About


Get this widget:

Selasa, 27 Maret 2018

MUJAHID BLOG

Oleh : Muhamad Nur Hamid Hidayatullah


Kedua mataku “mendelek” di kerumunan sepi di dalam kamar kos. Entah apa yang harus aku lakukan lagi, aku sudah capek. Aku ingin menyerah. Usahaku selama ini, selama dua tahun tidak membuahkan hasil. Kupandangai kembali deretan tulisan email yang ditujukan kepadaku. Hembusan nafasku seolah isyarat bahwa diriku sudah sampai pada ujung jalan. Tidak ada jalan lagi. Ibarat lalat kehabisan tenaga karena terbang kesana kemari tapi belum juga menemukan jalan melarikan diri dari penjara jendela.
Tepatnya tiga-tiga bulan yang lalu aku menyelesaikan dua naskah terjemahan kitab kuning kemudian dikirim ke dua redaksi yang berbeda. aku diberitahu kalau naskah itu akan diseleksi terlebih dahulu kelayakan penerbitannya. Aku diminta menunggu sampai tiga bulan. Dalam hatiku, saat itu, sangat bahagia, setidaknya satu langkah sudah aku jalani. Dan aku terlalu yakin bahwa naskahku akan ketermia. Melihat aku sudah ditolak selama dua tahun, mulai dari artikel, opini hingga cerpen. Aku pikir aku sudah kenyang dengan kepahitan itu. Tentu, secara otomatis kemampuan menulisku sudah terasa dong. Pikirku dulu. Tapi sampai detik ini, hasilnya tetap sama; aku sebagai orang yang tidak dianggap keberadaannya meski aku sudah berusaha keras membuktikan diriku.
Lantas timbul pertanyaan: siapa yang salah? Aku? Mereka menolakku karena tidak tahu usaha yang aku lakukan selama ini. Mereka? Entah.
Suatu malam minggu, aku bersama kedua temenku sedang menikmati kopi di kafe deket kos-kosan kami. Kami dalam satu minggu menjadwalkan untuk berkumpul, ngopi bareng, diskusi bareng – diskusi tentang apapun. Apalagi kami bertiga memiliki hobi yang sama yaitu menulis. Kedua sahabatku ini sudah pada sukses. Tapi mereka tidak menulis untuk media cetak. Mereka menulis di media sosial; blog, UceNews, dan lain-lain aku tidak tahu pasti. Menurutku mereka sudah sukses. Setiap menulis mereka mendapatkan uang. Belum lagi perbulan mendapat gajian dari iklan yang ada di blog mereka.
Jujur saja. Aku merasa iri dengan mereka berdua. Sebab hanya aku yang belum sukses dalam dunia tulis-menulis. Dan hanya aku yang tulisannya paling banyak tapi tidak bermutu. Kalau mereka sedikit tapi sangat bermutu. Aku mengungkapkan segala kekesalanku, keputusasaanku kepada mereka. Mereka duduk diam memandangi aku yang sedang curhat. bukan curhat sih, lebih tepatnya ngomel. Ya. Ngomelin mereka yang menganggap tulisanku tidak layak dibaca masyarakat umum.
Aku pandangi mereka satu persatu. Melihat mereka sedikit kegalauanku hilang sirna. Lucu sekaligus jijik. Haha. Mereka berdua mukanya kucel. Entah berapa kali mereka mandi. Aku tidak pernah tanya sejauh itu. Rambut gondong bergelombang diikat belakang memperkuat eksistensi mereka sebagai seorang penulis dan pemikir. Cuma yang satu “ndakek” rokok. Namanya Budi – biasanya kami memanggilnya Kisut. Sehari bisa habis tidak pack rokok. Katanya kalau tidak ngisep gulungan kertas putih idenya mampet di saluran otaknya. Sebagai seorang penulis, tentu itu merupakan bencara yang terbesar yang menerjang hidupnya. Terutama ketika dia sedang menulis, berdiskusi atau merenung hukumnya wajib sebatang rokok nyelip di jarinya.
