“banyak bicara adalah hal yang berlebihan yang
paling sering dilakukan dan paling berpengaruh. Hanya sedikit yang selamat dari
mulutnya”
Berbicara adalah nikmat yang Allah berikan
kepada hamba-Nya. Sehingga Allah menciptakan mulut dengan design dan anatomi
sedemikian rupa agar manusia ini dapat berbicara, berinteraksi, dan saling
memahami. Nikmat pemberian tersebbut seharusnya kita syukuri lewat
memanfaatkannya sebaik mungkin dalam bingkai syariat. Mulut ini digunakan untuk
berkata yang baik, jujur, menjaga aib orang lain, menjaga perasaan lawan bicara
kita. Akan tetapi banyak diantara kita lalai dengan tujuan di-print-out-nya
mulut. Hanya karena ego tinggi ingin menang sendiri, ingin dianggap paling
pinter, banyak ilmunya, sehingga kita nerocos ngalor ngidol tanpa
didasari dengan sosial-emosi. Dan pada akhirnya, yang terjadi adalah kebencian,
dendam, pembunuhan, pembacokan dan tindakan kriminal lainnya. Ini lho betapa
bahayanya bicara unlimited.
Contoh yang paling jelas adalah saat peristiwa
Ahok – ketika masih mennjabat sebagai gubernur DKI. Jakarta – berbicara tentang
hal yang tak dia ketahui dan tidak dipikirkan terlebih dahulu mengenai surat
al-Maidah, lebih tepatnya tentang pemilihan pemimpin menurut Islam. Entah apa yang sebenarnya
dalam benak Ahok, tetapi yang jelas, Ahok tidak menyetop bicaranya sehingga
omongannya kebablasan nyenggol masalah sensitif tersebut. Andai kata ahok
menyadari bahaya berbicara berlebihan, pasti dia akan mengatur kadar sejauh
mana yang harus diomongkan.
Oleh karena itu, sangat perlu diterangkan
tentang sejatinya berbicara dari dua sudut pandang. Pertama, dari sudut
pandang medis. Dilansir dari situs Brightside pada hari Kamis
(21/4/2016) ternyata keheningan sangat dibutuhkan manusia dalam kehidupannya.
Sebagaimana air jika tercampur limbah maka air tersebut akan tercemar,
sebagaimana udara yang tercemar karena polusi asap kenalpot ataupun pembakaran,
maka suara pun bisa menjadi polusi atau biasa disebut polusi akustik. Sedangkan
meminimalisir kadar bunyi yang didengar dapat mengembangkan kinerja otak.
Dengan bahasa lain dapat dikatakan bahwa sedikit berbicara dapat membantu otak
untuk rileks. Bahkan otak orang lain, tidak hanya otak kita.
Pada tahun 2013, Sebuah penelitian pernah
dilakukan untuk mengetahui pengaruh bunyi pada seekor tikus. Tikus tersebut
diberi waktu tenang tanpa bunyi apapun selama 2 jam perharinya. Dan ternyata
tikus tersebut memiliki sel-sel baru di hippocampus di otaknya yang
berperan untuk kemampuan, ingatan dan emosi.
Ketika sel-sel baru yang lebih fresh semakin
banyak, maka manusia yang berpuasa ngomong tadi akan memiliki daya kreatif yang
tinggi. Kenapa? Saat manusia beristirahat, otak akan tetap berkerja dan
mengelola segala informasi yang telah diterima. Ketika proses ini berjalan
tanpa adanya gangguan bunyi, otak akan mengintegrasikan emosi serta
ingatan yang meningkatkan daya
imajinasi. Itulah mengapa secara medis manusia dianjurkan untuk berpuasa dari kebisingan
yang dia perbuat maupun orang lain buat.
Banyak bicara juga merupakan salah satu tanda
seseorang lemah Emotional Quotient (EQ). Jika EQ ini lemah akan membawa
persoalan yang bisa mengganggu berbagai hubungan sosial. Bahkan banyak ahli
yang mengatakan EQ lebih penting dari pada IQ alias Intelegence Quotient.
Biasanya EQ sangat berpengaruh terhadap
bagaimana seseorang berinteraksi dengan yang lain. Tanpa kecerdasaan ini, kita
akan mengalam fenomena paceklik interaksi dengan teman kerja, teman, dan keluarga.
Level EQ seserang dapat diketahui dari kemampuanya mengontrol emosional
dirinya. Begitu juga sebaliknya, jika orang memilik EQ rendah, dia akan
kesulitan bersosial dengan orang lain.
