About


Get this widget:

Jumat, 09 Maret 2018

BANJIR



Oleh : Muhamad Nur Hamid Hidayatullah

Suara minyak goreng mendidih di atas wajan serta bawang yang teriris-iris pisau melebur menjadi satu dengan pikiran masing-masing. Ibu dan anak sibuk memasak sarapan pagi. Cahaya menyeleret masuk ke dalam dapur lewat dindingnya yang bolong.  Wanita parobaya sibuk kesana kemari mengambil bahan masakan yang tidak ditata rapi karena tidak punya keranjang untuk tempat bumbu kecuali keresek. Tangannya merapikan jilbab coklatnya yang berantakan. Kali ini dia sedang memasak Pindang Rujak, khas Demak.
Air mendidih berwarna kuning dengan irisan cabai tipis-tipis serta potongan ikan yang besar membuat Munir ingin ngiler. Apalagi itu adalah makanan kesukaannya. Munir mendongakkan kepalanya, menghirup aroma lezat lewat di depan hidungnya. Matanya terpejam rapat menghayati setiap zat yang menelusup ke dalam lubang hidungnya seolah-olah dia ingin menguraikan resep rahasia ibunya dengan senyuman yang terukir di bibirnya.

“Sampai kapan banjir ini terus menggenangi desa kita setiap hari, Bu?” Tanya munir ketika kakinya merasakan air menyentuh kulitnya.
“Tidak tahu, Nang. Ibu capek  mikir itu. Yang bisa kita lakukan hanya bersabar, Nang,” jawab Nisa, ibunya Munir, sembari menuangkan kuah Pindang Rujak ke dalam mangkuk besar.
Munir diam menatap tumpukan piring di depannya. Permasalahan ini memang belum ada jawabannya. Bahkan orang-orang di dunia kalau ditanya masalah ini, mereka akan mengatakan jawaban yang sama dengan ibunya. Bencana banjir ini tidak akan selesai sampai pemerintahan desa bertindak untuk mencari jalan keluar dari genangan yang membatasi langkah manusia untuk kehidupannya.
Tidak usah menunggu waktu berjam-jam, air sudah naik di bawah lutut dengan sendiri. Masroni, bapaknya Munir sedang ngangkring di atas sofa biru yang sudah bolong sana-sini. Matanya yang sipit karena sudah lama menangkap kejadian suka-duka kehidupan dunia. Di bawah matanya ada garis keriput seakan-akan itu adalah terjemahan perjalanan kehidupannya yang sangat rumit. Program berita pagi di TV menemaninya duduk bersama anak pertamanya, Junaidi. Lelaki berkulit hitam karena keseringan tersengat matahari, tidak kalah fokusnya dengan bapaknya menyimak berita, dua jarinya dengan gagah mengapit sebatang rokok yang tinggal separuh dihisapinya terus.
Nisa keluar dengan menyangga mangkuk besar yang masih mengepulkan asap ke atas lalu bergoyang diterpa angin. Dibelakangnya Munir berjalan santai membawa tupukan piring dan cobek. Terlihat dari jauh sambal warna coklat sangat menggoda, memancing air liur keluar menetes.
“Ayo, sarapan dulu. Terus berangkat kerja,” kata Nisa mengingatkan suaminya dan anak pertamanya yang sedang asik menonton TV.
Masroni dan Junaidi menoleh kea rah Nisa yang sedang menata makanan di atas meja. Di keluarga ini yang belum kerja hanya Munir. Dia masih proses mencari pekerjaan. Surat lamaran juga sudah dia sebar ke beberapa perusahan. Tapi dirinya belum mendapatkan panggilan dari salah satu perusahan. Munir baru dua bulan lulus dari UIN Sunan Kalijaga jurusan Perbankan Islam. Sambil menunggu surat panggilan, dirinya membantu ibunya di rumah dan berbisnis online lukisan – memanfaatkan bakatnya. Hasilnya lumayan untuk uang tambahan. Biasanya dalam satu minggu dia bisa menerima 3 sampai 5 pesanan. Satu lukisannya dia hargai Rp. 200.000. tahu kan berapa uang yang di dapat Munir? Total sendiri, okay.
Mereka berempat menyantap sarapan pagi dengan sangat nikmat. Junaidi, kakak Munir yang mengabdikan hidupnya kepada Desa sebagai ketua RT, makannya paling banyak. Baginya makan satu piring tidak mengenyangkan. Minimal makan sampai dua piring. Berkebalikan dengan Munir yang sedikit makan. Biasanya munir makan hanya setengah piring. Jika makannya terlalu banyak maka perutnya akan merasakan mual. Makanya Munir lebih bisa mengirit uang dari kakaknya.
Setelah menikamati masakan Nisa, Masroni pergi untuk bersiap-siap berangkat bekerja di pabrik kain di Sayung, perbatasan antara Demak dan Semarang. Sedangkan Junaidi berangkat ngantor di kantor kedesaan. Nisa dan Munir kembali ke dapur mencuci piring bekas minyak dan sambal.
