Oleh
: Muhamad Nur Hamid Hidayatullah
Suara
minyak goreng mendidih di atas wajan serta bawang yang teriris-iris pisau
melebur menjadi satu dengan pikiran masing-masing. Ibu dan anak sibuk memasak
sarapan pagi. Cahaya menyeleret masuk ke dalam dapur lewat dindingnya yang
bolong. Wanita parobaya sibuk kesana
kemari mengambil bahan masakan yang tidak ditata rapi karena tidak punya
keranjang untuk tempat bumbu kecuali keresek. Tangannya merapikan jilbab
coklatnya yang berantakan. Kali ini dia sedang memasak Pindang Rujak, khas
Demak.
Air
mendidih berwarna kuning dengan irisan cabai tipis-tipis serta potongan ikan
yang besar membuat Munir ingin ngiler. Apalagi itu adalah makanan kesukaannya.
Munir mendongakkan kepalanya, menghirup aroma lezat lewat di depan hidungnya.
Matanya terpejam rapat menghayati setiap zat yang menelusup ke dalam lubang
hidungnya seolah-olah dia ingin menguraikan resep rahasia ibunya dengan
senyuman yang terukir di bibirnya.
“Sampai
kapan banjir ini terus menggenangi desa kita setiap hari, Bu?” Tanya munir
ketika kakinya merasakan air menyentuh kulitnya.
“Tidak
tahu, Nang. Ibu capek mikir itu. Yang
bisa kita lakukan hanya bersabar, Nang,” jawab Nisa, ibunya Munir, sembari
menuangkan kuah Pindang Rujak ke dalam mangkuk besar.
Munir
diam menatap tumpukan piring di depannya. Permasalahan ini memang belum ada
jawabannya. Bahkan orang-orang di dunia kalau ditanya masalah ini, mereka akan
mengatakan jawaban yang sama dengan ibunya. Bencana banjir ini tidak akan
selesai sampai pemerintahan desa bertindak untuk mencari jalan keluar dari
genangan yang membatasi langkah manusia untuk kehidupannya.
Tidak
usah menunggu waktu berjam-jam, air sudah naik di bawah lutut dengan sendiri. Masroni,
bapaknya Munir sedang ngangkring di atas sofa biru yang sudah bolong sana-sini.
Matanya yang sipit karena sudah lama menangkap kejadian suka-duka kehidupan
dunia. Di bawah matanya ada garis keriput seakan-akan itu adalah terjemahan
perjalanan kehidupannya yang sangat rumit. Program berita pagi di TV
menemaninya duduk bersama anak pertamanya, Junaidi. Lelaki berkulit hitam
karena keseringan tersengat matahari, tidak kalah fokusnya dengan bapaknya
menyimak berita, dua jarinya dengan gagah mengapit sebatang rokok yang tinggal
separuh dihisapinya terus.
Nisa
keluar dengan menyangga mangkuk besar yang masih mengepulkan asap ke atas lalu
bergoyang diterpa angin. Dibelakangnya Munir berjalan santai membawa tupukan
piring dan cobek. Terlihat dari jauh sambal warna coklat sangat menggoda,
memancing air liur keluar menetes.
“Ayo,
sarapan dulu. Terus berangkat kerja,” kata Nisa mengingatkan suaminya dan anak
pertamanya yang sedang asik menonton TV.
Masroni
dan Junaidi menoleh kea rah Nisa yang sedang menata makanan di atas meja. Di
keluarga ini yang belum kerja hanya Munir. Dia masih proses mencari pekerjaan.
Surat lamaran juga sudah dia sebar ke beberapa perusahan. Tapi dirinya belum
mendapatkan panggilan dari salah satu perusahan. Munir baru dua bulan lulus
dari UIN Sunan Kalijaga jurusan Perbankan Islam. Sambil menunggu surat
panggilan, dirinya membantu ibunya di rumah dan berbisnis online lukisan –
memanfaatkan bakatnya. Hasilnya lumayan untuk uang tambahan. Biasanya dalam
satu minggu dia bisa menerima 3 sampai 5 pesanan. Satu lukisannya dia hargai
Rp. 200.000. tahu kan berapa uang yang di dapat Munir? Total sendiri, okay.
Mereka
berempat menyantap sarapan pagi dengan sangat nikmat. Junaidi, kakak Munir yang
mengabdikan hidupnya kepada Desa sebagai ketua RT, makannya paling banyak.
Baginya makan satu piring tidak mengenyangkan. Minimal makan sampai dua piring.
Berkebalikan dengan Munir yang sedikit makan. Biasanya munir makan hanya
setengah piring. Jika makannya terlalu banyak maka perutnya akan merasakan
mual. Makanya Munir lebih bisa mengirit uang dari kakaknya.
Setelah
menikamati masakan Nisa, Masroni pergi untuk bersiap-siap berangkat bekerja di
pabrik kain di Sayung, perbatasan antara Demak dan Semarang. Sedangkan Junaidi
berangkat ngantor di kantor kedesaan. Nisa dan Munir kembali ke dapur mencuci
piring bekas minyak dan sambal.
