Oleh : Muhamad Nur Hamid Hidayatullah
Kedua mataku “mendelek” di kerumunan sepi di dalam kamar
kos. Entah apa yang harus aku lakukan lagi, aku sudah capek. Aku ingin
menyerah. Usahaku selama ini, selama dua tahun tidak membuahkan hasil. Kupandangai
kembali deretan tulisan email yang ditujukan kepadaku. Hembusan nafasku seolah
isyarat bahwa diriku sudah sampai pada ujung jalan. Tidak ada jalan lagi.
Ibarat lalat kehabisan tenaga karena terbang kesana kemari tapi belum juga
menemukan jalan melarikan diri dari penjara jendela.
Tepatnya tiga-tiga bulan yang lalu aku menyelesaikan dua
naskah terjemahan kitab kuning kemudian dikirim ke dua redaksi yang berbeda. aku
diberitahu kalau naskah itu akan diseleksi terlebih dahulu kelayakan
penerbitannya. Aku diminta menunggu sampai tiga bulan. Dalam hatiku, saat itu,
sangat bahagia, setidaknya satu langkah sudah aku jalani. Dan aku terlalu yakin
bahwa naskahku akan ketermia. Melihat aku sudah ditolak selama dua tahun, mulai
dari artikel, opini hingga cerpen. Aku pikir aku sudah kenyang dengan kepahitan
itu. Tentu, secara otomatis kemampuan menulisku sudah terasa dong. Pikirku
dulu. Tapi sampai detik ini, hasilnya tetap sama; aku sebagai orang yang tidak
dianggap keberadaannya meski aku sudah berusaha keras membuktikan diriku.
Lantas timbul pertanyaan: siapa yang salah? Aku? Mereka
menolakku karena tidak tahu usaha yang aku lakukan selama ini. Mereka? Entah.
Suatu malam minggu, aku bersama kedua temenku sedang
menikmati kopi di kafe deket kos-kosan kami. Kami dalam satu minggu
menjadwalkan untuk berkumpul, ngopi bareng, diskusi bareng – diskusi tentang
apapun. Apalagi kami bertiga memiliki hobi yang sama yaitu menulis. Kedua
sahabatku ini sudah pada sukses. Tapi mereka tidak menulis untuk media cetak.
Mereka menulis di media sosial; blog, UceNews, dan lain-lain aku tidak tahu
pasti. Menurutku mereka sudah sukses. Setiap menulis mereka mendapatkan uang.
Belum lagi perbulan mendapat gajian dari iklan yang ada di blog mereka.
Jujur saja. Aku merasa iri dengan mereka berdua. Sebab
hanya aku yang belum sukses dalam dunia tulis-menulis. Dan hanya aku yang
tulisannya paling banyak tapi tidak bermutu. Kalau mereka sedikit tapi sangat
bermutu. Aku mengungkapkan segala kekesalanku, keputusasaanku kepada mereka.
Mereka duduk diam memandangi aku yang sedang curhat. bukan curhat sih, lebih
tepatnya ngomel. Ya. Ngomelin mereka yang menganggap tulisanku tidak layak
dibaca masyarakat umum.
Aku pandangi mereka satu persatu. Melihat mereka sedikit
kegalauanku hilang sirna. Lucu sekaligus jijik. Haha. Mereka berdua mukanya
kucel. Entah berapa kali mereka mandi. Aku tidak pernah tanya sejauh itu.
Rambut gondong bergelombang diikat belakang memperkuat eksistensi mereka
sebagai seorang penulis dan pemikir. Cuma yang satu “ndakek” rokok. Namanya
Budi – biasanya kami memanggilnya Kisut. Sehari bisa habis tidak pack rokok.
Katanya kalau tidak ngisep gulungan kertas putih idenya mampet di saluran
otaknya. Sebagai seorang penulis, tentu itu merupakan bencara yang terbesar
yang menerjang hidupnya. Terutama ketika dia sedang menulis, berdiskusi atau
merenung hukumnya wajib sebatang rokok nyelip di jarinya.
Sedangkan yang satu namanya Saipul. Dia juga memiliki
nama panggilan yang unik, Gareng. Entah maknanya apa aku sendiri tidak tahu.