Banjir yang tadi setinggi lutut, sepertinya sekarang mulai surut. Sampah-sapah yang di bawah air banjar dari luar tergeletak di atas lantai bercampur lumpur. Tanpa dikomando, Munir mengambil sapu dan membersihkan lantai sampai kinclong. Kemudian Munir mengambil sapu pel dan menggosok lantai dengan sabun lantai hingga muncul aroma haru memenuhi ruangan rumah.
Nisa menghampiri anaknya hendak membantu. Tapi ternyata sudah selesai. Munir menoleh ke arah ibunya yang berdiri di sampingnya. Munir menyunggingkan senyum tanda bahwa pekerjaannya sudah selesai jadi tidak perlu membersihkannya. Laki-laki berbadan kurus kerempeng dan berkulit sawo matang itu memang paling cekatan untuk membantu urusan keluarga. Rasa memilikinya sangat tinggi. Semua temannya waktu kuliah dulu juga mengatakan bahwa Munir orangnya sangat baik, ringan tangan untuk membantu temannya padahal dia sendiri dalam keadaan susah. Tapi Munir tidak pernah memikirkan keadaan dirinya. Baginya, ada semacam kebahagiaan hakiki ketika bisa menolong orang. Kalau kita pernah menonton film Kick, dari India, yang diperankan oleh Salman khan, pasti akan membenarkan tindakan Munir bahwa ada sensasi yang luar biasa ketika menolong orang lain yang sedang memiliki masalah.
Munir masuk kamar dan mengambil peralatan lukisnya. Dia harus mengerjakan pesanan dari pelanggannya. Dia diberi jatah waktu selama dua hari – waktu yang paling minim dibutuhkan Munir untuk melukis. Munir belum bisa melukis dengan cepat karena dia baru dua bulan mendalami bakat MTs-nya itu.
Matanya sangat jeli melihat bagian-bagian dari foto yang diberikan pelanggannya. Di atas kertas foto itu ada seorang anak kecil sedang tersenyum memegangi boneka warna kuning. Senyuman yang sangat murni, belum terkontaminasi dengan kebencian terhadap dunia yang seperti tidak menganggap orang yang lemah. Hokum rimba masih berlaku dimana-mana. Tangan Munir dengan sangat lincah menggaritkan garis-garis pada bagian mata. Munir paling suka kalau membuat mata. Karena mata itu yang mencerminkan ketulusan seseorang.
Tiba-tiba pikirannya berlari ke belakang memutar kenangan-kenangan waktu dirinya masih kecil. Entah kenapa bayangan itu masih sangat jelas, padahal sudah sangat lama memori itu terkubur dalam otaknya.
Munir kecil berdiri di depan pintu, melongo takjub melihat kapal aneh berwarna orange sedang berputar dengan lengan di depannya. Baru pertama kali ini Munir melihat kapal seperti itu. Anak-anak kecil yang lain berhamburan mendekat ke pinggir sungai. Mereka berteriak-teriak memanggil kapal itu. Ada satu orang memakai celana jeans berdiri berpegangan dengan pintu “kapan keruk”.
Lengannya dengan kokoh menerobos air, tenggelam beberapa saat kemudian keluar dari air dengan tanah hitam comberan. dibuang ke pinggir kali. Anak-anak berlarian ke belakang karena takut kecipratan tanah bau busuk itu. Munir kecil tertarik melihat teman-temannya tersenyum gembira berlarian menghindari lumpur hitam. Kakinya yang kecil melangkah pelan tapi pasti mendekat ke arah temannya. Tak berapa lama, tubuhnya yang kurus kerempeng berdiri tegak di dekat lumpur sambil tangannya memegang pisang goreng buatan ibunya.
“Ah, andai saja sungai ini dikeruk seperti dulu, kemungkinan besar tidak akan banjir,” gumamnya lirih melihat tangannya berhenti di atas guratan hitam pupil di atas kertas.
Munir kaget menoleh ke arah kirinya. Ibunya sudah berdiri di sampingnya memegangi secangkir teh yang mengepulkan asap ke atas langit. Ibunya mengamati anaknya dengan pandangan aneh dan sekaligus penasaran – penasaran apa yang ada di pikiran anaknya itu.
“Kerja kok melamun. Kamu melamun apa, Nang?” Tanya Nisa kemudian.
“Hehe…. Melamun waktu kecil dulu, Bu. Dulu, sungai ini sering di keruk ya kan, Bu. Tapi sekarang, jangankan dikeruk, dibersihkan aja tidak. Kalau sering dikeruk, kemungkinan besar banjir tidak akan melanda desa kita,” jawab Munir menjelaskan.
“Sabar, Nang. Jangan terbawa emosi. Pasrahkan semua ini kepada Allah, Nang,” ucap Nisa menenangkan anaknya yang tersulut emosi. “Dan ingat, jangan sampai kamu berurusan dengan politik ya, Nang. Paham kan maksut ibu?”