Banjir
yang tadi setinggi lutut, sepertinya sekarang mulai surut. Sampah-sapah yang di
bawah air banjar dari luar tergeletak di atas lantai bercampur lumpur. Tanpa
dikomando, Munir mengambil sapu dan membersihkan lantai sampai kinclong.
Kemudian Munir mengambil sapu pel dan menggosok lantai dengan sabun lantai
hingga muncul aroma haru memenuhi ruangan rumah.
Nisa
menghampiri anaknya hendak membantu. Tapi ternyata sudah selesai. Munir menoleh
ke arah ibunya yang berdiri di sampingnya. Munir menyunggingkan senyum tanda
bahwa pekerjaannya sudah selesai jadi tidak perlu membersihkannya. Laki-laki
berbadan kurus kerempeng dan berkulit sawo matang itu memang paling cekatan
untuk membantu urusan keluarga. Rasa memilikinya sangat tinggi. Semua temannya
waktu kuliah dulu juga mengatakan bahwa Munir orangnya sangat baik, ringan
tangan untuk membantu temannya padahal dia sendiri dalam keadaan susah. Tapi
Munir tidak pernah memikirkan keadaan dirinya. Baginya, ada semacam kebahagiaan
hakiki ketika bisa menolong orang. Kalau kita pernah menonton film Kick,
dari India, yang diperankan oleh Salman khan, pasti akan membenarkan tindakan
Munir bahwa ada sensasi yang luar biasa ketika menolong orang lain yang sedang
memiliki masalah.
Munir
masuk kamar dan mengambil peralatan lukisnya. Dia harus mengerjakan pesanan
dari pelanggannya. Dia diberi jatah waktu selama dua hari – waktu yang paling
minim dibutuhkan Munir untuk melukis. Munir belum bisa melukis dengan cepat
karena dia baru dua bulan mendalami bakat MTs-nya itu.
Matanya
sangat jeli melihat bagian-bagian dari foto yang diberikan pelanggannya. Di
atas kertas foto itu ada seorang anak kecil sedang tersenyum memegangi boneka
warna kuning. Senyuman yang sangat murni, belum terkontaminasi dengan kebencian
terhadap dunia yang seperti tidak menganggap orang yang lemah. Hokum rimba
masih berlaku dimana-mana. Tangan Munir dengan sangat lincah menggaritkan
garis-garis pada bagian mata. Munir paling suka kalau membuat mata. Karena mata
itu yang mencerminkan ketulusan seseorang.
Tiba-tiba
pikirannya berlari ke belakang memutar kenangan-kenangan waktu dirinya masih
kecil. Entah kenapa bayangan itu masih sangat jelas, padahal sudah sangat lama
memori itu terkubur dalam otaknya.
Munir
kecil berdiri di depan pintu, melongo takjub melihat kapal aneh berwarna orange
sedang berputar dengan lengan di depannya. Baru pertama kali ini Munir melihat
kapal seperti itu. Anak-anak kecil yang lain berhamburan mendekat ke pinggir
sungai. Mereka berteriak-teriak memanggil kapal itu. Ada satu orang memakai
celana jeans berdiri berpegangan dengan pintu “kapan keruk”.
Lengannya
dengan kokoh menerobos air, tenggelam beberapa saat kemudian keluar dari air
dengan tanah hitam comberan. dibuang ke pinggir kali. Anak-anak berlarian ke
belakang karena takut kecipratan tanah bau busuk itu. Munir kecil tertarik
melihat teman-temannya tersenyum gembira berlarian menghindari lumpur hitam.
Kakinya yang kecil melangkah pelan tapi pasti mendekat ke arah temannya. Tak
berapa lama, tubuhnya yang kurus kerempeng berdiri tegak di dekat lumpur sambil
tangannya memegang pisang goreng buatan ibunya.
“Ah,
andai saja sungai ini dikeruk seperti dulu, kemungkinan besar tidak akan
banjir,” gumamnya lirih melihat tangannya berhenti di atas guratan hitam pupil
di atas kertas.
Munir
kaget menoleh ke arah kirinya. Ibunya sudah berdiri di sampingnya memegangi
secangkir teh yang mengepulkan asap ke atas langit. Ibunya mengamati anaknya
dengan pandangan aneh dan sekaligus penasaran – penasaran apa yang ada di
pikiran anaknya itu.
“Kerja
kok melamun. Kamu melamun apa, Nang?” Tanya Nisa kemudian.
“Hehe….
Melamun waktu kecil dulu, Bu. Dulu, sungai ini sering di keruk ya kan, Bu. Tapi
sekarang, jangankan dikeruk, dibersihkan aja tidak. Kalau sering dikeruk,
kemungkinan besar banjir tidak akan melanda desa kita,” jawab Munir
menjelaskan.
“Sabar,
Nang. Jangan terbawa emosi. Pasrahkan semua ini kepada Allah, Nang,” ucap Nisa
menenangkan anaknya yang tersulut emosi. “Dan ingat, jangan sampai kamu
berurusan dengan politik ya, Nang. Paham kan maksut ibu?”
