Beledu unyu-unyu
Dengan polosnya mondar—mandir dalam Nur
Menggamiti pundakku
Sedang aku masih menulis surat
Untuk aku sendiri
Kebur
Bagaimana tidak?
aku sendiri saja tidak memahaminya
Bahkan untuk membedakan mana titik dan mana koma
Mata ini seolah-olah angkuh dan berkata : aku tak butuh kau!
Otakku sendiri juga enggan menafsirkannya
Padahal dia yang menyuruh aku menuliskannya
Lantas ku leburkan surat itu dalam nadham sya’ir
Aku terbanting di kenafian “Aku”
Aku meradang di kamar yang penuh dengan kepikunan
Lalu, kemarin ada yang datang mengendap
Lewat teras rumah
Ku kira maling
Ternyata bukan, hanya seorang pemungut sampah
Dia membiarkan aku menaswatkan jiwa
Sejenak saja
Seharusnya aku pertaruhkan ego
Lalu menyandingkan peduli pada namaku “hidayatullah”
Kepada rumput-rumput kering
Ya,,karena kita semua adalah rumput-rumput kering
Harus konsekuens, katanya
Ketika aku berani berlari maka aku harus berani lelah
Ketika aku berani bicara maka aku harus berani melakukannya
Ketika aku ingin maka aku harus berani berproses
Jangan “lima
taquluu ma la taf’aluun”
Jujur saja
Pesanku yang kemarin saja belum sampai padaku
Aku masih dalam “belum” yang berkepanjangan
Aku meng-aku
Terlalu indah dan agung jika aku katakan “ini adalah aku”
Sombong sekali aku bilang seperti itu
Siapa aku? Aku belum jelas jeluntrunge
Aku masih ragu antara harus memperhamba pada fiktif atau
realita
Karena mungkin surat itu belum sampai padaku
Kamu tahu, apa isi suratku?
Cukup dengan kata simpel sebetulnya
“aku.”
Tidak ada kata-kata indah yang mampu ku rangakai
Ataupun hal-hal istimewa yang mampu ku uraikan disana
Tapi aku sendiri
belum tahu kata itu
Keengganan untuk mengerti diri menjadi bencana
Nesatapa sunyi kematian menabrakkan aku pada kehilangan
Aku hilang dalam sirnaku
Entahlah kapan surat ku sampai padaku?
Aku kembali terbanting di kenafian “Aku”
Oleh
: Muh. Nur Hamid Hidayatullah al-Shulhany
0 komentar:
Posting Komentar