Sedangkan yang satu namanya Saipul. Dia juga memiliki nama panggilan yang unik, Gareng. Entah maknanya apa aku sendiri tidak tahu. Tapi perawakannya memang pantas disandingkan dengan Gareng, gemuk. dia tidak suka  merokok tapi diganti ngemil. Kalau sudah ngemil bisa habis 50 ribu sekali duduk. Bobotnya sekarang sudah mencapai 87 Kilo. Padahal dua minggu yang lalu dia menimbang bobotnya di puskesmas bobotnya Cuma 83 kilo. Kebayangkan nambahnya berapa dan secepatnya apa?
“Sudahlah, Yat. Nulis saja di blog. Lebih enak dan bebas. Kamu bisa leluasa meluangkan segala pemikiranmu,” ucap Saipul setelah mendengarkan curhatanku.
“Iya, bener itu. Nulis saja di blog. Kami juga sering menulis di blog. Lebih enak dan nyaman. Masalah honor jangan ditanyakan. Buktinya nanti kita akan di teraktik sama Kisut,” Gareng menambahi pendapat Kisut.
Kisut menoleh ke arah Gareng dengan mulut menganga. “Lho kok iso bawa-bawa aku itu lho. Yang baru bayaran kan kamu,” protesnya tidak terima kalau uangnya nanti harus keluar.
Aku tertawa terbahak melihat tingkah mereka berdua. Dua sahabatku ini memang unik dan perhatian. Buktinya saat ini mereka mau dengan senang hati mendengarkan ocehanku. Mereka tidak akan pelit cerita untuk memberi motivasi atau saran bagaimana aku harus melangkah ke depannya. Ya, meski sering juga mereka memperlakukan aku dengan cara yang tidak manusiawi. Apalagi kalau aku ulang tahun. Mereka tidak akan segan-segan menguras uang-uangku di dompet. Aku Cuma disisakan limaribu rupiah. Itupun yang sobek. Giliran mereka yang ulang tahun, sudah hilang begitu saja dari kos. Bau ampeknya saja tidak tercium hidungku.
“tapi aku tidak tahu soal blog,” kataku sambil meneguk kopi.
“Gampang. Nanti kami ajari sampai kamu dapat iklan, biar dapat uang,” ucap Gareng.
“Terimakasih banyak, ya. Kalian memang sahabat terbaikku.”
“Tapi semuanya tidak ada yang gratis, Yat,” ucap mereka kompak.
Aku memundurkan badanku. Bersandar di kursi. Hanya satu kata yang keluar dari mulutku, “jangkrik!”. Mereka malah tertawa terbahak-bahak.
***
Suara rintikan grimis di luar kamar membingkai dingin masuk lewat celah jendela. Tetesan airnya mengkristal di kaca jendela. Suaranya yang sayup-sayup justru terdengar menyejukkan di telinga. Terkadang kilapan cahaya di langit gelap muncul disusul suara guntur menggetarkan kaca jendela kamarku. Tapi aku seolah tidak perduli dengan mereka yang sibuk menemaniku. Tanganku sibuk memenceti tombol laptopku. Mataku mengawasi setiap huruf yang keluar berurutan di layar. Sementara otakku berputar-putar mencari kata-kata yang pernah aku hafalkan dari kecil hingga segede ini.
Aku melanjutkan cerpenku yang belum selesai. Deadline minggu depan harus sudah aku kirim ke redaksi. Entah keterima atau tidak itu urusan belakang. Yang penting aku harus melakukan apa yang seharusnya aku lakukan. Aku tidak boleh menyerah. Hitung-hitung aku mengumpulkan modal karya untuk masa depanku. Okay, saat ini tulisanku tidak ada gunanya. Tapi aku yakin suatu saat pasti ada gunanya, pikirku menenangkan gejolak bimbang dalam hatiku. Sampai saat ini aku sudah mengantongi dua ratus lebih cerpen. Satu cerpennya biasanya ada 15 halaman. Kalau dikumpulkan jadi buku kebayangkan seberapa tebalnya.
Aku melihat jam di HP. Ternyata aku sudah menghabiskan 2 jam duduk di meja kerja sehabis shalat maghrib tadi. Aku juga menunggu kedua sahabatku yang mau menginap di kosku. Sekalian membantuku membuat blog. Aku berencana memasukkan semua cerpenku ke blog-ku nanti supaya bisa langsung mendaftar iklan. Aku tidak bisa menunggu lama lagi. Aku takut tidak bisa makan lagi kalau tidak ada jalan ikhtiyar lagi. Aku sudah tidak meminta uang ke orang tua lagi. Aku tidak mau memberatkan mereka. Aku harus mandiri mencari penghidupan di sini. Ya, meskipun aku harus menangis setiap hari meratapi nasib yang serba susah.
