Oleh : Muhamad Nur Hamid Hidayatullah
Bangku kecil ini menopang tubuhku dengan kokoh,
membiarkan aku semakin larut tenggelam pada satu hal yang paling mengerikan.
Satu hal yang dulu sangat aku perjuangkan namun harus berhenti di tengah karena
malas yang menyandra segala kemampuanku. Ya, tahu lah, apa yang paling
mengerikan dan sekaligus bikin malas mahasiswa akhir kalau bukan skripsi.
Apalagi dosennya susah ditemui dan mempersulit mahasiswanya. Udara segar pagi ini
semakin membawaku kabur dengan embun yang tersisa. Aku menghela nafas. Ah,
segar sekali, batinku.
Emak-emak berjalan di depan kosku. Di antara mereka
kebanyakan membawa tas besar. Aku sudah bisa menebak kemana mereka hendak
pergi. Ada satu hal aneh bagiku hidup di Yogyakarta. Toko-toko di sini bukannya
lumayan siang, sekitar jam 9-an. Sangat jauh jika dibandingkan dengan di
desaku, pagi-pagi buta semua toko sudah buka dan siap menerima calon
pelanggannya. Entah, ada masalah apa disini. Sehingga kadang aku merasa jengkel
sendiri ketika kebutuhan mendesak saat pagi, dan ternyata toko masih tutup.
Tiba-tiba kursi yang aku duduki terasa sedikit bergetar.
Tanganku sangat merasakan getaranku. Aku menoleh ke bawah. HP-ku menyala. Ada
satu pesan WA masuk di Smartphone-ku. Setelah kubuka, ternyata dari
Nurul, kekasihku. Dia ingin mengajakku berkeliling mencari buku untuk bahan
tambahan referensi skripsinya. Entah dia sudah sampai bab berapa, aku belum
menanyakannya dan aku malas menanyakan hal itu.
Andrian, kamu sibuk tidak?
Aku minta tolong kamu
temenin aku ya, buat nyari buku tambahan skripsiku.
Pesan yang ditulis Nurul.
Jari-jariku dengan cepat memencet tombol layar sentuh,
mengetik jawaban singkat untuk Nurul.
Kapan, Rul?
Tidak perlu menunggu lama, pesan Nurul masuk. Jam 11.00
AM aku harus menjemputnya di kontrakannya. Sebenarnya dia punya motor. Cuma
kalau mau jalan berdua pasti cowok yang harus modal. Bensin, uang, tenaga,
waktu adalah hal yang sering melayang ketika sedang jalan-jalan sama pacar.
Kemudian aku bergegas menuju kamar mandi, membersihkan
tubuhku sebersih mungkin dan sewangi mungkin. Ada satu hal keburukan yang harus
aku utarakan di sini. Semoga tidak ada orang yang mengikuti jejakku. Aku mandi
kalau mau jalan sama Nurul saja. Selain itu aku paling males yang namanya pergi
ke kamar mandi bawa handuk. Biasanya mandi sekali hari. Bahkan pernah satu hari
tidak mandi sama sekali. Ingat, ya. Jangan ditiru! Biar aku saja yang busuk.
Kalian tidak perlu merepotkan diri membusuk.
***
Aku duduk di atas motor Super Cup-ku, menunggu
Nurul. Aku sudah memberitahunya kalau aku sudah sampai di depan kontrakannya.
Memang lama menunggu cewek. Mereka harus dandan sampai satu jaman. Aku menoleh
ke belakang lalu ke depan mengikuti mobil yang sliweran di jalan. Aku merasa seperti
orang hilang lama-lama. Tanganku berulang kali memegang setang motor lalu
melepaskannya. Kakiku juga aku getarkan. Tanda aku cemas. Aku paling tidak suka
dengan yang namanya menunggu seperti ini. Hanya bikin was-was hati dan bikin
orang seperti tidak punya arah tujuan.
Aku menoleh ke kotrakan bercatkan cream dengan
pintu dan jendela yang laburi warna coklat. Di depan gerbang berjejer pot-pot
bungan warna-warni membuat aura kontrakan itu terlihat mahal. Dari kejauhan
mataku terpaku pada seorang gadis mengenakan kerudung orange dan baju putih.
Terlihat sumringah. Ditambah lagi senyumnya yang diapit lesung pipinya
membuatku makin gila.
“Maaf, ya, membuatmu menunggu lama,” ucapnya mengambil
helm dari tanganku.
Aku memamerkan senyum paling indah yang aku punya. “Tidak
apa-apa, Nurul,” kataku.