Tapi perawakannya memang pantas disandingkan dengan Gareng, gemuk. dia tidak
suka merokok tapi diganti ngemil. Kalau
sudah ngemil bisa habis 50 ribu sekali duduk. Bobotnya sekarang sudah mencapai
87 Kilo. Padahal dua minggu yang lalu dia menimbang bobotnya di puskesmas
bobotnya Cuma 83 kilo. Kebayangkan nambahnya berapa dan secepatnya apa?
“Sudahlah, Yat. Nulis saja di blog. Lebih enak dan bebas.
Kamu bisa leluasa meluangkan segala pemikiranmu,” ucap Saipul setelah
mendengarkan curhatanku.
“Iya, bener itu. Nulis saja di blog. Kami juga sering
menulis di blog. Lebih enak dan nyaman. Masalah honor jangan ditanyakan.
Buktinya nanti kita akan di teraktik sama Kisut,” Gareng menambahi pendapat
Kisut.
Kisut menoleh ke arah Gareng dengan mulut menganga. “Lho
kok iso bawa-bawa aku itu lho. Yang baru bayaran kan kamu,” protesnya tidak
terima kalau uangnya nanti harus keluar.
Aku tertawa terbahak melihat tingkah mereka berdua. Dua
sahabatku ini memang unik dan perhatian. Buktinya saat ini mereka mau dengan senang
hati mendengarkan ocehanku. Mereka tidak akan pelit cerita untuk memberi motivasi
atau saran bagaimana aku harus melangkah ke depannya. Ya, meski sering juga
mereka memperlakukan aku dengan cara yang tidak manusiawi. Apalagi kalau aku
ulang tahun. Mereka tidak akan segan-segan menguras uang-uangku di dompet. Aku
Cuma disisakan limaribu rupiah. Itupun yang sobek. Giliran mereka yang ulang
tahun, sudah hilang begitu saja dari kos. Bau ampeknya saja tidak tercium
hidungku.
“tapi aku tidak tahu soal blog,” kataku sambil meneguk
kopi.
“Gampang. Nanti kami ajari sampai kamu dapat iklan, biar
dapat uang,” ucap Gareng.
“Terimakasih banyak, ya. Kalian memang sahabat
terbaikku.”
“Tapi semuanya tidak ada yang gratis, Yat,” ucap mereka
kompak.
Aku memundurkan badanku. Bersandar di kursi. Hanya satu
kata yang keluar dari mulutku, “jangkrik!”. Mereka malah tertawa
terbahak-bahak.
***
Suara rintikan grimis di luar kamar membingkai dingin
masuk lewat celah jendela. Tetesan airnya mengkristal di kaca jendela. Suaranya
yang sayup-sayup justru terdengar menyejukkan di telinga. Terkadang kilapan
cahaya di langit gelap muncul disusul suara guntur menggetarkan kaca jendela
kamarku. Tapi aku seolah tidak perduli dengan mereka yang sibuk menemaniku.
Tanganku sibuk memenceti tombol laptopku. Mataku mengawasi setiap huruf yang
keluar berurutan di layar. Sementara otakku berputar-putar mencari kata-kata
yang pernah aku hafalkan dari kecil hingga segede ini.
Aku melanjutkan cerpenku yang belum selesai. Deadline
minggu depan harus sudah aku kirim ke redaksi. Entah keterima atau tidak itu
urusan belakang. Yang penting aku harus melakukan apa yang seharusnya aku
lakukan. Aku tidak boleh menyerah. Hitung-hitung aku mengumpulkan modal karya
untuk masa depanku. Okay, saat ini tulisanku tidak ada gunanya. Tapi aku
yakin suatu saat pasti ada gunanya, pikirku menenangkan gejolak bimbang
dalam hatiku. Sampai saat ini aku sudah mengantongi dua ratus lebih cerpen.
Satu cerpennya biasanya ada 15 halaman. Kalau dikumpulkan jadi buku kebayangkan
seberapa tebalnya.
Aku melihat jam di HP. Ternyata aku sudah menghabiskan 2
jam duduk di meja kerja sehabis shalat maghrib tadi. Aku juga menunggu kedua
sahabatku yang mau menginap di kosku. Sekalian membantuku membuat blog. Aku
berencana memasukkan semua cerpenku ke blog-ku nanti supaya bisa langsung
mendaftar iklan. Aku tidak bisa menunggu lama lagi. Aku takut tidak bisa makan
lagi kalau tidak ada jalan ikhtiyar lagi. Aku sudah tidak meminta uang ke orang
tua lagi. Aku tidak mau memberatkan mereka. Aku harus mandiri mencari penghidupan
di sini. Ya, meskipun aku harus menangis setiap hari meratapi nasib yang serba
susah.
