About


Get this widget:

Jumat, 30 Maret 2018

PERUSAK ILMU


Oleh: Muhamad Nur Hamid Hidayatullah
(Santri Pon-Pes Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta)


*) gambare wong lalinan

آفة العلم النسيان، وإضاعته أن تحدّث به غير أهله (رواه ابن أبي شيبة)
Artinya:
“sesuatu yang merusak ilmu adalah lupa dan membicarakannya bukan dengan orang yang ahli dalam bidangnya.” (HR. Ibnu Aby Syaibah)

Keterangan:
  1. Paradigma Hubungan Agama dan Ilmu Pengetahuan
Sebelum kita masuk ke dalam pembahasan yang lebih kritis, alangkah baiknya kita mempelajari terlebih dahulu terkait paradigma hubungan agama dan ilmu pengetahuan. Sekirannya nanti akan diketahui, sejauh mana agama menempatkan ilmu padanya? Dan kita – umat Islam – pada posisi yang mana? Menurut Hasal Farghal yang dikutip oleh Zainal Ilmi, Dosen tetap di STAIN Samarinda, bahwa secara garis besar, dari tinjauan ideologis ada 3 (tiga) jenis paradigama :[1]
Pertama, paradigma sekuler, yaitu paradigama yang memandang agama dan IPTEK adalah terpisah satu sama lain. Sebab dalam ideologi sekulerisme Barat, agama telah dipisahkan dari kehidupan. Agama tidak dinafikan eksistensinya, hanya saja peranannya dibatasi dalam hubungan individu dengan tuhannya. Agama tidak mengatur kehidupan umum/publik. Paradigma ini memandang agama dan IPTEK tidak bisa mencampuri atau mengintervensi yang lainnya. Agama dan IPTEK sama sekali terpisah baik secara ontologis (berkaitan tentang pengertian dan hakikat suatu hal), epistimologi (berkaitan dengan cara memperoleh pengetahuan), dan aksiologis (berkaitan bagaimana menerapkan pengetahuan)
Kedua, paradigma Sosialis, yaitu paradigma daari ideologi Sosialisme yang menafikan eksistensi agama secara total dari iptek. Agama tidak ada hubungan dan kaitan apapun dengannya. Iptek bisa berjalan secara independen dan terlepas sama sekali dari agama. Jika kita lihat, paradigma ini mirip dengan paradigma Sekuler di atas, tapi lebih ekstrim. Dalam paradigma Sekuler, agama berfungsi secara sekuleristik, yaitu tidak dinafikan keberadaannya, tapi hanya dibatasi peranannya dalam hubungan vertikal manusia-tuhan. Sedangkan paradigma sosialis, agama dipandang secara ateistik, artinya agama dianggap tidak ada dan dibuang sama sekali dari kehidupan.
Lebih lanjut, Zainal Ilmi menjelaskan bahwa berdasarkan paradigma sosialis, maka seluruh bangunan ilmu pengetahuan dalam pandangan ini pada ide dasar Materialisme, khususnya Materialisme Dialektis.[2] Paham  Materialisme  Dialektis[3] adalah  paham  yang  memandang  adanya  keseluruhan  proses  perubahan  yang  terjadi  terus  menerus  melalui  proses  dialektika,  yaitu  melalui  pertentangan-pertentangan yang ada pada materi yangsudah mengandung benih perkembanganitu sendiri.
Ketiga, paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa agama adalah dasar dan pengatur kehidupan. Paradigma ini memerintahkan kepada manusia untuk membangun segala pemikiran berdasarkan aqidah Islam. Bukan lepas dari aqidah itu. Hal ini bisa dipahami dari ayat yang pertama kali turun: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan” (QS. Al-‘Alaq: 1). Ayat ini berarti manusia diperintahkan untuk senantiasa membaca guna memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikiran itu tidak boleh lepas dari bingkai “dengan menyebut nama Tuhan-mu” – dari aqidah Islam.[4]
Uraian ketiga paradigma di atas, kita telah mengetahui dimana dan bagaimana posisi kita. Islam tidak memisahkan antara agama dan ilmu. Sebab kedua hal tersebut adalah satu kesatuan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Islam tidak menspesifikkan manusia harus mempelajari apa. Semua harus dipelajari di dalam Islam. Makanya, ayat perintah membaca pada surah Al-‘Alaq tidak menyebutkan objek yang harus dibaca. Karena kucinya bukan pada apa yang dipelajari tapi bagaimana mengarahkan yang kita pelajari untuk memperkuat keimanan kita.
  1. Ilmu Pengetahuan Bagi Islam
Kenapa Islam sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan? Sebab, ilmu pengetahuan adalah modal manusia menjalani kehidupannya di dunia dan di akhirat kelak. Mengingat posisi yang diberikan Allah kepadanya sebagai Khalifah di bumi, sudah barang tentu dia harus mengerti tentang kehidupan di bumi. Nabi Adam as diajari oleh Allah tentang nama-nama segala sesuatu itu bukan hanya untuk membanggakan diri di depan para malaikat, akan tetapi juga untuk modalnya kelak ketika diturunkan ke dunia.
Lho, Allah mengajari Adam tentang nama-nama itu jauh sebelum dia diturunkan ke dunia, lantas bagaimana bisa nama-nama yang diajarkan kepadanya benar-benar diniatkan Allah sebagai modal nabi Adam hidup di dunia? Sebenarnya, nabi Adam akan tetap diturunkan ke dunia, meski setan tidak menggodanya memakan buah terlarang sekalipun. Sebab tujuan diciptakannya Adam adalah sebagai “Pengramut” bumi.
Pernyataan itu bukan tanpa dasar. Kita dapat melihat pernyataan Allah kepada para malaikat ketika hendak menciptakan manusia. Allah berfirman yang artinya “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.[5] Artinya, tujuan diciptakannya manusia (yang diwakili oleh Adam) adalah untuk menjaga bumi, menjadi khalifah disana. Bahkan, andai kata setan tidak menggoda nabi Adam sekalipun, Adam tetap akan diturunkan ke dunia. Itu sudah takdir Allah!
Rasulullah Saw sendiri sudah menegaskan betapa pentingnya ilmu pengetahuan:
من أراد الدنيا فعليه بالعلم ومن أراد الأخرة فعليه بالعلم.
Artinya:
Barang siapa menghendaki dunia, maka baginya (wajib memiliki) ilmu pengetahuan. Dan barang siapa menghendaki akhirat, maka baginya (wajib memiliki) ilmu pengetahuan.”
Jadi, ilmu pengetahuan adalah modal utama manusia hidup. Ilmu tidak bisa dilepaskan dari diri manusia. Meski nanti kualitas dan kuantitas keilmuan berbeda antara manusia satu dengan yang lain.
  1. Menjaga Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan adalah penting bagi manusia. Maka sudah seharusnya kita merawatnya jangan sampai rusak dan hilang. Rasulullah Saw memberitahu kita apa saja yang dapat merusak ilmu pengetahuan supaya kita tidak melakukan hal tersebut. Ada dua faktor yang dapat merusak ilmu, yaitu lupa dan berdiskusi atau berbicara dengan orang yang tidak memiliki kapasitas keilmuan tertentu. Pada paragraf selanjutnya hanya akan dibahas masalah lupa, sebab lupa ini adalah sifat alamiah manusia. Sehingga memerlukan solusi yang tepat.
Terkait tentang lupa, Islam sudah menawarkan satu metode belajar yang sangat manjur. Sayangnya, kita melupakan tawaran itu. kita malah ribut mengkiblat ke teori-teori yang ribet. Apa metode belajar itu? praktik. Mengamalkan langsung ilmu yang dipelajari. Metode Praktik merupakan metode yang paling efektif dan efisien serta lebih kuat ilmu yang dipelajari tersimpan di dalam memori. Sebab seluruh komponan dalam diri manusia mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki, mulai dari kognitif, afektif dan psikomotoriknya, ikut terlibat dalam mempelajari ilmu pengetahuan itu. Makanya, di dalam al-Quran kata iman selalu disandingkan dengan kata amal. Iman sebagai bentuk teori, konsep dan prinsip suatu pengetahuan, tidak akan berarti apa-apa tanpa diamalkan, tanpa diwujudkan dalam tindakan. Wallahu a'lamu bisshowab!

