THE KILLING OF A SACRED DEER Review
Rusa keramat itu bisa saja pernikahan, atau anak, atau pasangan
hidup. Objek pada judul film ini jelas sebuah metafora. Namun kata kerjanya
mengisyaratkan sebuah pesan yang jelas. Jangan membunuh. Membuat orang menjadi
tidak bahagia karena kehilangan sesuatu adalah perbuatan yang tercela. Dosa.
Nyawa itu milik Tuhan, Beliau yang mengatur. Dan itu berarti jika seseorang
menghilangkan nyawa orang lain, maka orang tersebut sudah ikut campur kerja si
Maha Pencipta. Betapa sombong dan takaburnya manusia yang meletakkan tangannya
ke dalam urusan Tuhan, ke dalam urusan nyawa. Namun bagaimana jika pekerjaan
‘meniru’ Tuhan itu memang ada – bukan hanya ada, sekaligus juga dianggap mulia?
Para dokter menyembuhkan orang-orang yang sakit, on the other hand,
banyak juga tidak mampu mereka selamatkan. Apakah mereka, para dokter, musti
bertanggungjawab atas kegagalan mereka? Apakah mereka harus diberikan
konsekuensi? Apakah yang mereka gagal lakukan, adalah sebuah tindak pembunuhan?
The Killing of a Sacred Deer mengeksplorasi tentang
konsekuensi dan keadilan, dan film ini menggalinya dari tempat yang tak
terduga. Rumah sakit putih berkilat adalah panggung yang berdarah di film ini.
Dan kita sebagai penonton, akan terperangkap di sana. Dibuatnya sedemikian rupa
sehingga kita tidak tahu lagi mana jawaban yang memuaskan. Kadang frustasi juga
menonton ini karena tokoh film ini begitu pandai mendem emosi, sangat subtil,
walaupun ada kejadian menyeramkan yang menyelimuti mereka.
Sedari permulaan, film ini sudah aneh banget. Collin
Farrel yang brewokan berperan sebagai dokter bedah yang diam-diam
bertemu dengan cowok yang masih berusia enambelas tahun. Martin namanya. Dokter
Steven mengajak Martin makan di luar, jalan-jalan, membelikan remaja itu jam
tangan anti-air yang harganya selangit. Ketika ditanyai oleh kolega, Steven
mengatakan bahwa Martin adalah teman sekelas putrinya. Padahal enggak. Kita
tahu Martin belum pernah bertemu dengan keluarga Steven; istri yang juga dokter
handal, putri yang baru nginjak usia remaja, dan putra yang rambutnya gondrong,
mereka enggak tahu ayah mereka diam-diam pergi menemui Martin. Hmm ada apa ini?
Aku tidak bisa menebak ini cerita tentang apa. Tapi semakin berjalan waktu,
lapisan cerita itu semakin membuka, kita dibelokkan berkali-kali oleh
pengungkapan yang semakin sinister, hingga sampailah kita melihat keluarga
harmonis itu dirundung masalah yang tak mampu dijelaskan oleh otak-otak jenius
Steven dan istrinya. Anak-anak mereka kejatuhan penyakit aneh!
dokter tangannya bagus, tulisan tangannya yang jelek
Dari yang tadinya perasaan iba berubah menjadi ketakutan. Dari
yang tadinya sopan, kehadiran Martin yang tak diundang menjadi sebentuk
ancaman. Sutradara Yorgos Lanthimos dengan sangat hati-hati ngecraft ritme dan
tutur penceritaan, membuat kita tetap tertarik Desain musik dan suara yang
dipakai sepanjang film sukses berat menghasilkan atmosfer yang creepy.
Kamera yang menangkap pemandangan-pemandangan simetris-but-not-really, menciptakan
sensasi ketimpangan yang secara tersirat memperkuat konflik pada tema
keseimbangan, dan kita tahu keseimbangan adalah sesuatu yang ingin dicapai oleh
cerita. Akan ada banyak orang yang enggak sanggup menyelesaikan menonton
film ini lantaran beberapa adegan memang sangat menantang moral kita, enggak semua
yang dihadirkan di sini politically correct. Tokoh-tokoh di sini
akan mengatakan atau melakukan sesuatu yang bakal bikin kita gak nyaman, lantas
kita tertawa. Seperti ketika putri Dokter Steven berkata kepada adiknya yang
enggak bisa berdiri “kalo kamu mati, musik player kamu buat aku ya,
plisss”. Yang paling gebleg terang saja adalah adegan menjelang terakhir
yang involving senapan, penutup wajah, dan duct tape.
