dalam memori. Sebab seluruh komponan dalam diri manusia mulai dari ujung kepala
sampai ujung kaki, mulai dari kognitif, afektif dan psikomotoriknya, ikut
terlibat dalam mempelajari ilmu pengetahuan itu. Makanya, di dalam al-Quran
kata iman selalu disandingkan dengan kata amal. Iman sebagai bentuk teori,
konsep dan prinsip suatu pengetahuan, tidak akan berarti apa-apa tanpa
diamalkan, tanpa diwujudkan dalam tindakan. Wallahu a'lamu bisshowab!
baca juga:
baca juga:
[1] Zainal Ilmi, Islam Sebagai Landasan IPTEK, Jurnal
Komunikasi dan Sosial Keagamaan. Vol: XV, No. 1, Juni 2012, Hal. 97.
[3] Materialisme Dialektika, merupakan ajaran Marx yang menyangkut
hal ihwal alam semesta secara umum. Menurut Marx, perkembangan sejarah
manusia tunduk pada watak materialistik dialektika. Jika teori ini diterapkan pada masyarakat, maka dalam
pemikiran Marx disebut dengan materialisme
historis. Hal ini didasarkan
kenyataan bahwa yang menentukan struktur masyarakat dan perkembangan dalam
sejarah adalah kelas-kelas sosial.
Kelas-kelas itu bukan suatu kebetulan, melainkan merupakan upaya manusia untuk memperbaiki kehidupan dengan
mengadakan pembagian kerja. Prinsip dasar teori ini “bukan kesadaran manusia
untuk menentukan keadaan sosial, melainkan
sebaliknya keadaan sosiallah yang menentukan kesadarn manusia.” Lebih lanjut Marx berkeyakinan bahwa untuk memahami
sejarah dan arah perubahan, tidak
perlu memerhatikan apa yang dipikirkan oleh
manusia, tetapi bagaimana dia bekerja dan berproduksi. Dengan melihat cara
manusia itu bekerja dan berproduksi, dapat menentukan cara manusia itu berpikir. (Baca: FIKRAH: Irzum Farihah, FILSAFAT
MATERIALISME KARL MARX (Epistimologi Dialectical and Historical Materialism),
Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Volume 3, No. 2, Desember 2015)
[4] Zainal Ilmi, Islam Sebagai Landasan IPTEK...
hal. 99
[5] QS. Al-Baqarah : 30
0 komentar:
Posting Komentar