About


Get this widget:

Senin, 24 Oktober 2016

SANTRI GO INTERNASTIONAL


SANTRI GO INTERNASTIONAL
oleh: Must Hamieth

Santri adalah “makhluk antik” ditengah-tengah era globalisasi, dengan their look yang khas. Mereka tidak tergerus dengan kemegahan fasilitas yang disuguhkan oleh kemodernan. Mereka tetap pleasant dengan sarungnya dari pada menggunakan celana Jeans Pencil. Bahkan Peci kusut pun masih mereka pertahankan walapun ada banyak topi gaul yang dipromosikan orang.
Pola pikir mereka pun sangat sederhana. Tidak meradang dengan keruwetan politik negara ini, tidak ngiler dengan hingar bingar keramaian modernisasi di segala sektor. Mereka tekun mempelajari agama; al-Quran, Hadist dan al-Fiyah-nya. Namun bukan berarti mereka orang yang tidak peduli dengan masyarakat. Saat sudah waktunya nanti, mereka langsung terjun dan menjadi solutor bagi problematika masyarakat.
Akan tetapi dengan corak pemikiran Santri yang sederhana dan menutup diri dari kemodernitas zaman, kebanyakan orang menganggap mereka adalah kelompok yang tertinggal, tidak bisa menggikuti perkembangan zaman dan kolot.
Oleh karena itu, kita harus menepis anggapan semacam itu. Lantas pertanyaannya, bagaimanakah santri seharusnya tampil di era modern? Apakah tetap mempertahankan corak pemikiran awal mereka? Kedua pertanyaan tersebut saya suguhkan disini supaya bisa mengantarkan pemahaman kita bagaimana seharusnya “wujud” kaum sarungan modern.
Santri hendaklah menjadi orang tanpa batas ruang dan waktu. Dalam artian, pemikiran mereka harus melesat jauh melebihi zamannya, kalau bisa. Jika tidak bisa, ya, berfikir sesuai kondisi zaman yang dihadapi. Sebuah kewajiban bagi santri modern untuk berhijrah, melampui lingkungannya.
Go Internasional. Kaum Sarungan diharapkan berani berbicara di kancang nasional, lebih-lebih internasional. tentunya harus menguasai bahasa inggris – bahasa dunia saat ini. Tidak melulu mengkaji literatur atau kitab berbahasa arab gandul. Tegasnya, santri modern harus menguasai bilingual. Sehingga sepak terjangnya lebih luas. Ketika berbicara atau seminar di kalangan santri menggunakan bahasa arab. Ketika presentasi di forum internasional tidak glagapen karena sudah bisa bahasa inggris.
Yudian W. Asmin, dalam pengantar bukunya “Jihad Ilmiyah dari Tremas ke Harvard, berkomentar bahwa dia ingin berbicara kepada audien yang tidak pernah tersentuh dengan kaum santri, yaitu tradisi Barat. Lebih lanjut Beliau menuturkan kalau pesantren terlalu membanggakan kekuatannya, yaitu kemampuan membaca kitab gundul, tapi hampir-hampir tidak mau memperbaiki kelemahannya. (Asmin, 2009: XIX)
Ra’ adalah rooghibun fil mandhub artinya sepi dari mengharap imbalan tapi giat untuk bekerja. Mereka berbuat bukan untuk mendapatkan imbalan yang banyak sebagaimana orang bekerja mencari penghasilan. Namun mereka berbuat karena ingin memberi yang terbaik bagi orang lain dan masyarakat luas. Mereka sangat yakin bahwa kebaikan yang diberikan kepada orang lain, hakekatnya adalah kebaikan untuk dirinya kelak di hari kiamat. Mengingat falsafah julukan tersebut, Santri, seharusnya bekerja giat mengembangkan potensi dirinya. Benar-benar ikhlas dalam menelurkan karya fenomenal, tanpa mengenal lelah ataupun materi.
Oleh karena itu, seorang santri modern harus bisa melenggang ke kancah internasional dan corak berfikir ilmiyah, lebih-lebih mau melakukan riset. tentunya tidak kehilangan jati dirinya sebagai santri yang konsisten dengan ketaatan religius. Karena ketaatan beragama adalah ruh seorang santri. Selanjutnya tinggal menerjemahkannya ke dalam maha karya yang mendunia.

0 komentar:

Posting Komentar