Suara gerimis sudah tidak terdengar lagi. Mungkin capek karena tidak aku anggap. Tapi sisa dinginnya masih terasa di telapak tanganku. Aku menoleh ke arah jendela. Langit tampak gelap gulita. Tidak ada satu titik kecil bercahaya di atas sana. Aku membusungkan dada. Rasanya lega setelah berjam-jam membungkuk berhadapan dengan layar laptop.
Aku ingin merebahkan tubuhku di atas lantai. Namun belum juga punggungku menempel lantai, pintuku diketuk seseorang. Aku memiringkan tubuhku sambil mendongakkan kepala ke arah pintu. Dua orang “hilang” berdiri di pintu dengan senyum yang setiap hari aku lihat. Ya, Kisut dan Gareng. Mereka melepaskan sandal mereka sebelum masuk menghampiriku yang duduk memandangi mereka.
“Sudah sampai mana nulisnya, Yat?” tanya Gareng. Tangannya meraih laptopku di atas meja.
“Belum selesai, Reng. Klimak satu saja belum selesai,” jawabku.
“Kamu itu kalau nulis terlalu banyak konflik. Makanya hidupmu juga banyak konflik. Haha..” sahut Kisut menertawakan aku.
Aku tersenyum. Memang aku akui kalau cerpen yang aku garap pasti ruwet kebanyakan konflik. Tapi bukan bermaksut mendoakan hidupku sama ruwetnya dengan cerpenku. Aku hanya suka saja membawa pembaca muter-muter dengan masalah yang aku buat. Biar pusing. Kalau sudah pusing berarti dia berfikir. (Tertawalah meski dipaksakan).
“Ngomong-ngomong, bagaimana dengan blog-ku?” tanyaku menatap mereka berdua.
“Iya ini lagi aku buatkan,” kata Gareng. Pandangannya tidak bisa lepas dari laptopku. “Email-mu apa?” tanya kemudian mendongak ke arahku.
Setelah selesai mengisi kolom-kolom yang ada di website blogger, Gareng mengembalikan laptop kepadaku. Aku membalik layar laptopku menghadap mukaku. Aku melihat tampilan blog-ku. Simpel tapi sangat elegan. Tapi aku bingung cara nulis di blog-ku bagaimana. Gareng menggeser duduknya sejajar denganku. Dia memberikan arahan bagaimana caranya menulis, mengupload, melihat stistiknya sampai cara mengedit tampilan blog agar lebiih menarik lagi.
Aku baru tahu ternyata sangat muda menggunakan blog. Dan yang paling membuatku senang adalah aku bisa menulis apapun di blog-ku ini. Bahkan aku bisa menulis konten negatif sekalipun. Tapi aku tidak ingin beramal jariyah dengan barang jelek. Aku tidak mau mendapatkan dosa lantaran orang lain mengikuti kejelekanku. Seorang penulis sejatinya adalah orang yang selalu beramal jariyah. Makanya dirinya harus hati-hati. Dia harus sadar betul jarinya sedang mengetik apa.
Kisut meraih gitar yang tersandar di pojok kamar. Aku mulai mencari lagu yang enak dinyanyikan untuk mengobati penat habis memutar otak melahirkan karya. Tidak berapa lama, Kisut sudah duduk di samping Gareng. Dia membenahi posisi gitar di pangkuannya. Setelah merasa nyaman, jari-jemarinya siap memetik sinarnya. Urat-urat leher Gareng tampak menegang. Matanya terpejam mencoba menghayati suara terbaiknya. Dia terlalu maksa menyanyi. Terlalu tinggi tadi mengambil nada. Suaranya bukan terdengar berat dan berisi, malah kayak suara curut kejepit pintu.
Memenangkan hatiku
bukanlah satu hal yang mudah
kau berhasil membuat
ku tak bisa hidup tanpamu...