Munir
mengangguk pelan kepada Ibunya tanda paham.
Nisa
menyuruh anaknya meminum tehnya. “Keburu dingin nanti, Nang,” ucap Nisa.
Munir
meraih cangkir tergeletak di atas mejanya lalu meneguknya sedikit, supaya tidak
terlalu cepat habis. Tangannya melanjutkan projeknya. Nisa berpamitan ke
anaknya untuk pergi ke tempat penjualan ikan. Nisa bekerja di sana sebagai
penjual ikan. Biasanya dia membeli ikan dari nelayan dan menjualnya kembali
dengan harga yang sedikit naik sebagai keuntungannya.
***
Sore
itu sangat hangat, mega orange tergarit di awan sana menghiasi langit yang
sebentar lagi akan menjadi gelap. Angin sepoi menerjang dua jenis rambut
kriting meski tidak bergoyang sedikitpun. Ya, Munir dan Junaidi, kakaknya,
sedang duduk berdua di depan rumah. Tidak lupa secangkir minuman teh yang selalu menemani setiap perbincangan mereka. Suara
perahu memekak memenuhi ruang telinga Munir. Munir memandangi perahu yang
melaju di atas air dengan cepat, menerobos membelah sampah-sampah yang hanyut
digiring arus sungai.
“Apa pak lurah tidak pernah mengurusi
masalah kali sperti periode zaman dulu. Sungai tidak pernah di keruk sampai air
tidak punya tempatnya, bleber ke rumah warga. Eh malah jalannya yang
ditinggikan. Rumah yang kecil makin kecil dan ketelen banjir. Zaman dulu lho
kali sering dikeruk dan tidak sering banjir,” ucap Munir dengan nada sedikit ditekan.
“iya sih, Nir. Aku juga mikir begitu.
Tapi aku tidak bias berbuat banyak. Semuanya yang menentukan pak lurahnya. Tapi
aku pernah dengar dari ucapan pak lurah ketika ditanya masalah banjir ini.
Katanya kalau mengeruk biayanya lebih banyak.”
“Lho ya banyakan bangun jalan to mas.
Biaya beli materialnya. Bayaran tukangnya belum makannya. Semakin panjang jalan
dan tukang yang bangun semakin banyak kan biaya yang keluar. Kalau kapal keruk
kan hanya biaya menyewa kapal keruk bersama satu sopirnya,” timpal Munir.
Entah kenapa, kakaknya seperti tidak memiliki jawaban
yang tepat untuk adiknya. Karena memang dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Dia
takut untuk menegur kepala desanya. Dia memang penakut. Takut menghadapi
masalah yang lebih besar. Dia lebih memilih diam dari pada pangkatnya dicabut
atau gajinya dikurangi.
Munir sudah paham dengan ekspresi wajah kakaknya itu.
Munir menghela nafas. Ada semacam perasaan kecewa terhadap kakaknya yang tidak
bisa bersikap tegas. Tapi, tidak mungkin dia lampiaskan begitu saja. Dia tahu
bagaimana berbicara dengan orang yang lebih tua. Dia takut dicap sebagai orang
yang tidak beradab.
***
Cahaya lampu kuning menerangi ruangan kamar tidur Munir.
Dinding kayu bercat putih selalu menyelimutinya dari dinginnya angin malam dan
jahatnya sepi yang bergentayangan di tengah malam. Meja dan kursi adalah
temannya ketika semua manusia terlelap dalam selimut mereka. Netbook Lenovo
terbuka di atas meja sebagai teman curhatnya ketika dia sedang sedih, marah,
galau, dab bahagia. Semua ditumpahkannya ke dalam tulisan cerpennya. Tidak
jarang juga dia mengirimkan hasil tulisannya ke redaksi koran tertentu. Dan
tidak sedikit pula tulisan yang dimuat.
Pikirannya berdenyut menyimpulkan hikmah yang seharian
dia alami, terutama terkait dengan banjir. Dia berharap sekali jika suatu saat
nanti tulisan ini dimuat dan dibaca oleh kalayak umum termasuk kepala desanya
sehingga tersadarkan akan tanggung jawabnya untuk meringankan beban rakyatnya –
umumnya bagi semua orang semoga tersadarkan akan kewajibannya kepada
lingkungannya.
“Bahkan mau tidur pun harus ditemani banjir,” batin Munir
setelah menyelesaikan cerpennya, melangkah menuju ranjang. “Ya Allah, ampunilah
kami atas dosa kami sehingga Engkau memberikan cobaan banjir kepada kami. Kami
memohon kepada-Mu semoga lekas Engkau surutkan banjir ini selamanya dari desa
kami. Karena hanya kepada-Mu kami memohon, ya Allah. Amin!” doanya sebelum
dirinya membenamkan impiannya kepada malam.
Air di bawah tempatnya perlahan menyusut. Entah apa itu
karena doanya yang dikabulkan Allah seketika, atau hanya sikap mengalah dari
banjir karena sebel ditinggal tidur Munir? Kita tunggu saja jawabannya
besok....
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar