AKHLAK SEORANG GURU
Guru memiliki peranan yang sangat urgen bagi seorang murid. Apakah
murid akan sukses dalam pembelajaran, kehidupan pribadi dan sosial? Itu
tergantung dari usaha guru. Guru berkewajiban menuntun dan mengarahkan murid
kepada cita-cita luhur. Oleh sebab itu, seorang guru harus memiliki sikap
profesionalis-mahmudah.
Karena, pada dasarnya jiwa seorang murid itu masih lembek dan mudah
goyah, sehingga mereka memerlukan kehadiran seorang guru untuk mengarahkan,
menggodok prinsip mereka menjadi kuat.[1]
Oleh karena itu, guru harus memegangi secara kontinu sifat-sifat perfektif. Ingsya
Allah murid akan meniru gurunya menghiasi dirinya dengan sifat-sifat
sempurna[2].
Dibutuhkan kehati-hatian (taqwa) untuk bisa istiqamah
menetapi sifat-sifat profesionalis guru. Selain itu, guru pun harus bersikap
tawadlu’[3]
agar hati murid condong atau senang ketika berhadapan dengan gurunya. Sehingga
dia akan lebih semangat dan suka belajar dan pada akhirnya bisa mendapatkan
faidah atau manfaat dari gurunya. Guru harus menyayangi muridnya dan
memperhatikan peerkembangannya sehingga murid tambah senang dengan pembelajaran
gurunya dan belajarnya[4].
Guru hendaklah selain mengajarkan keilmuan, juga mengajarkan
tentang akhlak terpuji (mendidik. Pent), selalu memberikan nasihat. Ketika
memberikan materi hendaklah diperhatikan kemampuan siswa. Jangan sampai materi
yang disampaikan memberatkan murid. Karena murid bukanlah wadah kosong yang
dipaksa penuh oleh guru tanpa memperhatikan tempat masuknya air. Cukup apa
tidak jika di masukin air banyak sekaligus.
[1]Banyak sekali
terjadi di kehidupan nyata, kita lihat sekeliling kita_terutama mahasiswa
yang_maaf_besiknya tidak terlalu mengenal agama, kemudian masuk ke dunia
kampus. Bertemu dengan orang-orang yang berbeda pemahaman. Sudah barang tentu
sebuah pemahaman akan berusaha disuntikkan kedalam benak orang lain lewat
penganutnya. Yang tidak tahu mengenai suatu pemahaman tertentu, lantas dianggap
benar_karena ajaran itu cocok dengan akalnya, “wah pemahaman ini enak”, “wah
ini keras seperti menjaga originalitas islam”, tanpa mendalami terlebih dahulu
atau menanyakan kepada yang lebih ahli dan obyektif. Sehingga dia masuk dan
mengikuti faham tersebut. Bisa dibilang orang semacam itu seperti untuk yang
kesana kemari tanpa tujuan. Ya, tergantung angin meniupnya kemana.
[2] Apalagi guru
memberikan tauladan bagi murid tidak hanya sekedar apa yang keluar dari mulut,
hanya kata dan teori, namun guru mencontohkannya dengan mengamalkan dan
mewujudkan keteladanan akhlak karimah dalam kehidupan nyata seorang guru.
Tauladan yang langsung dengan tindakan akan lebih kuat dan meyakinkan dari pada
tauladan dengan kata-kata.
[3] Tawadlu’
(rendah hati) merukan sifat terpuji. Orang yang tawadlu’ bukan berarti
merendahkan diri. Dia bisa, dia tahu, dia handal, tapi dia bersikap biasa
dengan kemampuan dan kelebihannya. Kalau ada orang yang ingin bantuannya, dia
akan membantu_misal membantu mengajarkan ilmu. Tawadlu’ adalah sebuah tempat
atau posisi diri antara tadhlilin nafsi (menghinakan diri) dengan
kesombongan. Merendahkan diri merupakan sifat yang diharamkan ada pada diri
manusia. Begitu juga kesombongan haram ada pada diri manusia, karena sombong
merupakan haknya Allah. (Ta’limul Muta’allim. Halm. 12)
[4] Memang betul
sekali kalau emosi atau perasaan murid menentukan hasil belajarnya. Para ahli
pendidikan mutakhir ini melakukan peneliitian tentang peran emosi dalam
belajar. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa memperhatikan emosi siswa
dapat membantu guru mempercepat proses dan aktifitas belajar. Memahami emosi
siswa juga dapat membuat pembelajaran lebih bermakna dan permanen. Penelitian
tentang otak menunjukkan adanya hubungan antara keterlibatan emosi, memori
jangka panjang dan belajar.
Ketika otak
menerima ancaman atau tekanan, kapasitas saraf untuk berfikir rasional akan
mengecil. Kondisi ini akan menimbulkan tangggapan psikologis dan dapat
menghentikan proses belajar saat itu dan setelah itu. Saat itu kemampuan dan
kemauan belajar siswa benar-benar berkurang. (Prof. Dr. H. Hamruni, M.Si. Pembelajaran
Berbasis Edutainment. Halm. 98)
Oleh karena
itu, guru harus bisa memposisikan diri, jangan membentak-bentak murid ketika
murid melakukan kesalahan. Kesalahan merupakan proses menjadi benar. Tinggal
bagaimana menyikapi kesalahan itu. Dalam suasana belajar yang penuh dengan
persaingan dan pengisolasian siswa, sikap dan hubungan yang negatif akan
mematikan siswa. (ibid. 48)
selamat membaca!!
keren artikelnya
BalasHapuskeren artikelnya
BalasHapusmakasih mas Raja Mahmud. semoga bermanfaat ya :)
BalasHapus