SKEPTISISME;
IHTIYATHAN-INTELEKRUALITAS
Oleh: Must Hamid
Husnudhan
dan suudhan merupakan salah satu bentuk kecerobohan dalam
intelektualitas, bukan dalam hal kepada Allah. Kalau kepada Allah
muthlak kita berhusnudhan. Makanya benar jika skeptis adalah tokoh
antagonis yang tidak memiliki kecondongan. Skeptisisme merupakan
usaha kehati-hatian kita. Dari sikap skeptis tersebut akan menuntun
kita kepada level analisa, pengkajian, dan observasi, meskipun teori
tersebut sudah terbukti kebenarannya. Akan tetapi, tetap saja,
kebenaran sifatnya masih temporal.
Terkait
husnudhan, kenapa saya katakan sebagai bentuk kecerobohan? Saya akan
menjawab dengan menghadirkan contoh. Misalkan saja kita tahu teori
darwin yang menyatakan bahwa manusia itu ada berasal dari monyet.
Secara logika, teori ini unlogic.
Bagaimana mungkin dikatakan
manusia itu berasal dari monyet, sedangkan monyet zaman milinium yang
sangat canggih tidak bisa menjadi manusia. Teori ini sebetulnya dapat
dipatahkan, namun karena kita positif thinking
(husnudhan), kita
tidak mengkaji ulang dan tidak mengkritisinya.
Malah
dalam hati kita berkata “Oh, tidak perlu dikeritisi lagi, teori itu
sebetulnya udah benar. Sayangnya aja kita tidak tahu. Siapa kita?
Lebih pinter mana kita dibandingkan dengan Darwin?” Permisalan
tersebut menggambarkan bahwa teori yang sebenarnya “salah”,
menjadi tidak terkoreksi karena husnudhan kita.
Suudhan
pun bisa memalingkan dari kebenaran. Contohnya, teori tentang bumi
datar (flate earth)
adalah benar. Namun berhubung ada suudhan dalam benak dan hati kita,
pernyataan tersebut dianggap salah dan tidak mau dicari kebenaran
sesungguhnya; apakah bumi itu bulat atau datar.
Husnudhan
dan suudhan hanya akan membelokkan kita dari kebenaran. Shahabat
Ali r.a. pernah ngendiko
“jika kamu ingin mengetahui kebenaran realitas sesungguhnya, maka
buang cinta dan benci”. Stetement itu kemudian ditarik dalam
pembahasan ini bahwa jika kamu ingin melihat kebenaran empirik maka
buang husnudhan (sebagai manifestasi dari cinta) dan suudhan (sebagai
gambaran dari benci).
Sedangkan
menurut Muallif kitab I’lamul muwaqi’in,
al-Jauzy, menuturkan 3 sumber Islam; al-Quran, Sunnah, dan tidak
tahu. Maksut tidak tahu di sini adalah bentuk skeptisisme. Sebenarnya
paham tapi ingin menganalisanya lagi, mencari kejelasan, bertabayun.
Mungkin nantinya akan memperkuat atau malah justru mengkritisinya
sehingga muncul teori baru yang lebih baik dan relevan.
Tidak
tahu juga dapat dimaknai kesadaran diri akan kebodohan kita. Kita
mengerti bahwa ilmu amatlah luas. Ibarat langit, di atas langit ada
langit lagi. Oleh karena itu, kebenaran tidak akan cukup kalau hanya
dikaji dari satu disiplin keilmuan saja. Maka tidak mengherankan jika
ketika membaca kitab karangan para ‘Ulama terdahulu pasti ada
kata-kata “wallahu a’lam bisshowab”,
Allah lebih tahu kebenaran.
0 komentar:
Posting Komentar