Aku
palin males kalau acaraku harus tertunda gara berbenturan dengan jadwal lain
ataupun dengan disuruh neng atau gus untuk melakukan suatu hal. Aku sebel aja.
Aku ngerasa aku gak punya otoritas kepada diriku sendiri. Ini punyaku. Ini
hakku. Dan aku yang berhak mengatur diriku.
Namun
itu pikiranku dulu.
Sekarang
bagaimana?
Ya
beda lah. Sekarang aku sudah menyadari kalau prinsipku dulu itu salah besar.
Aku disini hidup bukan karena diriku snediri tapi karena orang lain yang sampai
skerang aku anggap sebagai orang tuaku sendiri. Gus Shoffi. Aku kuliah dibantu.
Makan juga dikasih. Aku dihidupi disini. Oleh sebab itu, salah besar dong jika
aku mengingkari kebaikan tersebut. Dimana adab budi pekerti yang telah aku
pelajari selama sepuluh tahun. Mana wujud real dari ilnu yang telah aku dapat.
Aku juga takut jika konsep “al-ilmu bila amalin mardudun” berlaku padaku,
aktivitasku dan bahkan nafas yang aku hembuskan setiap hari. Semua akan jadi
barang rongsokan saja.
Enakan
sam’an watho’atan aja. Ayem. Tentram. Adem. Wenak pokoke. Statement tersebut
tak akan bisa digambarkan dengan lukisan yang harganya miliyaran sekalipun.
Karena ini menyangkut perasaan. Dan perasaan itu letaknya di hati. Di hati
itulah rasa nyaman, damai, cinta, kasih sayang, dan ketulusan. Coba bayangkan
kalau semua orang gak punya perasaan? Weh. Hancur lebur dunia ini. Dimana-mana
akan terjadi kriminalitas. Pembunihan. Violence. Dan_yang lagi
marak_pembegalan, sampai kalau aku lihat di TV itu subhanallah mengerikan.
Mansuia yang gak bersalah harus mati dengan tangan dan kaki terpotong-potong.
Terus dibuang di semak-semak atau di sawah.
Maksutku,
jadi orang tu yo mbok jangan neko-neko. Yang anteng dan bersahabat ngono loh,
biar tambah gemah ripah loh jinawi hati dan pikirannya.
0 komentar:
Posting Komentar