Dia melangkah ke dan duduk di belakangku. Aku menarik gas
motorku melaju menuju toko buku yang biasanya Nurul singgahi. Sekitar 10 menit
kita sampai di tempat tujuan. Aku memparkirkan sepeda motorku di halaman depan
toko. Seorang tukang parkir lengkap dengan baju seragam kebanggaan dengan ramah
menungguiku sampai aku selesai memarkirkan motor. Aku menyunggingkan senyuman
ke arahnya sebelum masuk ke dalam. Dia pun membalas senyumanku.
Buku bertumpukan rapi di rak-rak dan meja. Dari yang
tipis hingga yang berhalaman tebal berjilid. Banyak orang yang sibuk memilih
buku mereka. Banyak dari mereka yang membaca sekilas buku yang hendak mereka
beli. Mataku tertuju seorang bapak-bapak yang sedang menikmati bukunya sambil
berdiri di pojok. Seorang pemuda juga sedang duduk di depan tumpukan buku tebal
sedangkan di tangannya ada satu buku. Matanya dengan tajam bergerak dari kanan
ke kiri mengikuti arah tulisan. Sungguh pemandangan yang paling aku sukai
ketika semua orang sibuk dengan ilmu.
Aku mengekor di belakang Nurul. Aku lihat dia juga tidak
kalah asik membaca buku-bukunya. Tangannya dengan cepat membolak balik halaman
per halaman. Cahaya lampu yang terang membantu mataku mengeja tulisan yang
sedang Nurul baca. Ternyata dia sedang membaca tentang teori Kimia. Entahlah.
Mendengar nama itu saja aku sudah merasa mual, apalagi membaca beribu-ribu
teorinya. Aku Cuma ingat dulu aku disuruh berdiri di depan kelas karena tidak
hafal masalah perkembangan sistem periodik unsur. Pengalaman itu tidak bisa aku
lepaskan dari ingatanku. Karena itu adalah jalanku mencari alasan untuk
membenarkan bahwa aku bukan orang yang menggunakan otak kiri.
***
Setelah bermenit-menit berkeliling kesana kemari, Nurul
akhirnya mendapatkan buku yang pas untuk menambal kelemahan teori skripsinya.
Aku merasa lega. Karena aku bisa istirahat duduk di kafe kecil samping toko
buku. Aku memutar kepalaku, mengamati sekeliling. Banyak muda-mudi sedang duduk
dan mengobrol bersama. Tertawa mereka juga silih berganti memekak ruangan yang
didesain se-muda mungkin. Ada coretan-coretan warna warni di dinding.
Coretan-coretan itu menurutku sih biasa saja. Bahkan anak kecil pun bisa
membuatnya. Bukan sombong. Tapi memang seperti itu kenyataannya.
Aku memesan dua kopi hitam. Satu untukku dan satu untuk
Nurul. Kopiku lebih pahit dari pada punya Nurul. Aku sangat suka kopi yang
pahit. Tidak pahit-pahit amat sih. Kopi yang pahit lebih cocok untuk otakku
yang sering seret. Butuh pelumas untuk melancarkan ide-ide yang tersembunyi.
Terutama ketika sedang menulis, harus ada secangkir kopi hitam yang menemaniku.
Kalau tidak, maka tamatlah riwayatku, tidak dapat honor dari koran. Sumber
penghidupanku di Jogja ya dari tulis menulis.
“Kamu kapan selesai?” tanya Nurul membuka pembicaraan.
Aku menelan kopiku. “Selesai apa?” tanyaku bingung.
“Skripsimu. Sudah sampai bab berapa?”
Aduh. Lagi-lagi skripsi. Jujur, aku paling malas ditanya
soal skripsi. Okey, aku memang suka menulis. Tapi aku tidak suka menulis
skripsi. Kalau kamu tanya kenapa, aku juga tidak tahu kenapa. Mungkin karena
dosennya yang susah ditemui bahkan seringkali memperlambat penyelesaian skripsi
mahasiswanya. Aku pikir hal itu sudah jadi rahasia umum.
“Kapan selesai?” Nurul mengulangi pertanyaannya.
“Aku mau bab dua. Hehe,” jawabku sambil cengengesan.
“Dari dulu?!” dia kaget.
Siap-siap diomeli nih, batinku. Aku tidak memberikan
jawaban kecuali hanya senyuman. Aku menatap matanya. Ada semacam perasaan marah
dan kecewa disana. Nurul menghela nafas sambil menurunkan kedua ujung bibirnya.
Menyadari hal itu, aku buru-buru minta maaf dan meyakinkan dirinya kalau aku
akan segera menyelesaikannya. Tapi, yang aku dengar bukan ucapan semangat. Aku
menundukkan pandanganku. Menghela nafas sedalam mungkin. Aku tidak percaya
dengan apa yang dia utarakan. Dia memperingatkan aku, lebih tepatnya
mengancamku.
