About


Get this widget:

Selasa, 30 Agustus 2016

AKHLAK SEORANG GURU


AKHLAK SEORANG GURU
Guru memiliki peranan yang sangat urgen bagi seorang murid. Apakah murid akan sukses dalam pembelajaran, kehidupan pribadi dan sosial? Itu tergantung dari usaha guru. Guru berkewajiban menuntun dan mengarahkan murid kepada cita-cita luhur. Oleh sebab itu, seorang guru harus memiliki sikap profesionalis-mahmudah.
Karena, pada dasarnya jiwa seorang murid itu masih lembek dan mudah goyah, sehingga mereka memerlukan kehadiran seorang guru untuk mengarahkan, menggodok prinsip mereka menjadi kuat.[1] Oleh karena itu, guru harus memegangi secara kontinu sifat-sifat perfektif. Ingsya Allah murid akan meniru gurunya menghiasi dirinya dengan sifat-sifat sempurna[2].
Dibutuhkan kehati-hatian (taqwa) untuk bisa istiqamah menetapi sifat-sifat profesionalis guru. Selain itu, guru pun harus bersikap tawadlu’[3] agar hati murid condong atau senang ketika berhadapan dengan gurunya. Sehingga dia akan lebih semangat dan suka belajar dan pada akhirnya bisa mendapatkan faidah atau manfaat dari gurunya. Guru harus menyayangi muridnya dan memperhatikan peerkembangannya sehingga murid tambah senang dengan pembelajaran gurunya dan belajarnya[4].
Guru hendaklah selain mengajarkan keilmuan, juga mengajarkan tentang akhlak terpuji (mendidik. Pent), selalu memberikan nasihat. Ketika memberikan materi hendaklah diperhatikan kemampuan siswa. Jangan sampai materi yang disampaikan memberatkan murid. Karena murid bukanlah wadah kosong yang dipaksa penuh oleh guru tanpa memperhatikan tempat masuknya air. Cukup apa tidak jika di masukin air banyak sekaligus.

seorang guru sedang mendidik dan mentransfer ilmu kepada anak didiknya








[1]Banyak sekali terjadi di kehidupan nyata, kita lihat sekeliling kita_terutama mahasiswa yang_maaf_besiknya tidak terlalu mengenal agama, kemudian masuk ke dunia kampus. Bertemu dengan orang-orang yang berbeda pemahaman. Sudah barang tentu sebuah pemahaman akan berusaha disuntikkan kedalam benak orang lain lewat penganutnya. Yang tidak tahu mengenai suatu pemahaman tertentu, lantas dianggap benar_karena ajaran itu cocok dengan akalnya, “wah pemahaman ini enak”, “wah ini keras seperti menjaga originalitas islam”, tanpa mendalami terlebih dahulu atau menanyakan kepada yang lebih ahli dan obyektif. Sehingga dia masuk dan mengikuti faham tersebut. Bisa dibilang orang semacam itu seperti untuk yang kesana kemari tanpa tujuan. Ya, tergantung angin meniupnya kemana.
[2] Apalagi guru memberikan tauladan bagi murid tidak hanya sekedar apa yang keluar dari mulut, hanya kata dan teori, namun guru mencontohkannya dengan mengamalkan dan mewujudkan keteladanan akhlak karimah dalam kehidupan nyata seorang guru. Tauladan yang langsung dengan tindakan akan lebih kuat dan meyakinkan dari pada tauladan dengan kata-kata.
[3] Tawadlu’ (rendah hati) merukan sifat terpuji. Orang yang tawadlu’ bukan berarti merendahkan diri. Dia bisa, dia tahu, dia handal, tapi dia bersikap biasa dengan kemampuan dan kelebihannya. Kalau ada orang yang ingin bantuannya, dia akan membantu_misal membantu mengajarkan ilmu. Tawadlu’ adalah sebuah tempat atau posisi diri antara tadhlilin nafsi (menghinakan diri) dengan kesombongan. Merendahkan diri merupakan sifat yang diharamkan ada pada diri manusia. Begitu juga kesombongan haram ada pada diri manusia, karena sombong merupakan haknya Allah. (Ta’limul Muta’allim. Halm. 12)
[4] Memang betul sekali kalau emosi atau perasaan murid menentukan hasil belajarnya. Para ahli pendidikan mutakhir ini melakukan peneliitian tentang peran emosi dalam belajar. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa memperhatikan emosi siswa dapat membantu guru mempercepat proses dan aktifitas belajar. Memahami emosi siswa juga dapat membuat pembelajaran lebih bermakna dan permanen. Penelitian tentang otak menunjukkan adanya hubungan antara keterlibatan emosi, memori jangka panjang dan belajar.
Ketika otak menerima ancaman atau tekanan, kapasitas saraf untuk berfikir rasional akan mengecil. Kondisi ini akan menimbulkan tangggapan psikologis dan dapat menghentikan proses belajar saat itu dan setelah itu. Saat itu kemampuan dan kemauan belajar siswa benar-benar berkurang. (Prof. Dr. H. Hamruni, M.Si. Pembelajaran Berbasis Edutainment. Halm. 98)
Oleh karena itu, guru harus bisa memposisikan diri, jangan membentak-bentak murid ketika murid melakukan kesalahan. Kesalahan merupakan proses menjadi benar. Tinggal bagaimana menyikapi kesalahan itu. Dalam suasana belajar yang penuh dengan persaingan dan pengisolasian siswa, sikap dan hubungan yang negatif akan mematikan siswa. (ibid. 48)


selamat membaca!!

3 komentar: