Menulis dan penulis merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan,
seperti jiwa dan raga. Penulis sebagai raganya dan menulis adalah jiwanya. Jika
dipisahkan salah satunya pasti akan mati, tak ternilai dan tak merubah apapun.
Seorang penulis yang tak mau menulis tidak akan menjadi ada dan menulis tanpa
penulis adalah kemustahilan. Penulis ibarat dewa dalam tulisannya. Dia dapat
mengatur alur, pelaku, konflik, klimak, peleraian, tujuan, bahkan emosional
dalam tulisannya – bagi saya.
Oleh karena itu, aku ingin banget jadi penulis yang produktif.
Tapi, mungkin karena masih level beginner, perasaan malas selalu ada. Karena
ide hilang atau tidak menemukan ide, berpikir bahwa itu hanya akan membuang
waktu tidurku, atau lebih baik bermain game saja. Sehingga untuk mengawali saja
kata saja rasanya sangat mustahil. Ya, mungkin untuk benar-benar menjadi
penulis aku harus berekspansi layaknya pasukan elite perang untuk menakhlukkan
kemalasan – negara kecil yang kaya raya dan otoriter – dalam ruang psikologimu.
Ketika aku melihat buku-buku yang terpajang di toko buku atau
perpustakaan, rasanya aku seperti sedang makan rujak Kecap – rujak kuah khas
Demak. Ingin sekali membelinya dan membacanya. Tapi sayang, harap hati ingin
memeluk gunung, apalah daya tangan tak sampai. Ingin hati ingin membeli buku,
tapi apalah daya uang tak cukup. Huft, lagi-lagi uang. Semua tentang uang. Soal
uang adalah nomer satu – dalam masalah ekonomi dan pemenuhan kebutuhan bahkan
ibadah sekalipun pasti membutuhkan uang. Makanya islam dirancang sebagai agama
yang kapital, satu contoh saja membaca al-Quran satu hurufnya dinilai sepuluh
kebaikan atau pahala jika ditotal semua, bayangkan berapa kebaikan yang kita
peroleh.
Okey, kembali ke menulis dan penulis. Setiap waktu bila ingat –
maklum rasa inginnya masih kaya koretan sambal – aku pasti browsing bagaimana
menulis dengan benar, baik dan berkualitas. Bla bla bla, aku gak begitu paham
dengan keterangan blog. Itu hanya sebuah teori. Membacanya membuatku sadar akan
ruh dari menulis. Satu yang dibutuhkan untuk menulis, adalah perasan cinta
untuk menulis. “aku menaruh cinta pada setiap apa yang aku lihat” kata Keem
Pek, seseorang dengan daya memory super tajam. Tuhan mencipatakan alam ini pun
karena cinta. Setuju?
Bahkan pernah aku mencoba mencari akun FB penulis novel terkenal
seperti kakak Andrea Hirata (sebegitu dekatkah, sampai manggil kakak?), Tere
Liye, dan Ahmad fuady. Dan ketemu. Tapi pas aku cari “tambahkan sebagai teman”
di kolom FB tidak ada.
“Hlo, kok
gak bisa ditambahkan sebagai pertemanan?” aku bertanya ke temenku yang sedang
bokepan disebelahku. Maklum aku orangnya gaptek.
“Itu hanya
halaman. Bukan akun FB-nya” jawabnya sambil melirik ke arahku lalu asyik
kembali dengan icha icha kimochai-nya.
Tidak lantas
menyerah, aku tetep mencari akun FB penulis novel terkenal. Kuketik nama Andrea
Hirata lagi. Lalu klik “search”. Mataku fokus pada tulisan “sedang memuat”. Loading-nya
lama banget. Masak kesasar sinyalnya? pikirku. Kemudian ketika sudah ketemu
akun Andre Hirata, aku malah bingung. Yang benar yang mana. Kok nama Andrea
Hirata banyak. Fotonya pun sama semua.
“Banyak akun FB
orang terkenal yang KW,” celetuk Hanif yang sudah duduk dibelakangku.
Akun FB saja KW,
belom yang KW lainnya. Mungkin Indonesia pun KW – karena potensi-potensi di
dalamnya banyak yang KW.
Akhirnya aku menyerah saja. Mendingan langsung praktik nulis dari
pada nunggu ngeja tulisan sampai selesai di Blog. Aku masih tetap berpegang
pada prinsip awal bahwa penulis butuh cinta. Penulis harus menaruh cinta pada
segala yang ia alami dan ia lihat. “Dan aku akan mencari cintaku sendiri.”
0 komentar:
Posting Komentar