“Aku sudah mengingatkan kamu dari dulu. Kalau kamu memang
cinta sama aku, kamu harus menyelesaikan skripsimu secepatnya. Kita tidak
mungkin bersama kalau salah satu di antara kita masih ada yang kuliah. Orang
tuaku tidak akan setuju, Ndri,” ucapnya.
“Kamu harus sukses dulu, Ndri. Buktikan ke orang tuaku
kalau kamu bisa sukses,” ucapnya lagi.
Sementara aku masih terdiam. banyak pertanyaan secara
tiba-tiba sesak memenuhi otakku. Kita tidak akan bersama kalau salah
satu dari kita masih kuliah. Artinya aku tidak direstui bersama Nurul kalau
aku belum lulus kuliah. Aku harus sukses dulu. Dengan kata lain, aku harus
kerja dan kaya untuk menjalin hubungan dengannya.
Aku memandangi wajahnya. Senyumnya terukir lengkap dengan
lesung pipinya. Aku juga tersenyum kepadanya. Aku mengangguk kepadanya,
mengiyakan persyaratannya itu. Entah apa aku bisa atau tidak mengejar wisudanya
yang bulan depan, Maret. Setidaknya mengiyakannya bisa meyakinkan dirinya kalau
aku sungguh-sungguh mencintainya.
“Balik, yuk,” ajaknya setelah minuman yang ada di
tangannya habis tinggal potongan es batu bening nan dingin.
“Ayuk,” kataku sedikit lemas gara-gara tadi.
Kami bangkit dari kursi. Kami sudah membayar minuman kami
saat memesannya. Suasanya masih ramai seperti saat pertama kali kami masuk. Aku
mengamati ada yang bergerombol, tertawa bareng. Dan ada juga yang duduk
sendirian mengetik atau memandangi laptopnya.
Aku mengangkat tangan kananku. Menoleh ke jam yang
melingkar di pergelangan tangan. Pukul menujukkan 2.15 PM. Berarti sekitar tiga
jam lebih aku menemaninya jalan. Aku pikir kali ini lebih cepat dari biasanya.
Dulu aku sering menemaninya jalan ke toko buku, toko baju, toko make-up
sampai seharian. Mulai dari satu toko ke toko yang lain. Di situlah gunanya
cowok, menjadi tempat bagi si cewek. Tapi banyak juga perjuangan cowok yang
menghabiskan waktunya, tenaganya bahkan uang menjadi sia-sia. Awalnya begitu
mesrah, setiap waktu ingin selalu dihabiskan bersama. Segalanya akan diberikan.
Namun, di akhirnya malah berpisah. Padahal karena masalah sepele.
Untuk saat ini pertanyaanku adalah Apa aku akan seperti
itu?
Nurul melambaikan tangan kepadaku sebeleum masuk ke dalam
kontrakan. Aku kembali ke kosku. Aku masih teringat dengan ucapannya tadi. Apa
aku bisa mengejar dirinya? Sedangkan jarak skripsi terpaut jauh darinya. Aku
berusaha meyakinkan diriku bahwa aku bisa. Apa sih yang tidak bisa di dunia
ini. Satu hal yang mustahil di dunia ini, yaitu makan kepala sendiri,
batinku.
Dan hal mengerikan yang pernah aku bayangkan, kali ini
benar-benar terjadi. Sampai detik ini aku belum menulis apa-apa. Tetap mandek
di bab dua. Perasaan malas masih menjalari tubuhku. Sebenarnya keingin untuk
selesai itu ada, tapi raga ini rasanya susah dan berat diajak berangkat ke
perpustakaan kampus. Padahal jaraknya dekat, hanya butuh waktu 15 menit untuk
sampai di kampus. Sampai suatu ketika aku benar-benar harus memaksa jasadku
beranjak ke perpustakaan. Mencari buku yang diperlukan untuk memperkuat
argumentasi skripsiku.
Sejak pertama kali menginjakkan kaki di lantai
perpustakaan, aku menjadi ketagihan ke sana. Ternyata tidak seangker dan
sesulit yang kubayangkan. Menulis skripsi sama asiknya dengan menulis sebuah
cerita. Dalam satu minggu aku bisa pergi ke perpustakaan sampai empat kali.
Sehingga satu minggu sebelum acara wisuda Nurul, aku bisa menyelesaikan bab dua
dan separuh bab tiga.
Akhir-akhir ini aku jarang sekali mengirim pesan dengan
Nurul. Sejujurnya aku kangen. Tapi dia tidak mau menemuiku kalau belum menyelesaikan
skripsiku. Kadang aku mikir setega itu dia mendorongku agar aku sukses? Aku
juga butuh kasih sayang supaya terus melangkah jauh. Kalau seperti ini terus
lama-lama aku juga bete. Aku ingin dia ada selama aku berjuang mengetik
berhalaman-halaman. Aku ingin dia menatapku ketika aku sedang pusing-pusingnya
membaca buku. Bahkan aku ingin dia ada di sampingku meski sekedar bertanya
“istirahat sebentar saja. Nanti lanjut lagi”. Namun kenyataan berkata lain, dia
tidak ada.
Aku mencoba menelponnya. Aku tempelkan HP-ku ke telinga.
Suara dering terdengar lirih. Panggilanku sudah masuk. Tapi belum, mungkin
tidak, dia angkat. Aku bersabar menunggu sampai nada dering kehabisan suaranya.
Tetap tidak diangkat. Aku mencoba menelponnya sekali lagi. Hasilnya tetap saja
tidak diangkat. Mungkin sibuk, batinku.
Aku duduk di depan teras kos. Biasa, menikmati
pemandangan orang jalan lalu lalang di depanku. Aku menoleh ke tetangga
sebelah. Pintu kamarnya tertutup. Siang tadi aku dengar dari dalam kamar mereka
akan pergi bersama ke gunung Bromo. Salah satu cewek, yang paling cerewer
mengingatkan teman-temannya untuk bersiap-siap.
“Ayu, kita siap-siap berangkat. Awas barang bawaan jangan
sampai ada yang lupa,” ucap cewek cerewet tadi.
Gerombolan anak kecil berkumpul di tanah lapang depan
kos. Melihat mereka bercanda ria, berlarian memungut kelereng yang disentul,
menghipnotisku untuk menghampirinya. Aku melihat ada gambar segita tidak
beraturan di atas tanah. Di dalam garisnya ada beberapa kelereng warna warni
tersusun zigzag. Aku tahu betul cara mainnya bagaimana. Sebab dulu waktu kecil
aku sering sekali memainkannya. Tak jarang taruahan, yang menang berhak
memiliki kelereng lawan. Aku tersenyum melihat tingkah mereka. Teriak-teriak
tidak terima dirinya dicurangi temannya sendiri.
Memang indah masa kecil ini...
***
Aku membuka dompetku. Melihat isinya bikin hati ngenes. Mau
beliin kado apa buat Nurul besok kalau uangnya tinggal tiga lembar coklat,
alias limabelas ribu. Emang ada kado bagus yang harganya segitu? Kado permen paling.
Aku menghempaskan dompetku beserta tubuhku ke kasur. Mataku menatap langit,
siapa tahu aku menemukan ide perihal kado. Apa aku harus tanya Nurul mau kado
apa? Tapi kalau tanya itu bukan kado namanya. Atau aku jujur sama dia kalau aku
lagi melarat? Nanti dikira tidak niat membelikan hadiah untuk pacarnya.
Ah. Bingung.
Kebingunganku makin akut karena sampai larut malam begini
Nurul belum ngasih kabar apapun. Seharian tidak ada satupun pesan darinya masuk
ke HP-Ku. Sesibuk itukah dirinya sampai satu detik untuk nulis tanda titik
untukku saja tidak bisa? Lagi-lagi aku hanya bisa menghela nafas. Karena aku
sadar, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku selalu memandangi layar HP. Siapa
tahu tiba-tiba nanti berdering menyambung pesanmu. Satu menit, dua menit, duapuluh
menit sampai aku tidak sadarkan diri, pesanmu tak kunjung datang mengobati rasa
sakit di dalam hatiku.
***
Mataku lekat menatap layar lebar di samping gedung acara
wisuda. Aku sampai tidak memperdulikan sekelilingku. Suara berisik berjubel
jadi satu di sini tidak mempan merubuhkan ketulianku. Ya, saking bahagianya aku
melihat dirimu duduk di dalam sana, Rul. Seragammu sungguh cantik. Yang kamu
pakai itu sesuai banget dengan warna favoritmu, orange.
Aku melihat senyum-senyum yang terukir di wajah mereka.
Tentu makna senyuman itu tergantung siapa yang menafsiri. Jika yang menafsiri
seperti aku, mahasiswa lama, senyuman itu adalah penghinaan. Haha. Tapi, maaf,
aku tidak akan terpengaruh dengan ejekanmu. Sebab sekarang aku punya satu
senyuman yang menyimpan seribu motivasi untukku terus melangkah. Tidak
ketinggalan lesung pipinya semakin menenggelamkan aku ke dalam imajinasi paling
tinggi. Lesung itu adalah perwakilan gambaran betapa dalamnya cintaku padanya.
Video rekaman di layar lebar itu kemudian pindah ke arah
para orang tua wisudawan. Mereka juga tidak kalah bahagia dengan anak-anaknya.
Pasti mereka bangga sekali. Mungkin itu yang akan dirasakan orang tuaku saat
aku diwisuda kelak. Kelak? Kapan itu? Aku belum tahu. Aku masih berjuang
menyelesaikannya.
“Oh, iya, dari tadi aku belum melihat orang tua Nurul,”
ucapku lirih.
Mataku mulai sibuk mencari-cari dimana kedua orang tua
Nurul duduk. Setiap kali kamera diarahkan ke tempat orang tua, mataku langsung
dengan cepat memandangi wajah para orang tua. Itu aku lakukan cukup lama sampai
aku lupa untuk memperhatikan Nurul. Dan bodohnya aku, ternyata aku barru ingat
kalau selama ini, aku belum dipertemukan kepada orang tuanya. Boro-boro
bertemu, lihat dari jauh saja tidak pernah. Bahkan kenal namanya saja tidak.
Nurul tidak mau cerita soal ini. Tebakanku sih, mungkin dia takut aku
guna-guna.
Satu jam lebih sudah berlalu. Akhirnya acaranya kelar.
Wisudawan wisudawati berdiri dan berhamburan. Saling mengobrol, tersenyum,
tertawa. Aku tahu apa yang mereka katakan. “Wah selamat ya”, “habis ini mau
lanjut kemana?”. Ya, seperti itu kiranya pertanyaannya. Kemudian terdengar
suara dari belakang bertanya kepadaku. Tapi pertanyaan ini lain. Pertanyaan
yang membuatku mual.
“Kapan wisuda, Ndri?”
Aku menoleh ke belakang. Seorang cewek tinggi kurus
berdiri di belakangku sambil tersenyum. Cewek yang kuliahnya lebih parah dari
aku. Dia masih banyak mata kuliah yang mengulang. Padahal dia satu tingkat di
atasku. Dulu, ketika kita satu kelas mata kuliah Sejarah Pendidikan, dia sempat
bilang kepadaku, “untuk apa kuliah cepat-cepat? Apa keilmuan kita bisa
dipertanggungjawabkan hanya dalam waktu sesingkat itu? Kalau misal lulus
tercepat mau ngapain? Mau nganggur? Dan banyak mahasiswa lulus tercepat yang
nganggur kan?”, katanya. Aku mengiyakan saja. Aku tidak bisa menyalahkan
pemikiran dia. Sebab kasus yang dihadapi setiap orang berbeda. Yang penting dia
bertanggung jawab dengan pilihannya itu.
Tapi ada satu ucapannya yang menyentak sisi lain dari
diriku. Dia bilang “kami anak organisasi kenapa lulusnya lama bukan karena
malas. Tapi karena kami merasa bahwa keilmuan yang kami miliki belum cukup
untuk diluluskan. Kami harus terus menggali pengetahuan. Dan itu tidak bisa
hanya di kampus. Kita harus keluar dari dinding ini, mencari yang kurang dari
sini”.
Benar juga kupikir. Selama kuliah kegiatan dalam kelas
Cuma itu-itu saja; diskusi, presentasi, diterangkan. Dan ironisnya, mahasiswa
sebelum masuk kelas, dia belum siap dengan bahan-bahan yang akan didiskusikan.
Mau diakui atau tidak, itu kenyataannya. Sehingga forum diskusi itu mati.
Makanya, mereka yang memiliki jiwa “bebas” beranggapan harus berkelana keluar.
Okey, pada titik ini aku setuju. Tapi kalau masalah lulus lama aku kurang
setuju. Karena ketentuan kuliah itu harus lulus tepat waktu atau lebih cepat.
Dengan lulus tercepat itu dapat membuktikan bahwa dirinya disiplin, cepat
tanggap dan mampu bersaing. Untuk masalah kualitas keilmuan itu tanggungjawab
pribadinya. Apa dia mau terus belajar apa tidak.
Aku tertawa saja mendengar pertanyaan yang dia lontarkan.
“terus kamu kapan wisuda, Put?” aku bertanya kembali.
Putri, mahasiswi tua – mungkin umurnya sudah ribuan
tahun. LOL! – tertawa terbahak-bahak dan menabok pundakku. Aku meringis
merasakan panas menjalar dari pundak menuju otakku. Kemudian kami mengobrol
bareng sambil aku menunggu Nurul keluar dari gedung. Putri juga sedang menunggu
pacarnya yang wisuda duluan. Jalanan penuh sesak oleh manusia. Mereka sibuk
mencari seseorang yang akan diberi ucapan selamat. Ada yang sampai diangkat dan
dilempar-lempar ke atas. Senyum bahagia mereka terlihat jelas sekali. Kecuali
diriku.
Aku masih mencari Nurul. Aku juga ingin mengucapkan
selamat secara langsung. Kotak kado yang ada ditanganku juga sudah tidak sabar
dibuka oleh tangannya yang putih mungil. Aku sudah nge-chat dirinya.
Tapi tidak dibalas. Cuma dibaca saja. Mungkin dia masih kecewa sama aku. Aku
menoleh ke kana dan ke kiri. Berjalan di antara ratusan tubuh yang berlalu
lalang, meneriakkan nama kebanggan masing-masing.
