MACAM-MACAM AIR DALAM FIQIH ISLAM
Pada artikel yang saya tulis di bawah ini akan membahas Bab Air, sehubungan air adalah alat untuk melakukan Thoharoh (bersuci) di dalam Islam. Air jenis apa saja yang bisa digunakan untuk bersuci, dan air jenis apa yg tidak bisa digunakan untuk bersuci.
Ada perbedaan pendapat di dalamnya, oleh karena itu akan saya kupas semua perbedaan pendapat yang ada.
Tujuannya adalah agar kita bisa saling memahami dan memaklumi adanya perbedaan pendapat tersebut, yang pada akhirnya bisa tetap menjaga ukhwah antar sesame muslim dan mebuang segala bentuk sinisme serta permusuhan yang bisa mengakibatkan hilangnya rasa persaudaraan kita.
Keep ukhuwah, kick permusuhan antar sesama muslim..
Macam-macam air :
I. Air Mutlak.
Adalah air yang suci, tidak tercampur apapun di dalamnya, sehingga bisa digunakan untuk mensucikan. Seluruh ulama sepakat, bahwa air mutlak bisa digunakan untuk bersuci. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai hal tersebut. Apa saja yang disebut air mutlak ini..?
a. Air hujan, salju atau es, dan air embun, berdasarkan firman Allah Taala:
Dan diturunkan-Nya padamu hujan dari langit buat menyucikanmu.(Al-Anfal: 11)
Dan firman-Nya:
Dan Kami turunkan dan langit air yang suci lagi mensucikan. (Al-Furqan:48)
Juga berdasarkan hadits Abu Hurairah r.a. katanya:
Adalah Rasulullah saw. bila membaca takbir di dalam sembahyang diam sejenak sebelum membaca Al-Fatihah, maka saya tanyakan: Demi kedua orangtuaku wahai Rasulullah! Apakah kiranya yang Anda baca ketika berdiamkan diri di antara takbir dengan membaca Al-Fatihah? Rasulullah pun menjawab:
Saya membaca: Ya Allah, jauhkanlah daku dari dosa-dosaku sebagaimana Engkau inenjauhkan Timur dan Barat. Ya Allah bersihkanlah daku sebagaimana dibersihkannya kain yang putih dan kotoran. Ya Allah, sucikanlah daku dan kesalahan-kesalahanku dengan salju, air dan embun. (H.R. Jamaah kecuali Turmudzi)
b. Air laut, berdasarkan hadits Abu Hurairah r.a. katanya:
Seorang laki-laki menanyakan kepada Rasulullah, katanya: Ya Rasulullah, kami biasa berlayar di lautan dan hanya membawa air sedikit. Jika kami pakai air itu untuk berwudhuk, akibatnya kami akan kehausan, maka bolehkah. kami berwudhuk dengan air laut? Berkatalah Rasulullah saw.:
Laut itu airnya suci lagi mensucikan(2), dan bangkainya halal dimakan. (Diriwayatkan oleh Yang Berlima)
Berkata Turmudzi: Hadits ini hasan lagi shahih, dan ketika kutanyakan kepada Muhammad bin Ismail al-Bukhari tentang hadits ini, jawabnya ialah: Hadits itu shahih.
c. Air telaga, karena apa yang diriwayatkan dan Ali r.a.: Artinya:
Bahwa Rasulullah saw. meminta seember penuh dan air zamzam, lalu diminumnya sedikit dan dipakainya buat berwudhuk. (H.r. Ahmad)
d. Air yang berobah disebabkan lama tergenang atau tidak mengalir, atau disebabkan bercampur dengan apa yang menurut ghalibnya tak terpisah dari air seperti kiambang dan daun-daun kayu, maka menurut kesepakatan ulama, air itu tetap termasuk air mutlak. Alasan mengenai air semacam ini ialah bahwa setiap air yang dapat disebut air secara mutlak tanpa kait, boleh dipakai untuk bersuci. Firman Allah Taala:
Jika kamu tiada memperoleh air, maka bertayammumlah kamu! (Al-Maidah: 6)
II. Air Musta’mal
Air musta’mal adalah air yang sudah dipakai/digunakan. Perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan ulama terjadi saat menentukan apakah air musta’mal itu suci dan mensucikan ataukah suci tetapi tidak mensucikan muthohhir).