Suara gerimis sudah tidak terdengar lagi. Mungkin capek
karena tidak aku anggap. Tapi sisa dinginnya masih terasa di telapak tanganku.
Aku menoleh ke arah jendela. Langit tampak gelap gulita. Tidak ada satu titik
kecil bercahaya di atas sana. Aku membusungkan dada. Rasanya lega setelah
berjam-jam membungkuk berhadapan dengan layar laptop.
Aku ingin merebahkan tubuhku di atas lantai. Namun belum
juga punggungku menempel lantai, pintuku diketuk seseorang. Aku memiringkan
tubuhku sambil mendongakkan kepala ke arah pintu. Dua orang “hilang” berdiri di
pintu dengan senyum yang setiap hari aku lihat. Ya, Kisut dan Gareng. Mereka
melepaskan sandal mereka sebelum masuk menghampiriku yang duduk memandangi
mereka.
“Sudah sampai mana nulisnya, Yat?” tanya Gareng.
Tangannya meraih laptopku di atas meja.
“Belum selesai, Reng. Klimak satu saja belum selesai,”
jawabku.
“Kamu itu kalau nulis terlalu banyak konflik. Makanya
hidupmu juga banyak konflik. Haha..” sahut Kisut menertawakan aku.
Aku tersenyum. Memang aku akui kalau cerpen yang aku
garap pasti ruwet kebanyakan konflik. Tapi bukan bermaksut mendoakan hidupku
sama ruwetnya dengan cerpenku. Aku hanya suka saja membawa pembaca muter-muter
dengan masalah yang aku buat. Biar pusing. Kalau sudah pusing berarti dia
berfikir. (Tertawalah meski dipaksakan).
“Ngomong-ngomong, bagaimana dengan blog-ku?” tanyaku
menatap mereka berdua.
“Iya ini lagi aku buatkan,” kata Gareng. Pandangannya tidak
bisa lepas dari laptopku. “Email-mu apa?” tanya kemudian mendongak ke arahku.
Setelah selesai mengisi kolom-kolom yang ada di website
blogger, Gareng mengembalikan laptop kepadaku. Aku membalik layar laptopku
menghadap mukaku. Aku melihat tampilan blog-ku. Simpel tapi sangat elegan. Tapi
aku bingung cara nulis di blog-ku bagaimana. Gareng menggeser duduknya sejajar
denganku. Dia memberikan arahan bagaimana caranya menulis, mengupload, melihat
stistiknya sampai cara mengedit tampilan blog agar lebiih menarik lagi.
Aku baru tahu ternyata sangat muda menggunakan blog. Dan
yang paling membuatku senang adalah aku bisa menulis apapun di blog-ku ini.
Bahkan aku bisa menulis konten negatif sekalipun. Tapi aku tidak ingin beramal
jariyah dengan barang jelek. Aku tidak mau mendapatkan dosa lantaran orang lain
mengikuti kejelekanku. Seorang penulis sejatinya adalah orang yang selalu
beramal jariyah. Makanya dirinya harus hati-hati. Dia harus sadar betul jarinya
sedang mengetik apa.
Kisut meraih gitar yang tersandar di pojok kamar. Aku
mulai mencari lagu yang enak dinyanyikan untuk mengobati penat habis memutar
otak melahirkan karya. Tidak berapa lama, Kisut sudah duduk di samping Gareng.
Dia membenahi posisi gitar di pangkuannya. Setelah merasa nyaman, jari-jemarinya
siap memetik sinarnya. Urat-urat leher Gareng tampak menegang. Matanya terpejam
mencoba menghayati suara terbaiknya. Dia terlalu maksa menyanyi. Terlalu tinggi
tadi mengambil nada. Suaranya bukan terdengar berat dan berisi, malah kayak
suara curut kejepit pintu.
Memenangkan hatiku
bukanlah satu hal yang mudah
kau berhasil membuat
ku tak bisa hidup tanpamu...