Salah satu “tetenger” EQ rendah adalah
terlalu banyaknya bicara dan beradu pendapat. Hal itu kerap kali terjadi di
sekeliling kita, orang terlihat banyak bicara dan beradu argument dengan orang
lain. Orang yang lemah EQ tidak akan mengerti perasaan dan emosi orang sehingga
ia akan selalu beradu argumen dengan orang lain tanpa pertimbangan perasaan.
Agama Islam sebagai agama yang sangat rasional
(selain tentang Allah) telah memerintahkan umtanya untuk tidak over-talking.
Ini terlihat jelas dari firman Allah SWT yang ditafsirkan oleh Ibnu Kastir
Rahimahullah. Allah berfirman “tidak suatu ucapan pun yang diucapkannya
melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir (Qaaf: 18).
Kemudian Ibnu Kastir memberika komentar tentang ayat ini dengan menukil
perkataan Ibnu ‘Abbas: “malaikat pengawas mencatat setiap ucapan hamba, yang
baik maupun yang buruk...” dinukilkan dari sebagian ulama: “jikalau seandainya
engkau yang membelikan kertas catatan malaikat pengawas maka niscaya kau akan
lebih memilih banyak diam dari pada berbicara”.
Hadist dari Abu Hurairah meriwayatkan,
Rasulullah bersabda “barang siapa yang iman kepada Allah dan hari akhir maka
hendaknya dia selalu berkata baik dan kalau tidka bisa berbicara yang baik maka
diamlah. Ibnu Hajar Rahimahullah berkata: “Hadits ini termasuk jawami’ al kalim
(perkataan ringkas tapi mengandung makna yang luas -pent.), karena perkataan
itu kalau tidak baik pasti jelek atau bermuara kepada salah satunya. Yang
termasuk perkataan yang baik, segala perkataan yang dianjurkan dalam syariat
baik yang wajib maupun sunnah, sehingga perkataan jenis ini dengan segala
bentuknya diperbolehkan. Begitu pula semua perkataan yang mengarah kepadanya.
Selain hal itu, berupa perkataan yang buruk dan segala perkataan yang mengarah
kepada keburukan, seseoarang diperintahkan untuk diam ketika hendak
mengatakannya.”
An-Nawawi Rahimahullah berkata: “Apabila salah
seorang diantara kalian hendak berbicara dan pembicaraan tersebut benar-benar
baik dan berpahala, baik membicarakan perkara yang wajib maupun sunnah silakan ia
mengatakkannya. Jika belum jelas baginya, apakah perkataan tersebut baik dan
berpahala atau perkataan itu tampak samar baginya antara haram, makruh dan
mubah, hendaknya ia tidak mengucapkannya. Berdasarkan hal ini, sesungguhnya
perkataan yang mubah dianjurkan untuk ditinggalkan dan disunnahkan menahan diri
untuk tidak mengatakannya, karena khawatir akan terjerumus ke dalam perkataan
yang haram dan makruh, dan inilah yang sering terjadi.” (Syarh an-Naw awi untuk
Shahih Muslim)
Kita harus benar-benar menjaga lisan kita
serta mengatur seberapa banyak kita mengobrol. Karena kalau kita salah ngatur,
yang asalnya seharusnya sedikit – gara kecerobohan kita – menjadi banyak, maka
kita akan menjadi manusia yang paling dibenci Rasulullah. Baginda Nabi pernah mempertegaskan
bahwa kelak di akhirat, Beliau sangat benci dan menjauhi orang yang paling
jelek akhlaknya dan banyak omong serta orang yang sombong” (Shahih al-Jami’ash-Shaghir no. 1531)
Sungguh, orang yang banyak bicara akan merugi
dan terbongkar betapa nyaringnya bunyi tongnya padahal kosong. Tidak usah
terlalu banyak ngomong tanpa suatu action alias OOT (omong-omong tok).
Jika memang ada sesuatu yang salah ataupun kurang pas dengan adat, aturan,
kebiasaan di tempat tertentu, maka lebih baik langsung perbaiki dengan
perbuatan. Jangan Cuma membual ples ngotot. Yakinlah! Semakin kita banyak
ngomong, semakin terbuka luka aib kita sehingga terlihat betapa bodohnya kita.
Oleh sebab itulah, Islam menjaga betul umatnya
dari berbicara yang tak bermanfaat dengan mengatur sedemikian ketatnya. Ini
bukan berarti islam anti dengan public-speaking. Bukan! Hanya saja
kontennya ini lho yang harus dihati-hati. Jangan banyak “nerocos”
apalagi membicarakan orang lain yang tidak pernah kita rasakan dimana dan
bagaimana posisi orang tersebut.
selamat membaca :)
semoga bermanfaat :) :) jangan lupa baca juga:
http://pencilkubarokah.blogspot.co.id/2017/09/keadilan-menunggu-pemimpin-yang-adil.html
0 komentar:
Posting Komentar