Dan perbedaan ini terjadi dikarenakan sudut pandang yang berbeda mengenai dalil yang ada, dan dalil tersebut juga sama2 shahih. Jadi, tidak perlu diperdebatkan dan diperuncing masalah perbedaan yang ada, yang penting sekarang adalah, menyikapi perbedaan yang ada dengan sikap yang arif, seperti para Imam Madzhab yg muktabar terdahulu menyikapi perbedaan pendapat di antara mereka.
Perbedaan pendapat (khilafiyah) yang ada mengenai “Air Musta’mal” adalah sebagai berikut :
a. Pendapat Yang Mengatakan Air Musta’mal adalahSuci Tetapi Tidak Mensucikan.
Dalil yang digunakan oleh ulama yang berpegang pada pendapat ini adalah :
Dari seorang sahabat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang wanita (istri) mandi dengan air bekas mandi laki-laki (suami), atau laki-laki (suami) mandi dengan air bekas mandi wanita (istri), dan hendaknya mereka berdua menciduk air bersama-sama.”
Dikeluarkan oleh Abu Dawud, An Nasa-i, dan sanad-sanadnya shahih.
Dalil di atas dengan jelas menggambarkan bahwa air bekas digunakan dilarang untuk digunakan bersuci.
“Janganlah seseorang dari kalian mandi di air yang diam (tidak mengalir), sedang ia dalam keadaan junub.”.
Ketika orang2 menanyakan : “Wahai Abu Huraeroh, lantas bagaimana ia harus berbuat,”. Beliau menjawab : “Dengan menceduk”.
Dari hadits di atas dapat diambil pengertian, bahwa mandi mencebur dalam air dapat menghilangkan sifat mensucikannya air itu sendiri.
b. Pendapat Yang Mengatakan Air Musta’mal adalah Suci dan Mensucikan.
Dalil yang digunakan oleh ulama yang berpegang pada pendapat ini adalah :
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu : “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi dengan air bekas mandinya Maimunah radiyallahu ‘anha. (HR. Muslim no. 323).
Oleh ashabus sunan, “sebagian istri-istri nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- (Maimunah) mandi di dalam bak. Lalu beliau datang untuk mandi dengan airnya. Lalu Maimunah berkata, “Saya sedang junub”, lalu beliau bersabda, “sesungguhnya air tidak tercemar oleh junub”.
Hadits tersebut menerangkan tentang bolehnya menggunakan air musta’mal untuk bersuci. Bagaimana hubungannya dengan hadits larangan mandi di air yang tidak mengalir dan hadits larangan mandi air bekas mandi sebelumnya..?!
untuk melakukan kompromi atas hadits-hadits tersebut di atas, maka ulama yang mendukung pendapat air musta’mal bisa digunakan untuk bersuci mengatakan bahwa “larangan” pada hadits yg berbicara tentang larangan mandi menggunakan air bekas mandi di atas adalah larangan tanzih (makruh), tidak sampai hukum “haram”. Karena hadits-hadits di atas sama-sama shahih, maka harus dikompromikan.
Berarti mandi dengan air bekas mandi sebaiknya tidak dilakukan jika masih bisa ditemukan air yang jauh lebih bersih. Tetapi, jika kondisi tidak memungkinkan, maka air bekas boleh digunakan untuk bersuci dan bisa mensucikan. Menurut ilmu kedokteran/kesehatan pun hal ini dilarang.
Selain itu larangan tersebut juga mengandung hikmah di dalamnya, yaitu kebersihan lebih diutamakan dalam melakukan thoharoh (bersuci).