***
Hari Selasa.
Pagi ini aku ada kelas statistik pendidikan jam 08.45.
jadi aku tidak boleh tdur habis shalat subuh. Kalau aku tidur bisa-bisa jam satu
siang aku baru bangun. Aku sudah dua kali tidak masuk kelas ini. Artinya
tinggal satu nyawa lagi. Kalau kali ini aku tidak berangkat, aku tidak akan
bisa ikut UAS. Aku tidak mau mengulang tahun depan. Aku pengen lulus cepat.
Kalau tidak cepat ya paling tidak lulus cepat waktu.
Setelah mandi dan memperindah penampilan dengan baju
kemeja biru lengan panjang dan celana Pencil hitam, aku berangkat ke kampus
dengan motor antikku. Aku lari menaiki tiga lantai. Aku terlambat sepuluh
menit. Kalau melebihi 15 menit aku dianggap tidak masuk kelas. Dan sekali lagi,
aku akan ngulang tahun depan. Namun, setelah aku sampai di depan pintu, aku
menghela nafas lega. Tanganku terasa terjuntai lemas. Ruang kelas masih kosong.
Dosennya belum hadir, hanya ada beberapa anak di sana. Aku terselamaatkan. Katanya
temen sekelasku, kelasnya memang libur. Bapaknya lagi pergi ke Belanda,
katanya sebelum pulang.
Aku tidak langsung balik ke kosan. Aku duduk di bawah
tangga lantai satu. Aku ingin menghabiskan jatah kuota yang diberi UIN Sunan
Kalijaga. Sayang sekali kan kalau tidak dimanfaatkan. Aku mulai membuka YouTube.
Aku ingin cari inspirasi dari seorang penulis supaya aku lebih greget lagi
menulis.
Deratan video muncul di layar HP-ku. Jariku bergerak ke
atas dan bawah mencari video yang kelihatannya menarik untuk ditonton. Setelah
malihat-lihat daftar video dari atas sampai bawah, mataku terpaku pada video
salah satu acara TV. Di samping videonya tertulis “Cara Menulis Gila”. Jari
telumjukku ku sentuhkan pada tulisan itu. Aku melihat pojok kiri atas di HP-ku.
Lingkarang kecil berputar-putar lumayan lama sampai muncul video yang
menampilkan anak kecil sedang duduk dan sang pembawa acara mengajukkan beberapa
pertanyaan kepada anak tersebut.
Rupanya anak itu adalah seorang penulis buku. Sudah ada
lima buku yang dia tulis. Padahal dia masih duduk di bangku kelas 2 SMP. Aku
mulai terhina dengan anak kecil itu. Aku kalah dari anak itu, dengan usiaku
yang lebih tua darinya tapi satu bukupun belum aku buat. Jangankan buku, satu
cerpen saja belum ada yang dimuat di redaksi manapun. Aku menyimak betul
apa-apa dia sampaikan. Terutama ketika dia menyinggung masalah penerbitan di
redaksi.
“Kalau kita menulis di redaksi, kita harus siap-siap
mengikuti karakter mereka. Artinya tulisan kita harus rela di modif berdasarkan
keinginan mereka bukan keinginan kita lagi. Makanya tidak heran jika beberapa
artikel ditolak karena tidak memenuhi syarat yang mereka tetapkan,” ucapnya.
“Oleh karena itu, saya membuat tempat percetakan dan
penerbit buku sendiri. Sehingga saya bisa leluasa menuangkan ide-ide saya.
Tidak perlu takut lagi ide yang sudah susah payah kita pikirkan baik buruknya
tidak akan sampai kepada pembaca,”imbuhnya.
Menonton video itu membuatku tergugah dari tidur
panjangku. Ternyata benar yang dua sahabatku bilang, dengan membuat tempat
untuk tulisan kita sendiri, kita bisa berkarya sebanyak dan sebaik mungkin. Lalat
yang terbang ke sana ke mari ternyata sudah menemukan jalan keluarnya. Dia
tidak akan lagi merasa ketakutan di dalam rumah. Dia bisa pergi bebas menghirup
udara segar di angkasa sampai nanti dia benar-benar hilang termakan oleh
ide-idenya sendiri.
baca juga:
baca juga:
0 komentar:
Posting Komentar