Munir mengangguk pelan kepada Ibunya tanda paham.
Nisa menyuruh anaknya meminum tehnya. “Keburu dingin nanti, Nang,” ucap Nisa.
Munir meraih cangkir tergeletak di atas mejanya lalu meneguknya sedikit, supaya tidak terlalu cepat habis. Tangannya melanjutkan projeknya. Nisa berpamitan ke anaknya untuk pergi ke tempat penjualan ikan. Nisa bekerja di sana sebagai penjual ikan. Biasanya dia membeli ikan dari nelayan dan menjualnya kembali dengan harga yang sedikit naik sebagai keuntungannya.
***
Sore itu sangat hangat, mega orange tergarit di awan sana menghiasi langit yang sebentar lagi akan menjadi gelap. Angin sepoi menerjang dua jenis rambut kriting meski tidak bergoyang sedikitpun. Ya, Munir dan Junaidi, kakaknya, sedang duduk berdua di depan rumah. Tidak lupa secangkir minuman teh yang selalu menemani setiap perbincangan mereka. Suara perahu memekak memenuhi ruang telinga Munir. Munir memandangi perahu yang melaju di atas air dengan cepat, menerobos membelah sampah-sampah yang hanyut digiring arus sungai.
Apa pak lurah tidak pernah mengurusi masalah kali sperti periode zaman dulu. Sungai tidak pernah di keruk sampai air tidak punya tempatnya, bleber ke rumah warga. Eh malah jalannya yang ditinggikan. Rumah yang kecil makin kecil dan ketelen banjir. Zaman dulu lho kali sering dikeruk dan tidak sering banjir,” ucap Munir dengan nada sedikit ditekan.
iya sih, Nir. Aku juga mikir begitu. Tapi aku tidak bias berbuat banyak. Semuanya yang menentukan pak lurahnya. Tapi aku pernah dengar dari ucapan pak lurah ketika ditanya masalah banjir ini. Katanya kalau mengeruk biayanya lebih banyak.
“Lho ya banyakan bangun jalan to mas. Biaya beli materialnya. Bayaran tukangnya belum makannya. Semakin panjang jalan dan tukang yang bangun semakin banyak kan biaya yang keluar. Kalau kapal keruk kan hanya biaya menyewa kapal keruk bersama satu sopirnya,” timpal Munir.
Entah kenapa, kakaknya seperti tidak memiliki jawaban yang tepat untuk adiknya. Karena memang dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Dia takut untuk menegur kepala desanya. Dia memang penakut. Takut menghadapi masalah yang lebih besar. Dia lebih memilih diam dari pada pangkatnya dicabut atau gajinya dikurangi.
Munir sudah paham dengan ekspresi wajah kakaknya itu. Munir menghela nafas. Ada semacam perasaan kecewa terhadap kakaknya yang tidak bisa bersikap tegas. Tapi, tidak mungkin dia lampiaskan begitu saja. Dia tahu bagaimana berbicara dengan orang yang lebih tua. Dia takut dicap sebagai orang yang tidak beradab.
***
Cahaya lampu kuning menerangi ruangan kamar tidur Munir. Dinding kayu bercat putih selalu menyelimutinya dari dinginnya angin malam dan jahatnya sepi yang bergentayangan di tengah malam. Meja dan kursi adalah temannya ketika semua manusia terlelap dalam selimut mereka. Netbook Lenovo terbuka di atas meja sebagai teman curhatnya ketika dia sedang sedih, marah, galau, dab bahagia. Semua ditumpahkannya ke dalam tulisan cerpennya. Tidak jarang juga dia mengirimkan hasil tulisannya ke redaksi koran tertentu. Dan tidak sedikit pula tulisan yang dimuat.
Pikirannya berdenyut menyimpulkan hikmah yang seharian dia alami, terutama terkait dengan banjir. Dia berharap sekali jika suatu saat nanti tulisan ini dimuat dan dibaca oleh kalayak umum termasuk kepala desanya sehingga tersadarkan akan tanggung jawabnya untuk meringankan beban rakyatnya – umumnya bagi semua orang semoga tersadarkan akan kewajibannya kepada lingkungannya.
“Bahkan mau tidur pun harus ditemani banjir,” batin Munir setelah menyelesaikan cerpennya, melangkah menuju ranjang. “Ya Allah, ampunilah kami atas dosa kami sehingga Engkau memberikan cobaan banjir kepada kami. Kami memohon kepada-Mu semoga lekas Engkau surutkan banjir ini selamanya dari desa kami. Karena hanya kepada-Mu kami memohon, ya Allah. Amin!” doanya sebelum dirinya membenamkan impiannya kepada malam.
Air di bawah tempatnya perlahan menyusut. Entah apa itu karena doanya yang dikabulkan Allah seketika, atau hanya sikap mengalah dari banjir karena sebel ditinggal tidur Munir? Kita tunggu saja jawabannya besok....

TAMAT

0 komentar:

Posting Komentar