SANTRI GO
INTERNASTIONAL
oleh:
Must Hamieth
Santri adalah “makhluk
antik” ditengah-tengah era globalisasi, dengan their
look
yang khas. Mereka tidak tergerus dengan kemegahan fasilitas yang
disuguhkan oleh kemodernan. Mereka tetap pleasant
dengan sarungnya dari pada menggunakan celana Jeans
Pencil.
Bahkan Peci kusut pun masih mereka pertahankan walapun ada banyak
topi gaul yang dipromosikan orang.
Pola
pikir mereka pun sangat sederhana. Tidak meradang dengan keruwetan
politik negara ini, tidak ngiler
dengan
hingar bingar keramaian modernisasi di segala sektor. Mereka tekun
mempelajari agama; al-Quran, Hadist dan al-Fiyah-nya.
Namun
bukan berarti mereka orang yang tidak peduli dengan masyarakat. Saat
sudah waktunya nanti, mereka langsung terjun dan menjadi solutor bagi
problematika masyarakat.
Akan
tetapi dengan corak pemikiran Santri yang sederhana dan menutup diri
dari kemodernitas zaman, kebanyakan orang menganggap mereka adalah
kelompok yang tertinggal, tidak bisa menggikuti perkembangan zaman
dan kolot.
Oleh
karena itu, kita harus menepis anggapan semacam itu. Lantas
pertanyaannya, bagaimanakah santri seharusnya tampil di era modern?
Apakah tetap mempertahankan corak pemikiran awal mereka? Kedua
pertanyaan tersebut saya suguhkan disini supaya bisa mengantarkan
pemahaman kita bagaimana seharusnya “wujud” kaum sarungan modern.
Santri
hendaklah menjadi orang tanpa batas ruang dan waktu. Dalam artian,
pemikiran mereka harus melesat jauh melebihi zamannya, kalau bisa.
Jika tidak bisa, ya, berfikir sesuai kondisi zaman yang dihadapi.
Sebuah kewajiban bagi santri modern untuk berhijrah, melampui
lingkungannya.
Go
Internasional.
Kaum Sarungan diharapkan berani berbicara di kancang nasional,
lebih-lebih internasional. tentunya harus menguasai bahasa inggris –
bahasa dunia saat ini. Tidak melulu mengkaji literatur atau kitab
berbahasa arab gandul. Tegasnya, santri modern harus menguasai
bilingual.
Sehingga sepak terjangnya lebih luas. Ketika berbicara atau seminar
di kalangan santri menggunakan bahasa arab. Ketika presentasi di
forum internasional tidak glagapen
karena sudah bisa bahasa inggris.
Yudian
W. Asmin, dalam pengantar bukunya “Jihad
Ilmiyah dari Tremas ke Harvard,
berkomentar bahwa dia ingin berbicara kepada audien yang tidak pernah
tersentuh dengan kaum santri, yaitu tradisi Barat. Lebih lanjut
Beliau menuturkan kalau pesantren terlalu membanggakan kekuatannya,
yaitu kemampuan membaca kitab gundul, tapi hampir-hampir tidak mau
memperbaiki kelemahannya. (Asmin, 2009: XIX)
Ra’
adalah rooghibun
fil mandhub
artinya sepi dari mengharap imbalan tapi giat untuk bekerja. Mereka
berbuat bukan untuk mendapatkan imbalan yang banyak sebagaimana orang
bekerja mencari penghasilan. Namun mereka berbuat karena ingin
memberi yang terbaik bagi orang lain dan masyarakat luas. Mereka
sangat yakin bahwa kebaikan yang diberikan kepada orang lain,
hakekatnya adalah kebaikan untuk dirinya kelak di hari kiamat.
Mengingat falsafah julukan tersebut, Santri, seharusnya bekerja giat
mengembangkan potensi dirinya. Benar-benar ikhlas dalam menelurkan
karya fenomenal, tanpa mengenal lelah ataupun materi.
Oleh
karena itu, seorang santri modern harus bisa melenggang ke kancah
internasional dan corak berfikir ilmiyah, lebih-lebih mau melakukan
riset. tentunya tidak kehilangan jati dirinya sebagai santri yang
konsisten dengan ketaatan religius. Karena ketaatan beragama adalah
ruh seorang santri. Selanjutnya tinggal menerjemahkannya ke dalam
maha karya yang mendunia.
0 komentar:
Posting Komentar