About


Get this widget:

Selasa, 30 Agustus 2016

MENCARI CINTAKU SENDIRI



Menulis dan penulis merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan, seperti jiwa dan raga. Penulis sebagai raganya dan menulis adalah jiwanya. Jika dipisahkan salah satunya pasti akan mati, tak ternilai dan tak merubah apapun. Seorang penulis yang tak mau menulis tidak akan menjadi ada dan menulis tanpa penulis adalah kemustahilan. Penulis ibarat dewa dalam tulisannya. Dia dapat mengatur alur, pelaku, konflik, klimak, peleraian, tujuan, bahkan emosional dalam tulisannya – bagi saya.
Oleh karena itu, aku ingin banget jadi penulis yang produktif. Tapi, mungkin karena masih level beginner, perasaan malas selalu ada. Karena ide hilang atau tidak menemukan ide, berpikir bahwa itu hanya akan membuang waktu tidurku, atau lebih baik bermain game saja. Sehingga untuk mengawali saja kata saja rasanya sangat mustahil. Ya, mungkin untuk benar-benar menjadi penulis aku harus berekspansi layaknya pasukan elite perang untuk menakhlukkan kemalasan – negara kecil yang kaya raya dan otoriter – dalam ruang psikologimu.
Ketika aku melihat buku-buku yang terpajang di toko buku atau perpustakaan, rasanya aku seperti sedang makan rujak Kecap – rujak kuah khas Demak. Ingin sekali membelinya dan membacanya. Tapi sayang, harap hati ingin memeluk gunung, apalah daya tangan tak sampai. Ingin hati ingin membeli buku, tapi apalah daya uang tak cukup. Huft, lagi-lagi uang. Semua tentang uang. Soal uang adalah nomer satu – dalam masalah ekonomi dan pemenuhan kebutuhan bahkan ibadah sekalipun pasti membutuhkan uang. Makanya islam dirancang sebagai agama yang kapital, satu contoh saja membaca al-Quran satu hurufnya dinilai sepuluh kebaikan atau pahala jika ditotal semua, bayangkan berapa kebaikan yang kita peroleh.
Okey, kembali ke menulis dan penulis. Setiap waktu bila ingat – maklum rasa inginnya masih kaya koretan sambal – aku pasti browsing bagaimana menulis dengan benar, baik dan berkualitas. Bla bla bla, aku gak begitu paham dengan keterangan blog. Itu hanya sebuah teori. Membacanya membuatku sadar akan ruh dari menulis. Satu yang dibutuhkan untuk menulis, adalah perasan cinta untuk menulis. “aku menaruh cinta pada setiap apa yang aku lihat” kata Keem Pek, seseorang dengan daya memory super tajam. Tuhan mencipatakan alam ini pun karena cinta. Setuju?
Bahkan pernah aku mencoba mencari akun FB penulis novel terkenal seperti kakak Andrea Hirata (sebegitu dekatkah, sampai manggil kakak?), Tere Liye, dan Ahmad fuady. Dan ketemu. Tapi pas aku cari “tambahkan sebagai teman” di kolom FB tidak ada.
            Hlo, kok gak bisa ditambahkan sebagai pertemanan?” aku bertanya ke temenku yang sedang bokepan disebelahku. Maklum aku orangnya gaptek.
            “Itu hanya halaman. Bukan akun FB-nya” jawabnya sambil melirik ke arahku lalu asyik kembali dengan icha icha kimochai-nya.
            Tidak lantas menyerah, aku tetep mencari akun FB penulis novel terkenal. Kuketik nama Andrea Hirata lagi. Lalu klik “search”. Mataku fokus pada tulisan “sedang memuat”. Loading-nya lama banget. Masak kesasar sinyalnya? pikirku. Kemudian ketika sudah ketemu akun Andre Hirata, aku malah bingung. Yang benar yang mana. Kok nama Andrea Hirata banyak. Fotonya pun sama semua.
            “Banyak akun FB orang terkenal yang KW,” celetuk Hanif yang sudah duduk dibelakangku.
            Akun FB saja KW, belom yang KW lainnya. Mungkin Indonesia pun KW – karena potensi-potensi di dalamnya banyak yang KW.
Akhirnya aku menyerah saja. Mendingan langsung praktik nulis dari pada nunggu ngeja tulisan sampai selesai di Blog. Aku masih tetap berpegang pada prinsip awal bahwa penulis butuh cinta. Penulis harus menaruh cinta pada segala yang ia alami dan ia lihat. “Dan aku akan mencari cintaku sendiri.”

0 komentar:

Posting Komentar