Sampai pada akhirnya aku melihat Nurul. Dia sedang
berdiri mengobrol dengan teman-temannya. Aku melangkah menghampirinya. Dia
menoleh ke arahku. Senyum bahagia yang tadinya mengembang di bibirnya, kini
menguncup setelah melihatku. Omongannya pun tidak sedekat kemarin-kemarin. Sekarang
dia cuek, agak menutup diri dariku.
Aku tidak akan mempermasalahkan digitukan dia. Meskipun
aku juga merasa sakit. Aku akan menahan rasa sakit ini. Aku kesini Cuma untuk
memberi ucapan selamat dan kado ini untuk dia. Mau dianggap atau tidak aku
tidak terlalu memikirkan itu. Aku Cuma ingin menunjukkan ke dia kalau aku tulus
mencintai dia. Sebokek apapun aku usahan bisa membeli kado yang pantas untuk
dia. Bahkan jika posisi dia di aku, aku akan tetap mencintai dirinya tanpa
menuntut apapun.
Setelah memberi ucapan salam dan kado, aku langsung pamit
pulang. Aku tidak mau merusak momen bahagianya. Aku juga mau langsung tidur.
Aku tidak mau kepikiran dan merasakan sakit di hatiku. Sesampainya di kos aku
langsung tidur. Sebelum tidur aku sempat menulis pesan untuk Nurul. Mungkin
dengan satu kata itu, Nurul akan kembali seperti dulu, mencintaiku,
menyayangiku dan perhatian kepadaku.
Maaf...
***
Pagi ini rasanya sangat berbeda dengan pagi
sebelum-sebelumnya. Langit sangat cerah dengan kombinasi warna biru dan putih.
Angin pagi membelai pistilum yang baru saja terlahir dari kegelapan malam.
Sejuk. Suara-suara tetangga terdengar sayup namun merdu tidak kalah merdu
dengan kicauan burung-burung kecil menari di atas kabel listrik.
Ya, kali ini berbeda dengan pagi yang sudah-sudah. karena
pagi yang ada dalam hatiku masih terselubung kabut hitam. Gelap. Hingga aku
tidak bisa merasakan kehadiranku. Mendengar hembusan nafasku masih begitu
berat. Aku kacau. Semua kacau. Dua minggu pasca diwisudanya Nurul, dia tidak
lagi menghubungiku. Aku sebenarnya sudah tidak kuat dicampakkan seperti ini.
Aku hanya butuh dia meluangkan beberapa menitnya untuk menanyakan kabarku. Itu
saja. Tidak perlu ketemu juga tidak apa-apa.
Aku seperti orang gila memikirkan ini semua. Otakku
rasanya mau meletus memuntahkan lahar amarah yang panas merjang jarak yang
memisahkan aku dan dia dan menghanguskan pertanyaan kenapa aku harus kamu buat
begini? Aku juga sudah melaksanakan amanahmu untuk menyelesaikan skripsiku.
Meski belum selesai tapi kurang sedikit lagi aku akan menuntaskannya. Hanya
karena kamu ragu aku tidak bisa menyelesaikan ini, kamu buat aku semenderita
ini? Apa kamu tahu aku makan berapa kali sehari? Aku sudah bisa menebak
jawabanmu. Kamu akan menjawab tidak tahu. Ya, aku tahu itu, karena kamu tidak
pernah menanyakan kabarku. Atau soal berapa jam bahkan menit aku bisa tertidur?
Tepat waktukah aku shalat? Sudahkah aku olahraga? Kamu tidak akan tahu itu
semua. Yang jelas, hidupku sekarang berantakan tanpa kamu.
Aku membaringkan tubuhku di atas kasurku yang berantakan.
Aku malas bangun. Mataku menerawang ke langit-langit kamar. Entah, nanti aku
mau ngapain saja seharian, aku tidak tahu. Aku akan tiduran sepanjang hari,
mungkin. Aku miringkan tubuhku ke kanan. Nafasku mulai bisa aku dengar. Aku akan
merelakan nasibku. Aku harus menerimanya. Kamar kos yang aku tempati terasa
sunyi. Suara-suara sayup yang aku dengarkan tadi juga sudah membisu.
Kemudian HP yang aku genggam dari tadi bergetar sebentar.
Aku mengangkat HP-ku ke depan muka. Ada satu panggilan masuk dari Nurul. Ah,
rasanya seperti ada angin Topan menghantam pikiranku. Tidak sakit tapi
menyejukkan. Seluruh kekuatanku kembali bahkan lebih meningkat. Kemudian pesan
darinya masuk. dia mengajak aku bertemu di taman fakultas Saintek. Aku tidak sabar
ingin bertemu dengan dia. Aku ingin melepaskan ketidakjelasan hidupku dengan
meligat lesung pipinya yang tergarit abadi di wajahnya.
