Oleh: Must Hiday
Hamy meloncat kegirangan. Dia senang sekali
karena baru saja menyelesaikan buku pertamanya, antologi puisi yang ia kasih
judul “Mengalir Selirih Beledu”. Buku itu adalah buku pertamanya. Dia suka
menulis dan sering meng-upload tulisannya di blog pribadi atau
mengirimkannya ke redaksi media cetak. Ya meski sering kali ditolak. Bahkan
sampai detik saat ini pun dia terus ditolak media. Dia bingung kenapa selalu
ditolak, itu yang terus menghantui pikirannya. Tapi dalam hatinya yang paling
dalam tidak pernah peduli dengan penolakan tersebut. Dia hanya ingin menulis
dan terus menulis. Dia sangat yakin bahwa tidak ada hal yang sia-sia jika kita
niatkan untuk memberikan manfaat kepada orang lain.
Teman sekamarnya pada bengong melihat tingkah
anehnya. Mereka tidak menegur atau menanyakan gerangan apa membuat Hamy
berjingkrak-jingkrak seolah sedang kemasukan setan. Temannya diam saja
melihatnya.
Hamy berusaha mengontrol rasa senangnya itu
setelah setengah sadar sedari tadi teman-teman sekamar memandangi tingkahnya.
Kemudian dia melangkah keluar kamar, ingin jalan-jalan keluar sebentar sambil
menenangkan pikirannya – yang dia gunakan selama hampir 2 jam untuk menulis
tiga halaman terakhir dari naskahnya.
“Alhamdulillah, ya Allah. Naskahku sudah
selesai dan siap untuk ditawarkan kepada penerbit,” katanya dalam hati. Dia
menaiki motor jadulnya berwarna hitam putih berkeliling dari kampung satu ke
kampung lain.
Namun tiba-tiba ada satu permasalahan yang
selama ini tidak terpikirkan olehnya. Dia adalah seorang pendatang baru dalam
dunia penulisan buku, tentu banyak sekali hal-hal yang belum dia mengerti,
mulai dari penerbit mana yang cocok, bagaimana menawarkan naskah kepada
penerbit, sampai tahap penerbitan buku.
“Aduh, bagaimana, yo?” gumamnya, memelankan
laju sepeda motornya. “Ah, tenang saja. Ada internet yang menyediakan banyak
informasi tentang penerbit dan cara penerbitannya,” batinnya. Pikirannya sudah
mulai tenang.
Berkeliling selama hampir setengah jam
membuatnya jenuh. Dia harus balik ke pondok. Dia tidak boleh terlalu lama
keluar pondok, kalau ketahuan pengurus bisa berabe nanti. Cepat-cepat dia
mengambil jalan pintas menuju pondok. Motor bututnya dipaksa melaju dengan
kencang melebihi kemampuan kuda besinya itu. Sampai-sampai suaranya cempreng
memekak keras di tengah kampung. Hamy sudah tidak memperdulikan itu. Lagian
motornya emang sudah tua, jadi wajar suaranya berisik, pikirnya.
Halaman pondok yang tidak begitu luas terlihat
sepi. Pintu rumah pengasuh juga tertutup rapat. Hamy langsung lari kecil
melangkah menaiki tangga menuju lantai dua – untuk tempat tinggal santri putra,
sedangkan santri putri tinggal bersama pengasuh di lantai satu tapi di bagian
belakang.
Saat ini Hamy tinggal di pondok pesantren
khusus mahasiswa, Al-Khoir, sambil menyelesaikan kuliah S1-nya di UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta. Aula yang cukup besar dengan cat orange bagian dinding
sedangkan atap dicar warna putih memunculkan suasana yang cerah. Biasanya para
santri shalat di sini bersama Kiai Mushtafa, pengasuh. Kata teman-teman Hamy
dari luar pondok yang main ke situ sering mengatakan kalau pondoknya itu besar,
bersih dan nyaman. Malah ada yang bilang bukan pondok, lebih tepatnya asrama.
Karena tidak ada pondok yang sebagus ini.
Sesampainya di kamar, Hamy langsung membuka
laptop. Teman-temannya sudah pada hilang ternyata, pada kuliah. Maklum mereka
masih mahasiswa baru. Sedang Hamy sudah Mapala (Mahasiswa Paling Lama),
semester tujuh. Dan hebatnya, dia sudah hampir selesai dengan skripsinya,
tinggal satu bab lagi.
Tanganya dengan cepat mengetik di kolom
pencarian. “Penerbit yang mau menerima naskah buku puisi”. Telunjuknya menekan
tombol “Enter”.
Mungkin kalian bertanya, kok pakai jari
telunjuk? Kenapa tidak kelingking atau jari tengah? Aku juga bertanya seperti
itu, teman-teman. Setelah aku selidiki ternyata jarinya Hamy telunjuk semua,
wkwk...
tidak lucu ya? Ya sudah, lupakan saja.
Mata Hamy langsung tertuju pada baris ke dua
daftar list penerbit. Maaf aku tidak boleh menyebutkan nama penerbitnya. Sebut
saja Penerbit Jaya. Tangannya berpangku pada mulut dan dagu, konsentrasi membaca
halaman di layar laptopnya.
Dia membaca dengan sangat teliti bagaimana
prosedur pengiriman naskah di redaksi tersebut. Dari atas hingga bawa, tidak
ada satu kata pun yang terlewatkan. Dia memang punya niatan serius untuk
menerbitkan bukunya. Terkadang kepalanya mengangguk-angguk tanda paham.
Tidak perlu babibu, laki-laki yang
berperawakan gemuk berambut gelombang itu langsung membuka E-mail. Mengetik
alamat yang dituju. Meng-upload naskahnya. Dan “Klek!” bunyi tombol entek
kepencet jari telunjuknya. Dia berhasil mengirimkan naskah ke sana.
“Ya Allah, moga-moga diterima. Amin,” dia
berdoa dalam hati penuh harap semoga impiannya dikabulkan.
Dia merebahkan tubuhnya diatas kasur. Mengela
nafas. Pikirannya capek secapek tubuhnya. Kantuk secara perlahan mulai
menyelimutinya dari ujung kaki naik menuju tubuhnya dan kepalanya. Dia
terlelap.
@@@
Sorenya dia kembali mengecek Email-nya. Dan
ternyata sudah ada inbox masuk. Matanya fokus pada tulisan nama pengirimnya.
“Wah! Dari redaksi!” hatinya berdebar sekaligus penasaran.
“Assalamu’alaikum, mas Hamy. Kami dari redaksi
Penerbit Jaya memohon maaf belum bisa menerima naskah yang bergenre sastra.
Sementara ini, kami sengan meng-cut-off naskah sastra. Kami juga belum
bisa memastikan kapan akan membuka lagi untuk naskah sastra. Kami Mohon maaf
yang sebesar-besarnya.” Isi pesan redaksi kepada Hamy.
Ada rasa kecewa dalam hatinya. Usahanya selama
ini belum menemukan hasil. Ada apa yang salah dengan sastra puisi, sehingga
harus di cut-off seperti itu? Apakah penerbit lain juga sama seperti
itu? Padahal dia ingin segera memiliki karya pertamanya dalam bentuk sudah
menjadi buku. Meskipun nanti mengeluarkan biaya percetakan, dia tidak mengapa.
Yang terpenting adalah dia memiliki buku seperti penulis lain.
Tangannya langusng mengetikkan kalimat di browser-nya.
Dia ingin tahu seberapa besar dan banyak penerbit menerima karya sastra
terutama puisi. Mulai dari situs satu, pindah ke situs yang lain, ia baca. Dan
kebanyakan situs tersebut mengatakan puisi kurang banyak peminatnya sehingga
penerbit berpikir dua kali untuk menerbitkannya.
Hamy memejamkan mata. Menghela nafas
dalam-dalam.
“Kamu kenapa, My?” Tanya teman sekamarnya yang
dari tadi memperhatikan Hamy begitu serius melihat laptop.
“Aku bingung, Mbah.”
Mbah adalah nama panggilan. Adapun nama
aslinya adalah Hidayatullah.
“Ngapain bingung?”
“Penerbit yang aku harapkan bisa menerima
naskah puisiku malah sedang meng-cut-off naskah sastra.”
“Hla sudah mencari penerbit lain
belum?... pasti masih banyak penerbit lain yang menerima naskah puisi. Cari
aja.”
“Tidak tahu lagi aku, Mbah. Rasanya pengen
menyerah saja menulis puisi.” Kataku dengan nada lemes.
“Jangan menyerah. Pasti nanti ada hasil kalau
kamu terus berusaha. Masak baru sekali saja sudah lembek begini.” Katanya
menyemangati.
Hamy diam merenungkan omongan temannya. Bener
juga, batinya mulai sadar.
“Atau kamu cari tahu ke teman kamu tentang
penerbit. Eh, siapa tahu ada yang punya kenalan penerbit atau malah temanmu
sudah ada yang menerbitkan buku. Kamu bisa belajar kepada mereka, My.”