***
Hari Selasa.
Pagi ini aku ada kelas statistik pendidikan jam 08.45. jadi aku tidak boleh tdur habis shalat subuh. Kalau aku tidur bisa-bisa jam satu siang aku baru bangun. Aku sudah dua kali tidak masuk kelas ini. Artinya tinggal satu nyawa lagi. Kalau kali ini aku tidak berangkat, aku tidak akan bisa ikut UAS. Aku tidak mau mengulang tahun depan. Aku pengen lulus cepat. Kalau tidak cepat ya paling tidak lulus cepat waktu.
Setelah mandi dan memperindah penampilan dengan baju kemeja biru lengan panjang dan celana Pencil hitam, aku berangkat ke kampus dengan motor antikku. Aku lari menaiki tiga lantai. Aku terlambat sepuluh menit. Kalau melebihi 15 menit aku dianggap tidak masuk kelas. Dan sekali lagi, aku akan ngulang tahun depan. Namun, setelah aku sampai di depan pintu, aku menghela nafas lega. Tanganku terasa terjuntai lemas. Ruang kelas masih kosong. Dosennya belum hadir, hanya ada beberapa anak di sana. Aku terselamaatkan. Katanya temen sekelasku, kelasnya memang libur. Bapaknya lagi pergi ke Belanda, katanya sebelum pulang.
Aku tidak langsung balik ke kosan. Aku duduk di bawah tangga lantai satu. Aku ingin menghabiskan jatah kuota yang diberi UIN Sunan Kalijaga. Sayang sekali kan kalau tidak dimanfaatkan. Aku mulai membuka YouTube. Aku ingin cari inspirasi dari seorang penulis supaya aku lebih greget lagi menulis.
Deratan video muncul di layar HP-ku. Jariku bergerak ke atas dan bawah mencari video yang kelihatannya menarik untuk ditonton. Setelah malihat-lihat daftar video dari atas sampai bawah, mataku terpaku pada video salah satu acara TV. Di samping videonya tertulis “Cara Menulis Gila”. Jari telumjukku ku sentuhkan pada tulisan itu. Aku melihat pojok kiri atas di HP-ku. Lingkarang kecil berputar-putar lumayan lama sampai muncul video yang menampilkan anak kecil sedang duduk dan sang pembawa acara mengajukkan beberapa pertanyaan kepada anak tersebut.
Rupanya anak itu adalah seorang penulis buku. Sudah ada lima buku yang dia tulis. Padahal dia masih duduk di bangku kelas 2 SMP. Aku mulai terhina dengan anak kecil itu. Aku kalah dari anak itu, dengan usiaku yang lebih tua darinya tapi satu bukupun belum aku buat. Jangankan buku, satu cerpen saja belum ada yang dimuat di redaksi manapun. Aku menyimak betul apa-apa dia sampaikan. Terutama ketika dia menyinggung masalah penerbitan di redaksi.
“Kalau kita menulis di redaksi, kita harus siap-siap mengikuti karakter mereka. Artinya tulisan kita harus rela di modif berdasarkan keinginan mereka bukan keinginan kita lagi. Makanya tidak heran jika beberapa artikel ditolak karena tidak memenuhi syarat yang mereka tetapkan,” ucapnya.
“Oleh karena itu, saya membuat tempat percetakan dan penerbit buku sendiri. Sehingga saya bisa leluasa menuangkan ide-ide saya. Tidak perlu takut lagi ide yang sudah susah payah kita pikirkan baik buruknya tidak akan sampai kepada pembaca,”imbuhnya.
Menonton video itu membuatku tergugah dari tidur panjangku. Ternyata benar yang dua sahabatku bilang, dengan membuat tempat untuk tulisan kita sendiri, kita bisa berkarya sebanyak dan sebaik mungkin. Lalat yang terbang ke sana ke mari ternyata sudah menemukan jalan keluarnya. Dia tidak akan lagi merasa ketakutan di dalam rumah. Dia bisa pergi bebas menghirup udara segar di angkasa sampai nanti dia benar-benar hilang termakan oleh ide-idenya sendiri.

baca juga:

0 komentar:

Posting Komentar