Tanpa ba-bi-bu, aku langsung bangkit menuju kamar mandi.
Busa sabun mandi mengembang di sekujur tubuhku. Aku harus terlihat ganteng
nanti, gumamku di tengah guyuran air. Aku melepeh air yang masuk ke dalam
mulutku. Tanganku bergerak maju mundur memegangi sikat gigi di mulutku. Aku
sikat seluruh bagian gigiku. Tidak ada bagian terkecil yang terlewatkan.
Kugerakkan sikatnya ke kana dan ke kiri, masuk ke sela-sela rahangku. Pasta
giginya tanpa sengaja tertelan sedikit. Rasanya enak dan segar. Haha. Gak
percaya? Silahkan coba sendiri. Tapi jangan satu botol pasta gigi kamu habisin.
Bisa dituntut nanti aku.
Setelah hampir satu jam aku mengahabiskan waktu di kamar
mandi, aku langsung memakai baju terbaikku; baju kemejan biru. Kemudian memakai
celana Pensil hitam. Tidak lupa sepatu warna putih – karena aku hanya punya
satu sepatu ini. Aku memandangi diriku sendiri yang ada di dalam cermin. Mulai
dari rambutnya, mata, bibir sampai ke bagian perut dan aku katakan kepadanya
“kamu memang ganteng, Ndri” sambil membenarkan kancing bagian atas.
Hawa di luar lumayan adem, meski matahari semakin naik
dan menyengat. Aku menoleh ke kamar sebelah kananku, kamarnya Yanto, mahasiswa
S2 Psikologi UGM. Pintu kamarnya terkunci tapi dua jendelanya terbuka.
Sandalnya juga ada di depan pintu. Jalanan terlihat sepi. Pepohonan di tanah
lapang depan kosku bergoyang seolah melambai kepadaku. Aku melangkah menuju
pohon itu, karena aku memarkirkan motorku di sana.
Aku pergi dengan motor kebanggaanku, motor yang aku beli
dari jerih payahku menulis di koran-koran. Aku tancap gasku lebih dalam supaya
motorku yang jalannya kaya bekecot, menjadi lebih cepat seperti Burok. Aku
tidak sabar lagi bertemu dengan Nurul. Sepanjang perjalanan aku selalu
membayangkan dirinya tersenyum dengan lesung pipinya yang indah menyambut
kedatanganku. Becak-becak, sepeda Unta dan pejalan kaki kusalip semua dengan
motoku. Kecuali mobil dan motor-motor keluaran era modern, aku tidak kuat
menyalip mereka. Sampai ngeden juga gak akan bisa. Kalau aku paksakan, aku
takut baut motorku akan lepas semua. LOL!
“Assalamu’alaikum, Rul,” salamku ketika sampai di taman
fakultas Saintek.
“Waalaikum salam,” jawabnya sambil mempersilahkan aku
duduk.
Aku duduk di depannya. Aku memandangi wajahnya. Tapi yang
kuharapkan selama perjalanan tadi salah. Tidak ada senyum apa lagi lesung pipi
di wajahnya. Aku mulai khawatir lagi. Aku memandangi lingkungan sekitar. Ada
beberapa mahasiswa dan mahasiswi sedang di kursi taman ditemani laptop
masing-masing.
“Aku belikan air minum, ya,” kataku memecahkan
kecanggungan kami berdua. Bokongku sudah terangkat. Aku berdiri.
Tapi dia menolak. Dia menggelengkan kepalanya.
Aku kembali duduk lagi dan menyunggingkan senyum.
“Andrian,” ucapnya memanggilku.
“Iya, Rul.”
“Aku mau ngomong serius sama kamu.”
Aku menyondongkan kepalaku sedikit ke depan, siap-siap
mendengarkan omongannya. “Silahkan, Rul,” kataku.
“Aku rasa kita tidak usah lagi melanjutkan hubungan ini,”
ucapnya membuatku tersentak.
“Kenapa?”
Hanya satu kata itu yang keluar dari mulutku. Bibirku
terasa kelu. Aku tidak habis pikir kalau semuanya akan jadi seperti ini.
Hubungan yang aku bina selama tiga tahun akan kandas. Dunia seperti menjauh.
Jarak kami pun mulai merenggang dalam pandangan mataku. Waktu seolah keluar
dari jalurnya lalu menabrak diriku hingga terpental. Aku mengernyitkan
keningku. Kepalaku mulai berat.
“Kenapa?” tanyaku lagi.
“Kita sudah tidak cocok, Ndri,” katanya membuang muka.
“Apanya yang tidak cocok, Rul? Ceritakan sama aku!” aku
memelas.