Dalam menghadapi kondisi hadits shahih yang seolah-olah bertentangan tersebut, beberapa cara yang biasa dilakukan ulama, yaitu dengan cara melakukan kompromi atau menghukumi sebuah hadits itu dengan hukum hadits syadz, yaitu bertentangan dengan hadits lain yg lebih shahih atau yang lebih mutawatir lainnya.
Hadits-hadits lain yang dianggap mendukung pendapat “air musta’mal bisa digunakan untuk bersuci” adalah sebagai berikut :
“Dulu di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam laki-laki dan perempuan, mereka semua pernah menggunakan bekas wudhu mereka satu sama lain.” (HR. Bukhari no. 193)
Penjelasan hadits ini sama dengan penjelasan hadits di atas. Kesimpulannya adalah, larangan yang ada di hadits sebelumnya adalah larangan tanzih (makruh). Karena larangan Rasulullah bisa berupa larangan yang bersifat haram dan larangan yang bersifat Makruh (tidak disukai).
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengusap kepalanya dengan bekas air wudhu yang berada di tangannya.”( HR. Abu Daud no. 130, hadits hasan, yang menerangkan tentang cara wudhu’ Rasulullah)
Berkata Ibnul Mundzir: Diriwayatkan dari Hasan, Ali, Ibnu Umar, Abu Umamah, Atha, Makhul dan Nakhai bahwa mereka berpendapat tentang orang yang lupa menyapu kepalanya lalu mendapatkan air di janggutnya: Cukup bila ia menyapu dengan air itu. Ini menunjukkan bahwa air mustamal itu mensucikan.
Dengan dasar hadits di atas, maka air musta’mal bisa digunakan untuk bersuci.
Dari hadits tentang adab-adab wudhu yang diajarkan Utsman bin Affan, Dari Humran maula Ustman bahwa dia melihat Utsman meminta air wudhu:
Lalu dia menuangkan air dari bejana ke kedua telapak tangannya lalu mencuci keduanya sebanyak tiga kali. Kemudian dia memasukkan tangan kanannya ke dalam air wudhu lalu berkumur-kumur, istinsyaq (menghirup air ke hidung) dan istintsar (mengeluarkannya). Kemudian dia mencuci wajahnya tiga kali lalu kedua tangan sampai ke siku sebanyak tiga kali. Kemudian dia mengusap kepalanya lalu mencuci kedua kakinya sebanyak tiga kali. Kemudian setelah selesai dia (Utsman) berkata, “Saya melihat Nabi -shallallahu alaihi wasallam- berwudhu seperti wudhu yang saya lakukan ini.” (Muttafaqun ‘alaih).
Menurut hadits di atas, cara wudhu Rasulullah adalah memasukkan tangan ke dalam bejana, yang menurut keterangan isi bejana tersebut 1 mud saja, kemungkinan besar air bekas wudhu beliau masuk ke dalam bejana tersebut mengikuti tangan beliau yang masuk lagi ke dalam bejana. Bukan dengan cara air dialirkan, tetapi tangan beliau masuk lagi ke dalam bejana.
Karena saat memasukkan tangan itu air bekas wudhu bisa lagi masuk ke dalam bejana, maka air dalam bejana tersebut bisa disebut air musta’mal. Ternyata air tersebut bisa digunakan untuk berwudhu.
III. Air Yang Bercampur Najis
Ada dua pendapat sehubungan dengan air yang bercampur dengan najis ini.
1.Pendapat yang mengatakan, air menjadi najis karena tercampuri najis jika air itu sedikit, walaupun tidak merubah bau, rasa, atau warna air tersebut. Pendapat ini dipegang oleh Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Hmbali.
Masalah jumlah air yang sedikit tersebut, berapa batasannya..?! ada dua pendapat juga mengenai batasan jumlah air tersebut.
Sedikitnya air menurut Abu Hanifah adalah air yang jika digerakkan di satu ujung wadahnya, maka ujung lainnya juga ikut bergerak.
