Ternyata
tak semudah yang aku kira. Menjadi orang lain di depan kalayak umum itu sangat
susah. Bukan hasil yang memuaskan tapi malah keringat seember. Bagiku malah
lebih enak ngomong biasa di depan kalayak dari pada berakting. Sebab aku harus
berpura-pura jadi orang lain. Itu susah banget.
Masak
aku harus mendesign dan merubah total diriku utuk disamapersiskan dengan orang
lain. Ngomong, jalan, melihat, mendengar, dan bahkan menguap pun aku harus
sama. Sorry broh, aku gak bisa. Namun, jangan salah. Aku sadar dibalik latihan
seperti itu_ini berlaku untuk hal lain juga_adalah sebuah proses yang tanpa
disadari akan melatih dan me-riyadh diri kita agar terbiasa dengan hal yang
sebelumnya membuat kita canggung dan nerves ketika melakukannya.
Malu
sih. Cuma ya bagaimana lagi. Toh temen-temen juga sudah memahami kalau memang
butuh waktu unuk sesuatu hal yang baru.
Dayat
ini ancen rewel!
Dia
gak pernah tenang kalo diajak kompromi untuk kelihatan berwibawa_sedikit saja
dah_di depan umum. Lantas apa dan siapa sih yang sebenarnya salah? Aku sendiri
atau Dayat?
Yat
yat..ngono kok pengen maju kalau masih minderan gitu. Terjang aja ekspresimu.
Jangan takut. Lepaskan. Wujudkan. Dan nyatakan apa yang ada di benakmu dan apa
yang dituntut suatu kondisi. Emang awalnya susah. Tapi lama-lama juga terbiasa.
Semua itu sebab kulino. Semua ini butuh proses kok. Kata temenku dulu “proses itu wajib
sebelum mencapai kebahagiaan”. Dan “gagal juga sebuah keharusan atau fardlu”,
sebab kamu akan bisa mengukur seberapa jauh dan seberapa maksimal diri kita
berusaha menggapai impian kita. Tanpa kegagalan kita tak akan merasakan
nikmatnya kemenangan. Memang ada seseorang, atlet ataupun siapa saja menang
dalam waktu sekaligus, tanpa mengalamai kegagalan dulu. Namun disitu rasa
nikmat kemenangannya kurang dapet jika dibanding dengan yang mengalami satu
kegagalan bahkan lebih.
Ngomong
kegagalan dan kesuksesan, aku jadi teringat masa kecil ketika aku masih kuliah
di diniah Qomaruddin di desa Morodemak_di desaku. Pertama kali aku masuk
sekolah tersebut, aku merasa kalau aku gak bisa apa-apa. Minder melihat
temen-temen bisa ngafalin dengan cepat dan yang paling aku irikan salah satu
dari mereka mampu mendapat pringkat rangking satu sampai tiga. Lah aku? Dua
sembilan dari empat puluh anak. Aku masih ingat betul bagaimana abahku ngamuk
aku. Bilau marah besar kalau aku tak dapat prestasi akademik. Makanya, oleh
bilau aku selalu digodok sak matenge untuk selalu semangat dalam mencari ilmu
yang benar dan akhirya dapat peringkat pertama dan bintang kelas. Sebab itu,
sejak kelas tiga awaliyah sampai lulus aku selalu mendapat nilai dan peringkat
teratas dari yang lain. Kamu pasti gak tahu bagaimana aku harus seperti makan
daun pepaya yang pahit itu untuk mendapatkan apa yang aku inginkan dan apa yang
dituntukan oleh kondisi.
“kegagalan
adalah kesuksesan yang tertunda”.
0 komentar:
Posting Komentar