Seketika itu juga, Hamy teringat temannya yang
sudah menerbitkan buku antologi puisi. “Oh ya, aku punya teman. Dia sudah
menerbitkan satu buku antologi puisi. Namanya Baim. Temen seangkatanku di
kampus.” Ucap Hamy dengan nada yang berbeda dari sebelumnya. Kali ini dia
bersemangat. Dia sudah menemukan titik terang dari permasalahannya.
“Nah itu, kamu bisa sharing-sharing
dengan dia.”
“Terima kasih banyak ya, Mbah, sudah memberiku
solusi dan menyemangatiku.”
“Ya itulah gunanya teman, My. Makanya kalau
ada masalah jangan sungkan untuk berbagi dengan teman kamu. Tapi ya jangan
masalah tok yang dibagi ke temenmu. Bahagia kamu ambil sendiri.
Bahagiannya juga dibagi lho...” matanya memandang Hamy dengan pandangan beda.
“Haha... kode keras ini. Langsung saja bilang kalau
kamu mau honor-ku kan?”
“Nah itu tahu.” Jawabnya simpel.
Mereka berdua tertawa terbahak-bahak.
Hari sudah mulai gelap. Sebentar lagi waktu
maghrib akan tiba. Dari dalam kamar, langit sore di luar terlingat begitu
merah. Tapi indah dengan sederet awan yang terkena bias warna orange. Sesekali
ada sekelompok burung melintas di atas sana.
Allahu akbar. Allahu akbar....
Suara azan sudah memanggil umat Islam untuk
menunaikan kewajiban agamnya. Begitupun dengan Hamy. Mendengar suara panggilan
tersebut, dia langsung melangkahkan kakinya menuju tempat wudlu.
Ya, dia ingin berbagi dengan Allah SWT. Dia
ingin tenang bersama-Nya. Dia juga berencana merayu Tuhannya. Dalam hatinya,
siapa tahu nanti Allah langsung meng-ACC doaku.
@@@
Selepas shalat isya’ berjamaah, Hamy langsung
membuka tablet. Tangannya sibuk mengelus-elus layar gadget-nya. Mencari
satu nama yang dia harapkan bisa membantunya mengenalkan beberapa penerbit.
Lain kali ada yang cocok, pikirnya.
“Assalamu’alaikum, im,” tulisnya di dalam chat.
Tangan Hamy menyentuh tombol panah di sebelah kanan layar. Mengirim pesan.
Sambil menunggu balasan dari temannya, Hamy
membuka laptopnya, sekedar untuk membaca ulang karyanya. Siapa tahu ada yang
salah di dalam tulisannya. Matanya dengan jeli menatap satu kata perkata
sembari pikirannya mengingat-ingat teori EYD yang pernah dipelajari waktu di
MA. Ya meski tidak menutup kemungkinan sudah mengalami perubahadan ejaan di
dalam bahasa Indonesia.
Tiba-tiba HP-nya bergetar. Tangan kanannya
dengan cekatan meraih HP yang tergeletak di atas kasur. “Wa’alaikum salam, My.
Ada yang bisa aku bantu?” tulis Baim membalas chat Hamy.
“Gini nih, Im. Aku kan sudah membuat
satu naskah antologi puisi. Tapi aku bingung bagaimana cara menerbitkannya.
Apalagi aku tidak punya kenalan penerbit. Ya, mungkin kamu bisa bantu aku, Im.”
“Ingsya Allah aku bisa bantu, My. Tapi,
pertama, aku boleh baca hasil karyamu? Biar aku tahu dimana kekurangan dari
tulisanmu.” Pintanya. “Kirim lewat E-mail saja, My. Ini alamat E-mail-ku Baimihirr@gmail.com,” lanjut Baim.
“Wah, okey, Im. Nanti aku kirim ke E-mail
kamu. Sebelumnya terima kasih banyak ya sudah mau membantu.” Kata Hamy merasa
bahagia. Satu langkah sudah mulai menampakkan harapannya. Hamy menghela nafas,
lega.
“Haha... belum dibantu kok makasih?”
canda temannya yang memang memiliki selera humoris. Hamy tertawa membaca chat
laki-laki yang berambut kriting dan bertubuh kurus pendek tersebut. “Tapi,
sama-sama, My. Aku bangga ternyata ada temanku yang kreatif dan ingin menjadi
penulis seperti kamu,” sanjung Baim kemudian.