Adapun sedikitnya air menurut madzhab Syafi’i dan Ahmad (Hanabilah) adalah air yang kurang dua kullah. Ini sesuai hadits :
Dari Abdullah bin Umar radiyallahu ‘anhuma dia berkata (bahwa) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “jika air mencapai dua kullah, maka (air tersebut) tidak mengandung kotoran [najis]”. Dalam lafadz lain: “(air tersebut) tidak ternajisi.” ( Dikeluarkan oleh imam yang empat, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Al Hakim, dan Ibnu Hibban)
Hadits tersebut memang ada yang memandang hadits mudhthorib (simpang siur/kacau) dari sisi sanad (perawi) maupun matan (materi). Tetapi ada pula yang mengatakan shahih. Diantara ulama yang menshahihkan hadits ini adalah Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu Mandzah, At Thohawi, An Nawawi, Adz Dzahabi, Ibnu Hajar, Asy Suyuthi, Ahmad Syakir, dll.
2. Pendapat yang mengatakan bahwa, jika air tidak merubah bau, rasa, atau warnanya, maka air tersebut tidak najis (suci).
Ini adalah pula pendapat dan Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Hasan Basri, Ibnul Musaiyab, Ikrimah, Ibnu Abi Laila, Tsauri, Daud Azh-Zhahiri, Nakhai, Malik dan lain-lain.
Pendapat ini berdasarkan hadits Nabi :
Seorang badui berdiri lalu kencing di masjid. Orang-orang pun sama berdiri untuk menangkapnya. Maka bersabdalah Nabi saw: Biarlah dia, hanya tuangkanlah pada kencingnya setimba atau seember air! Kamu dibangkitkan adalah untuk memberi keentengan/kemudahan, bukan untuk menyukarkan. (Hr. Jamaah kecuali Muslim)
Dari hadits di atas, bisa diambil kesimpulan, bahwa air yang sedikit tetapi bisa menghilangkan bau, rasa dan warnanya, maka air tersebut bisa mensucikan.
Atau hadits :
Dikatakan orang : Ya Rasulullah, bolehkah kita berwudhuk dari telaga Budha’ah? Maka bersabdalah Nabi saw.: Air itu suci lagi mensucikan, tak satu pun yang akan menajisinya. (H.r. Ahmad, Syafii, Abu Daud, Nasai dan Turmudzi).
Hadits tersebut disebut hadits Bi’ru Bidho’ah (Telaga Bidho’ah).
Atau hadits :
Dari Abu Umamah Al Baahiliy radiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya air tidak ada sesuatupun yang dapat menajiskannya, kecuali yang mendominasi (mencemari) bau, rasa, dan warnanya”. Dikeluarkan oleh Ibnu Majah, didhoifkan oleh Abu Hatim.
Dalam riwayat Al Baihaqi, “Air itu thohur (suci dan mensucikan) kecuali jika air tersebut berubah bau, rasa, atau warna oleh najis yang terkena padanya.”
Bagian pertama hadits adalah shahih, sedangkan bagian akhirnya adalah dho’if. Ungkapan “Sesungguhnya air tidak ada sesuatupun yang menajiskannya” telah ada dasarnya di hadits bi’ru bidho’ah.
Setelah kita mengetahui jalan pengambilan pendapat di atas, maka kita akan mengetahui, bahwa perbedaan terjadi dari sudut pandang para Imam Madzhab dalam mengambil dalil yang ada. Selama dalil tersebut adalah shahih, maka tidak masalah perbedaan itu terjadi. Dan ternyata kita di atas telah disajikan bagaimana perbedaan itu ternyata juga sama-sama mengambil dari dalil yang shahih.
Jadi, jangan lagi kita mempermasalahkan perbedaan (khilafiyah) yang ada. Tetapi marilah kita mulai memperbaiki cara pandang kita terhadap perbedaan yang ada.
Dari cara pandang yang sinis dan tidak suka terhadap pendapat yang berbeda dengan kita, menjadi cara pandang yang bijaksana yang diliputi kasih sayang dan kecintaan terhadap sesama muslim.
0 komentar:
Posting Komentar