Kenapa kita harus belajar kepada Shahabat
‘Ali? Bukankah kita sudah terpisah begitu jauh di dimensi yang berbeda? Kenapa
harus Shabat ‘Ali? Kok tidak Umar ibnu al-Khattab atau ‘Usman bin
‘Affan?
Bagi saya pribadi, sahabat ‘Ali merupakan
representasi anak muda yang ideal. Beliau memiliki karakter luhur yang sangat
kuat. Berprinsip baja. Berani membela yang benar. Begitu hormat dengan orang
tua – kepada Rasulullah sebagai mertuanya. Dan juga sahabat ‘Ali adalah sosok
pemuda yang cerdas, memiliki daya nalar intelektual tinggi.
Saat ini, indonesia mengalami krisis moral.
Kehabisan “stok” keteladanan dari para pemimpin bahkan ulama’. Realita tersebut
tidak bisa kita pungkiri. Nasi sudah menjadi bubur. Tidak mungkin untuk
dikembalikan. Citra sudah tercodet karena ulah-ulah mereka. Kalaupun dikembalikan,
tidak akan bisa kembali seperti semula.
Menurut Alois A. Nugroho dalam jurnal “Etika
Agama Dalam Krisis Moral bangsa” menggambarkan kepelikan krisis moral tersebut.
Korupsi – misalkan – Indonesia merupakan negara terkorup dari 16 negara tujuan
investasi di Asia-Pasifik. Dalam survei tahun 2010, indonesia menempati
peringkat pertama sebagai negara terkorup dengan mencetak skor 9,07 dari nilai
10. Posisi kedua ditempati Kamboja, kemudian Vietnam, Filipina, Thailand,
india, China, Malaysia, Taiwan, Korsel, Makao, Jepang, Amerika Serikat,
Hongkong, Australia dan Singapura sebagai negara yang paling bersih. Tapi entah
apakah di tahun 2017 ini Indonesia mampu menurunkan peringkat tersebut apa
tidak? Kita lihat saja.
Belum lagi kasus pornografi artis selebritis,
kasus kawin-cerai yang seolah-olah menjadi adat bahkan hobi di kalangan
“manusia TV”. Padahal mereka adalah figur bangsa Indonesia. Lebih ironisnya
lagi mereka tidak sekedar figur saja, akan tetapi kekuatan mempengaruhi gaya
kehidupan bangsa indonesia bisa dibilang lebih kuat dari pada ustazh ataupun
kiai. Kenapa posisi mereka tidak digunakan untuk menyuntikkan budi luhur ke
dalam kehidupan para fans-nya? Memberi contoh yang baik kepada “followers”.
Entahlah...
Sementara itu, kalangan lain menunjukkan
memudarny moralitas “Binneka tunggal Ika”. Pada Oktober 2010, lingkaran Survei
Indonesia mengumumkan hasil temuannya bahwa tingkat toleransi atas keberagaman
berdasarkan paham Bhinneka Tunggal Ika menurun drastis. Sebaliknya, pembenaran
kekerasan atas nama agama meningkat signifikan. Kasus perang antar ormas agama
sudah merebak. Misalkan antara FPI dan ormas kristen Kalimantan, antara PPI dan
GMBI, dan tentu masih banyak lagi.
Tidak mudah mengurai benang kusut dalam
kehidupan berbangsa ini. Biasanya, dikatakan bahwa harapannya terletak pada
pendidikan. Pendidikan memang salah satu jalan yang “manjur” untuk men-swicth
mental bangsa. Tetapi perlu digaris bawahi bahwa semua komponen dalam
pendidikan harus menjadi sperpart-sperpart yang satu. Tidak “mereteli”-kan diri
hanya karena ego, apalagi sampai tidak sadar atas amanah yang diemban.
Oleh karena itulah, kenapa sahabat ‘Ali saya
hadirkan spiritnya dalam artikel ini adalah untuk mengingatkan kembali
kesalihan pribadi dan sosial yang langsung diajarkan oleh Rasulullah kepadanya.
Di dalam kitab berjudul “Washiyatul Mushtafa li ‘Ali karramallahu wajhah”
ada wasiat-wasiat baginda Nabi kepada pemuda (‘Ali). Kitab ini merupakan kitab
yang syarat nilai kepemudaan. Apa pemuda seharusnya memaknainya dirinya?
Bagaimana pemuda seharusnya menghadirkan diri mereka? Orientasi apa yang
seharusnya ditaruh satu milimeter dari mata mereka?
Rasulullah SAW pernah mengundang ‘Ali ke rumah
beliau untuk berbicara empat mata dengan. “hiduplah dengan terpuji, matilah
dengan syahid...” awal percakapan baginda Nabi sebelum berkata panjang lebar
kepada menantunya tersebut. Statement di atas merupakan pion untuk menelurkan
akhlak terpuji. Seorang remaja seharusnya menghiasi hidupnya dengan aksi yang
positif. Apa dan siapa mereka tidak perduli. Menjadi terbaik tidak mengenal
kamu siapa, anak siapa, dan dari mana. Setiap pemuda ‘wajid’ menjadi yang
terbaik. apakah engkau bergelut dengan bangku sekolah atau kuliah? Maka jadilah
professor. Apakah dia adalah pekerja di warung, di pabrik atau dimanapun, maka
jadilah pembisnis, manajer, director utama.
Sehingga ketika ajal sudah tiba kita akan
meninggalkan nama yang harum, sejarah bertinta emas. Ingat! Bahwa syahid bukan the
nerrow meaning. Syahid bukan hanya hukum kausalitas peperangan. Syahid bisa
bermakna luas bahkan sangat luas seluas jagad raya. Menuntut ilmu pun bisa
menjadi faktor seseorang mati syahid. Misalkan ditengah-tengah masa menuntut
ilmu tiba-tiba Allah memanggil kita, maka kematian kita pun termasuk syahid.
Wahai pemuda! Jadilah ‘Ali di kehidupan
post-modern sekarang ini. Mengangkat harkat martabat bangsa, negara dan agama.
Hiduplah dengan menjaga akhlak terpuji dan pergilah dengan karya, prestasi,
temuan-temuan ilmiyah, fisabilillah!
0 komentar:
Posting Komentar