If anything, film ini mau bilang bahwa karma itu ada. Senyata
hukum aksi dan reaksi pelajaran fisika. Jika kita berbuat kejahatan, maka
kejahatan itu akan balik menimpa kita. Membenarkan perkataan Mahatma Gandhi
“mata dibalas mata hanya akan membuat seluruh dunia buta”, film ini punya
sistem penyeimbangan neraca sendiri. Jika seseorang membunuh, dia menghilangkan
nyawa orang, maka pembalasn dari tindakannya bukanlah keluarga si pembunuh
balas dibunuh oleh keluarga korban. Melainkan si pembunuh harus membunuh
keluarganya sendiri. Dengan cara demikian, yang berdosa tetap satu orang
sehingga keadilan tertinggi bisa tercapai tanpa harus membawa banyak orang ke
lembah kejahatan.
Perjalanan tokoh Steven akan membuat kita balik mengantagoniskan
dirinya, meski kita tahu kesusahan yang ia lewati. Kita kasihan tapi kita juga
geram kepada dirinya yang tidak mengambil tindakan yang benar. Untungnya film
ini diberkahi oleh beragam penampilan yang hebat, enggak sebatas berada di
pundak Farrel dan Nicole Kidmansaja. Aktor-aktor muda juga bermain
dengan sangat meyakinkan. Setiap anggota ditulis dengan matang, ada build
up yang diberikan terhadap mereka. Sehingga ketika hal menjadi ruwet
di dalam lingkaran mereka, kita turut merasakan kecamuk yang bergelora di balik
tenangnya mereka. It’s heartbreaking melihat Steven pada
akhirnya harus memilih; Ketika dia menyadari kenapa putra bungsunya yang selama
ini sedikit gak-nurut mendadak mengubah cita-cita menjadi sesuai dengan
kehendak dirinya; Pandangan matanya conflicted banget, dia gak
yakin yang mereka lakukan benar, juga tersirat keraguan, sebab kalian tahu,
jika kita berkorban, maka korbankanlah yang terbaik yang kita
punya.
Film ini adalah adaptasi bebas dari mitologi dewa-dewi Yunani,
yang actually sempat disebukan di dalam narasi. Kisah tentang
Raja Agamemnon yang sudah membunuh salah satu rusa kesayangan Artemis, sehingga
Dewi Pemburu itu marah dan meminta Agammemnon untuk mengorbankan putrinya. Film
ini memang tidak pernah serta merta bilang Steven adalah Agamemnon, ataupun
bahwa Martin adalah Artemis, tapi jelas sekali film ini menyuarakan hal yang
sama. Jangan lakukan kepada orang lain hal yang tidak mau kau lakukan kepada
diri sendiri.
Akan tetapi, tidak seperti Mother! (2017) yang menceritakan kembali kisah di Kitab Suci
dengan cerita sendiri dan actually punya tujuan, glaring
with symbolisms sehingga kita tahu ceritanya sudah pasti tidak berada
di dunia logika, The Killing of a Sacred Deer adalah film gagasan yang
benar-benar vague. Ceritanya terlihat bertempat di dunia biasa, namun kita
mendapat hal mengerikan – gaib kalo boleh dibilang – dan film ini tidak
memberikan penjelasan, misalnya penjelasan penyakit apa yang menjangkiti
keluarga Steven. Atau bagaimana Martin tampak bisa mengontrol penyakit
tersebut. Dan menurutku ini menjadi kelemahan sebab mengurangi kesan real. Kita
sudah sengaja dibuat sedikit terdeatch demi menyampaikan kengerian, dan
ditambah dengan kejadian seputar penyakit, film ini semakin terasa jauh. Aku
pikir, The Lobster tahun 2016 lalu yang juga digarap
oleh Lanthimos masih lebih terasa relatable padahal ceritanya
tentang masa depan di mana semua orang bisa berubah menjadi binatang.
Sesungguhnya semua orang pasti ada saja keanehannya. Kenormalan
adalah hal yang amat langka bagi film ini, makanya jika kalian juga punya
kelainan, yakni suka nonton film-film aneh dan berani, film ini tentu adalah
pilihan yang rugi untuk dilewatkan. Karena penceritaannya yang begitu
menantang. Mengerikan, menyedihkan, bikin geram, tak pelak film ini bakal bikin
kita merenung setelah menontonnya. Membuat kita berpikir ulang mengenai apa itu
keadilan yang sebenarnya.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE KILLING OF A SACRED DEER.
0 komentar:
Posting Komentar