“Hahaha.. masak aku kalah sama kamu? Aku harus
bisa sepertimu bahkan lebih. Wong makannya yo sama-sama nasi sepiring
dan gorengan.” Canda Hamy balik.
Tanpa menunggu besok, Hamy langsung membuka
E-mailnya. Matanya bolak-balik dari HP ke laptop. HP ke laptop. Menyamakan
alamat email yang Baim kirim kepadanya tadi. Hamy takut salah alamat. Dia tidak
mau menunggu dan tertunda ngirimnya. Harap-harap cemas dalam hatinya berdoa “Bismillah,
semoga tulisanku ini memang bagus dan layak diterbitkan.”
Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul
12.56 PM. Dia kaget ternyata dia sibuk berkutat dengan tulisannya sudah sangat
lama. Dia harus tidur sekarang sebab nanti malam dia harus bangung menunaikan
shalat malam bersama Kiai dan santi-santri yang lain. Kalau tidak tidur
sekarang bisa berabe nanti urusannya. Dia tidak mau malu lagi, gara-gara ngorok
sambil shalat. Berdiri lho ngorok, sindiran Kiainya yang selalu dia
ingat sebagai cambuk supaya nantinya tidak molor waktu shalat.
Malam itu terasa sangat tenang dan nyaman.
Tenang sekali. Bahkan suara jarum jam yang perlahan-lahan bergerak memutar
begitu kentara terdengar di telinganya. Hamy menguap tanda dia sudah mulai
terlena dengan bujukan malam. Dia miringkan tubuhnya ke sisi kanan – mengikuti
sunnah Rasulullah Saw, tangannya ditelungkupkan di bawah pipi kanan. Matanya
sudah terpejam sebelum bibirnya selesai bergeming memohon kepada Allah.
@@@
Jum’at. Pukul 7.17 AM.
Suasana saat ini begitu tenang. Hanya
terdengar suara hujan yang jatuh membentur tanah dan rumah warga. Tidak
seberisik sebelumnya karena para santri membaca al-Quran dan shalawat ‘Ukasah.
Sudah menjadi adat di pondok mahasiswa al-Khoir pada hari Jum’at setelah subuh
santri diminta bersama-sama membaca beberapa surat dari al-Qur’an, yaitu surat
Yasin, al-Waqi’ah, surat Jumu’ah, surat Fathir, dan terakhir suart al-Kahfi.
Hujannya tidak begitu lebat. Pas untuk
malas-malasan di kamar. Di dalam ruangan berukuran 5x7 meter Hamy dan teman
dekatnya, Rian, tiduran bareng di kasur yang sudah bolong pada bagian tertentu.
Bareng tapi mereka asik fokus dengan HP masing-masing. Rian sedang menonton
film anime kesukaannya, maklum penggila anime. Sedangkan Hamy sedang sibuk
mengetik di aplikasi WA.
“Assalamu’alaikum, Bapak Ibuk,” kata Hamy
kepada orang tuanya lewat HP. “Kulo sampon mareaken tulisan kulo ingkang
pertama. Kulo nyuwun pandonganipon Bapak kale Ibuk njeh, mugi-mugi buku kulo
niki lan sakterusipon mangke saget bermanfaat kagem sanes lan dipon terbitaken
deneng penerbit. Amin.” Lalu Hamy mengirimkan pesannya kepada nomer orang
tuanya.
Sesekali matanya yang hitam di balik kaca mata
melirik ke arah film anime yang sedang ditonton Rian. Hamy adalah orang yang
terlalu suka menghabiskan waktunya hanya untuk menonton anime atau film lain
setiap hari apalagi sampai dua jam duduk memandangi laptop menonton film.
Mending buat ngetik. Berkarya. Mumpung masih muda. Kalau sudah tua nanti akan
menyesal karena tidak melahirkan karya agung ketika muda. Setidaknya dengan
berkarya adalah bukti bahwa dia pernah bermanfaat. Ya, kalau butuh refreshing
sesekali boleh lah keluar mencari ketenangan. Biasanya Hamy pergi ke tempat
sumberan air. Ada kolam alami di sana, enak untuk renang.