baca juga:




[1] Zainal Ilmi, Islam Sebagai Landasan IPTEK, Jurnal Komunikasi dan Sosial Keagamaan. Vol: XV, No. 1, Juni 2012, Hal. 97.
[2] Ibid. Hal. 99
[3] Materialisme Dialektika, merupakan ajaran Marx yang menyangkut hal ihwal alam semesta secara umum. Menurut Marx, perkembangan sejarah manusia tunduk pada watak materialistik dialektika. Jika teori ini  diterapkan pada masyarakat, maka dalam pemikiran Marx disebut dengan materialisme historis. Hal ini didasarkan kenyataan bahwa yang menentukan struktur masyarakat dan perkembangan dalam sejarah adalah kelas-kelas  sosial. Kelas-kelas itu bukan suatu kebetulan, melainkan merupakan upaya manusia untuk memperbaiki  kehidupan dengan mengadakan pembagian kerja. Prinsip dasar teori ini “bukan kesadaran manusia untuk  menentukan keadaan sosial, melainkan sebaliknya keadaan sosiallah yang menentukan kesadarn manusia.” Lebih  lanjut Marx berkeyakinan bahwa untuk memahami sejarah dan arah perubahan, tidak perlu memerhatikan apa  yang dipikirkan oleh manusia, tetapi bagaimana dia bekerja dan berproduksi. Dengan melihat cara manusia itu bekerja dan berproduksi, dapat menentukan cara manusia itu berpikir. (Baca: FIKRAH: Irzum Farihah, FILSAFAT MATERIALISME KARL MARX (Epistimologi Dialectical and Historical Materialism), Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Volume 3, No. 2, Desember 2015)
[4] Zainal Ilmi, Islam Sebagai Landasan IPTEK... hal. 99
[5] QS. Al-Baqarah : 30

0 komentar:

Posting Komentar