About


Get this widget:

Minggu, 15 Oktober 2017

BANYAK BICARA, MAKA ETA TERANGKANLAH!!

“banyak bicara adalah hal yang berlebihan yang paling sering dilakukan dan paling berpengaruh. Hanya sedikit yang selamat dari mulutnya”
Berbicara adalah nikmat yang Allah berikan kepada hamba-Nya. Sehingga Allah menciptakan mulut dengan design dan anatomi sedemikian rupa agar manusia ini dapat berbicara, berinteraksi, dan saling memahami. Nikmat pemberian tersebbut seharusnya kita syukuri lewat memanfaatkannya sebaik mungkin dalam bingkai syariat. Mulut ini digunakan untuk berkata yang baik, jujur, menjaga aib orang lain, menjaga perasaan lawan bicara kita. Akan tetapi banyak diantara kita lalai dengan tujuan di-print-out-nya mulut. Hanya karena ego tinggi ingin menang sendiri, ingin dianggap paling pinter, banyak ilmunya, sehingga kita nerocos ngalor ngidol tanpa didasari dengan sosial-emosi. Dan pada akhirnya, yang terjadi adalah kebencian, dendam, pembunuhan, pembacokan dan tindakan kriminal lainnya. Ini lho betapa bahayanya bicara unlimited.
Contoh yang paling jelas adalah saat peristiwa Ahok – ketika masih mennjabat sebagai gubernur DKI. Jakarta – berbicara tentang hal yang tak dia ketahui dan tidak dipikirkan terlebih dahulu mengenai surat al-Maidah, lebih tepatnya tentang pemilihan pemimpin  menurut Islam. Entah apa yang sebenarnya dalam benak Ahok, tetapi yang jelas, Ahok tidak menyetop bicaranya sehingga omongannya kebablasan nyenggol masalah sensitif tersebut. Andai kata ahok menyadari bahaya berbicara berlebihan, pasti dia akan mengatur kadar sejauh mana yang harus diomongkan.
Oleh karena itu, sangat perlu diterangkan tentang sejatinya berbicara dari dua sudut pandang. Pertama, dari sudut pandang medis. Dilansir dari situs Brightside pada hari Kamis (21/4/2016) ternyata keheningan sangat dibutuhkan manusia dalam kehidupannya. Sebagaimana air jika tercampur limbah maka air tersebut akan tercemar, sebagaimana udara yang tercemar karena polusi asap kenalpot ataupun pembakaran, maka suara pun bisa menjadi polusi atau biasa disebut polusi akustik. Sedangkan meminimalisir kadar bunyi yang didengar dapat mengembangkan kinerja otak. Dengan bahasa lain dapat dikatakan bahwa sedikit berbicara dapat membantu otak untuk rileks. Bahkan otak orang lain, tidak hanya otak kita.
Pada tahun 2013, Sebuah penelitian pernah dilakukan untuk mengetahui pengaruh bunyi pada seekor tikus. Tikus tersebut diberi waktu tenang tanpa bunyi apapun selama 2 jam perharinya. Dan ternyata tikus tersebut memiliki sel-sel baru di hippocampus di otaknya yang berperan untuk kemampuan, ingatan dan emosi.
Ketika sel-sel baru yang lebih fresh semakin banyak, maka manusia yang berpuasa ngomong tadi akan memiliki daya kreatif yang tinggi. Kenapa? Saat manusia beristirahat, otak akan tetap berkerja dan mengelola segala informasi yang telah diterima. Ketika proses ini berjalan tanpa adanya gangguan bunyi, otak akan mengintegrasikan emosi serta ingatan  yang meningkatkan daya imajinasi. Itulah mengapa secara medis manusia dianjurkan untuk berpuasa dari kebisingan yang dia perbuat maupun orang lain buat.
Banyak bicara juga merupakan salah satu tanda seseorang lemah Emotional Quotient (EQ). Jika EQ ini lemah akan membawa persoalan yang bisa mengganggu berbagai hubungan sosial. Bahkan banyak ahli yang mengatakan EQ lebih penting dari pada IQ alias Intelegence Quotient.
Biasanya EQ sangat berpengaruh terhadap bagaimana seseorang berinteraksi dengan yang lain. Tanpa kecerdasaan ini, kita akan mengalam fenomena paceklik interaksi dengan teman kerja, teman, dan keluarga. Level EQ seserang dapat diketahui dari kemampuanya mengontrol emosional dirinya. Begitu juga sebaliknya, jika orang memilik EQ rendah, dia akan kesulitan bersosial dengan orang lain.
Salah satu “tetenger” EQ rendah adalah terlalu banyaknya bicara dan beradu pendapat. Hal itu kerap kali terjadi di sekeliling kita, orang terlihat banyak bicara dan beradu argument dengan orang lain. Orang yang lemah EQ tidak akan mengerti perasaan dan emosi orang sehingga ia akan selalu beradu argumen dengan orang lain tanpa pertimbangan perasaan.
Agama Islam sebagai agama yang sangat rasional (selain tentang Allah) telah memerintahkan umtanya untuk tidak over-talking. Ini terlihat jelas dari firman Allah SWT yang ditafsirkan oleh Ibnu Kastir Rahimahullah. Allah berfirman “tidak suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir (Qaaf: 18). Kemudian Ibnu Kastir memberika komentar tentang ayat ini dengan menukil perkataan Ibnu ‘Abbas: “malaikat pengawas mencatat setiap ucapan hamba, yang baik maupun yang buruk...” dinukilkan dari sebagian ulama: “jikalau seandainya engkau yang membelikan kertas catatan malaikat pengawas maka niscaya kau akan lebih memilih banyak diam dari pada berbicara”.
Hadist dari Abu Hurairah meriwayatkan, Rasulullah bersabda “barang siapa yang iman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia selalu berkata baik dan kalau tidka bisa berbicara yang baik maka diamlah. Ibnu Hajar Rahimahullah berkata: “Hadits ini termasuk jawami’ al kalim (perkataan ringkas tapi mengandung makna yang luas -pent.), karena perkataan itu kalau tidak baik pasti jelek atau bermuara kepada salah satunya. Yang termasuk perkataan yang baik, segala perkataan yang dianjurkan dalam syariat baik yang wajib maupun sunnah, sehingga perkataan jenis ini dengan segala bentuknya diperbolehkan. Begitu pula semua perkataan yang mengarah kepadanya. Selain hal itu, berupa perkataan yang buruk dan segala perkataan yang mengarah kepada keburukan, seseoarang diperintahkan untuk diam ketika hendak mengatakannya.”
An-Nawawi Rahimahullah berkata: “Apabila salah seorang diantara kalian hendak berbicara dan pembicaraan tersebut benar-benar baik dan berpahala, baik membicarakan perkara yang wajib maupun sunnah silakan ia mengatakkannya. Jika belum jelas baginya, apakah perkataan tersebut baik dan berpahala atau perkataan itu tampak samar baginya antara haram, makruh dan mubah, hendaknya ia tidak mengucapkannya. Berdasarkan hal ini, sesungguhnya perkataan yang mubah dianjurkan untuk ditinggalkan dan disunnahkan menahan diri untuk tidak mengatakannya, karena khawatir akan terjerumus ke dalam perkataan yang haram dan makruh, dan inilah yang sering terjadi.” (Syarh an-Naw awi untuk Shahih Muslim)
Kita harus benar-benar menjaga lisan kita serta mengatur seberapa banyak kita mengobrol. Karena kalau kita salah ngatur, yang asalnya seharusnya sedikit – gara kecerobohan kita – menjadi banyak, maka kita akan menjadi manusia yang paling dibenci Rasulullah. Baginda Nabi pernah mempertegaskan bahwa kelak di akhirat, Beliau sangat benci dan menjauhi orang yang paling jelek akhlaknya dan banyak omong serta orang yang sombong” (Shahih al-Jami’ash-Shaghir no. 1531)
Sungguh, orang yang banyak bicara akan merugi dan terbongkar betapa nyaringnya bunyi tongnya padahal kosong. Tidak usah terlalu banyak ngomong tanpa suatu action alias OOT (omong-omong tok). Jika memang ada sesuatu yang salah ataupun kurang pas dengan adat, aturan, kebiasaan di tempat tertentu, maka lebih baik langsung perbaiki dengan perbuatan. Jangan Cuma membual ples ngotot. Yakinlah! Semakin kita banyak ngomong, semakin terbuka luka aib kita sehingga terlihat betapa bodohnya kita.

Oleh sebab itulah, Islam menjaga betul umatnya dari berbicara yang tak bermanfaat dengan mengatur sedemikian ketatnya. Ini bukan berarti islam anti dengan public-speaking. Bukan! Hanya saja kontennya ini lho yang harus dihati-hati. Jangan banyak “nerocos” apalagi membicarakan orang lain yang tidak pernah kita rasakan dimana dan bagaimana posisi orang tersebut.

selamat membaca :)
semoga bermanfaat :) :) jangan lupa baca juga: 
http://pencilkubarokah.blogspot.co.id/2017/09/keadilan-menunggu-pemimpin-yang-adil.html

0 komentar:

Posting Komentar