“Kamu tidak bisa melaksanakan apa yang aku katakan.”
“Soal skripsi itu?”
“Iya,” jawabnya singkat.
“Aku sudah melaksanakannya, Rul. Bab tiga kurang sedikit
lagi bab empat!”
“Tidak segampang itu kamu menyelesaikan satu bab, Ndri,”
matanya menatapku tajam. “Lagian orang tuaku tidak setuju sama hubungan ini,”
lanjutnya.
Aku sudah menduga dari awal. Alasannya pasti karena orang
tuanya. Memang perbedaan keluarga kami seperti sumur dan langit. Dia terlahir
dari keluarga kaya. Bapaknya adalah direktur utama perusahaan mutiara. Sedangkan
ibuku hanya seorang penjual sayuran di pasar. Bapakku sudah meninggal ketika
aku masih duduk di bangku MTs kelas dua.
“Kalau orang tuamu yang bilang, maka aku tidak bisa
apa-apa kecuali merelakanmu,” ucapku menahan air mata yang ingin tumpah. Aku berusaha
terlihat tegar. Aku menyunggingkan sisa senyuman termanis yang aku punya.
Dia hanya diam memandangku.
“Aku hanya bisa berdoa semoga engkau mendapatkan yang
terbaik, masa depanmu terbaik, pendidikanmu terbaik,” aku menundukkan
pandanganku. “Dan jangan lupa mendoakan aku juga,” lanjutku menatap wajahnya
dengan air mata yang sudah menetes di pipiku. Aku sudah tidak bisa
membendungnya. Aku tidak perduli akan dianggap laki-laki cengeng. Aku tidak
peduli. Karena air mata adalah bukti bahwa kamu, Nurul, ada dalam hatiku. Tapi saat
ini aku harus melepasmu demi kebahagiaanmu. Aku tidak akan menyalahkan apapun,
termasuk kamu. Ini juga salahku, kenapa tidak dari dulu aku menulis skripsiku
bersamamu. Kalau saja dari dulu, mungkin aku sudah wisuda bareng kamu.
Nurul bangkit dan pamit pulang. Aku mengangguk menatap
wajahnya. Nurul berbalik melangkah meninggalkan aku duduk sendirian di taman
ini. Taman ini akan menjadi saksi pertemuan sekaligus perpisahan kita. Aku memandangi
punggung Nurul yang semakin menjauh. Aku tidak mampu mengejarnya. Semua sudah
terjadi. Cinta yang masih utuh dalam jiwaku ini membuatku kuat untuk
mengikhlaskanmu.
Aku pulang dari kampus. Sepanjang perjalanan air mataku
tidak hentinya mengalir. Karena air mata itu, pipiku terasa dingin diterpa
angin. Di jalan raya tidak terlalu banyak mobil dan motor sehingga aku lebih
leluasa melampiaskan kesedihanku dengan menarik gasku sampai mentok. Ngebut. Meski
tidak bisa cepat. Tapi lumayan kalau bisa menyelip sepeda motor yang jalannya
pelan. Aku ingin berteriak! Aaaaaaaaaa!! Teriakku dalam hati. Aku tidak berani
teriak di jalanan. Nanti semua orang menganggapku gila.. begini saja aku sudah
tidak waras.
Sesampainya di kos aku langsung menjatuhkan tubuhkau di
atas kasur. Aku ingin tidur. Aku tidak mau ingat-ingat masalah tadi. Aku ingin
melupakannya dengan tidur. Dulu ibuku pernah bilang kalau aku sedang kena
masalah tenangkan dengan tidur. Bangun tidur terus mengambil wudlu untuk
melaksanakan shalat sunnah. “Mengadulah sepuasmu kepada Allah, Nang. Allah akan
dengan antusias mendengar curahan hatimu,” kata ibu dulu sebelum aku berangkat
ke Jogja.
Dengan sekuat tenaga aku menutup mataku, menenangkan
diriku, mengkosongkan pikiranku supaya aku bisa tidur. Meski begitu, kejadian
tadi masih sangat jelas tergambar di kepalaku. Aku menelusupkan wajahku
menghadap ke bawah, menempel kasur. Dua jam aku membaringkan tubuhku. Memejamkan
mataku. Tapi belum juga tidur. Minum obat tidur juga tidak mungkin, karena aku
tidak punya obat tidur. Akhirnya aku pasrah. Aku memejamkan mataku dengan
memori terpahit berkeliaran di dalam mataku yang gelap. Lama kelamaan ingatan
itu menghempaskan jauh ke bawah hingga aku tidak sadar diri. Aku terlelap.
“Ya Allah, kuatkan hamba-Mu ini,” doaku lima menit
sebelum aku terlena dinina-bobokan rasa sakitku sendiri.
TAMAT
mantap
BalasHapuslanjutkan