Tangan kanannya terasa bergetar. Matanya
melihat HP yang ada di tangannya, ada pesan di WA. “Wa’alaikumus salam,
Nang. Alhamdulillah, Bapak Ibu senang dengarnya, Nang. Kami di sini selalu
mendoakan yang terbaik dari yang terbaik untukmu, Nang. Kamu juga jangan lupa
berdoa kepada Allah, ya. Karena Allah yang Maha Kuasa. Hanya Dia yang bisa
membantumu, Nang. Bapak Ibu hanya bisa mendukungmu dan mendoakanmu,” dia baca
dengan penghayatan yang dalam pesan dari orang tuanya itu. “Dan ingat ya, Nang,
kalau sudah sukses nanti jangan sombong. Ingatlah bahwa usaha kerasmu dan hasil
yang sudah kamu capai itu semata-mata karena Allah. Kamu tidak bisa apa-apa
tanpa-Nya, Nak.”
Hatinya terketuk membaca chat orang tua
yang paling dia sayang dan dia pentingkan. Semua prestasi dan kerja kerasnya
menulis dia niatkan untuk membahagiakan orang tuanya, bahkan Hamy pernah
berfikir tidak peduli dengan tanggapan orang lain melihat usaha kerasnya. Yang
terpenting adalah bagaimana dia berusaha mengangkat derajat orang tuanya dengan
prestasi.
“Njeh Pak Buk, akan kulo inget pesen
penjenengan sak lawasipon. Pangestunipon njeh, Bapak Ibu.”
“Ya, Nang. Pasti itu.”
Lama tidak ada pesan lagi akan tetapi
tiba-tiba HP-nya bergetar lagi. Buru-buru dia menghadapkan HP-nya di depan
muka. Ada pesan dari Baim rupanya. Dia membukanya. Penasaran komentar apa yang
akan diberikan temennya itu setelah membaca tulisan yang ia kirim tadi malam.
“My,” tulis Baim singkat.
“Iya, Im. Bagaimana pendapatmu? Ada masukan
dan saaran?”
“begini, My. Secara keseluruhan sudah bagus
untuk ukuran puisi. Tapi ada dua kekurangan di dalam puisimu. Pertama,
dalam pengungkapan perasaanmu. Jadi, menurutku, kamu kurang dapat mengungkapkan
apa yang kamu mau, yang kamu rasakan, emosi kamu. Ya aku maklumin. Aku dulu
juga seperti kamu, menggebu-nggebu mengejar target tapi lupa dengan ruhnya. Biasanya
aku, kalau menulis puisi, aku tunggu perasaanku mengendap dan mengental, My.
Baru kemudian aku tulis dalam puisi,” mata Hamy mengikuti alur tulisan temannya
yang panjang lebar tersebut. “Mengendapkan perasaan itu relatif, tergantung
penulisnya. Ada penulis yang menunggu satu bulan baru menulis, dua bulan baru
nulis, bahkan ada yang menunggu sampai bertahun-tahun baru bisa menulis puisi.”
“Owalah, seperti itu tho. Ternyata
tidak mudah ya menulis puisi. Harus benar-benar melibatkan perasaan, tidak
hanya diksi yang indah.” Tanggapan Hamy singkat. Aku tidak mau capek ngetik
banyak-banyak. Capek, batinnya.
“Iya, My. Memang susah menulis puisi itu.”
“Tapi kalau menunggu selama itu nanti
bagaimana dengan keinginanku untuk nerbitin buku, Im?”
“Ya sudah tidak apa-apa. Kamu lanjutkan
perjalanan puisimu ini. Kirimkan saja ke penerbit. Semoga diterima dan bisa
dibaca banyak orang. Amin,” hibur Baik agar Hamy tidak merasa tidak ada harapan
setelah membaca komentar panjang lebarnya tadi.
“Okey, Im. Nanti aku kirim ke penerbit. Aku
sudah baca beberapa penerbit yang bisa menerima naskah antologi puisi kok.
Sebelumnya terima kasih banyak, ya, sudah membantu banget.”
“Sama-sama, My. Selamat berjuang menjadi
penulis.”
Hamy merebahkan tubuhnya menindih kasur
berwarna pink dengan warna putih menyeleret vertikal. Dia merasa capek.
Pikirannya penat setelah sekian lama berjuang dari mencari ide, menuliskannya,
kemudian mengirimkan naskahnya ke penerbit. Dan kabar baiknya, dia sudah
mengirimkan ke redaksi. Di dalam hatinya juga ada semacam perasaan bahagia dan
bangga. Ternyata aku bisa berkarya, pikirnya.
“Tapi, aku harus menunggu tiga bulan untuk
pengumuman diterima tidaknya naskahku oleh penerbit,” gumamnya dalam hati. “Ah,
ternyata ujung-ujungnya aku harus menunggu”
Matanya terpejam rapat. Tarikan nafasnya mulai
melembut seiring kesadarannya direnggut lelap yang melalap.
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar