About


Get this widget:

Jumat, 18 November 2016

SKEPTISISME; IHTIYATHAN-INTELEKRUALITAS


SKEPTISISME; IHTIYATHAN-INTELEKRUALITAS
Oleh: Must Hamid
     Husnudhan dan suudhan merupakan salah satu bentuk kecerobohan dalam intelektualitas, bukan dalam hal kepada Allah. Kalau kepada Allah muthlak kita berhusnudhan. Makanya benar jika skeptis adalah tokoh antagonis yang tidak memiliki kecondongan. Skeptisisme merupakan usaha kehati-hatian kita. Dari sikap skeptis tersebut akan menuntun kita kepada level analisa, pengkajian, dan observasi, meskipun teori tersebut sudah terbukti kebenarannya. Akan tetapi, tetap saja, kebenaran sifatnya masih temporal.
     Terkait husnudhan, kenapa saya katakan sebagai bentuk kecerobohan? Saya akan menjawab dengan menghadirkan contoh. Misalkan saja kita tahu teori darwin yang menyatakan bahwa manusia itu ada berasal dari monyet. Secara logika, teori ini unlogic. Bagaimana mungkin dikatakan manusia itu berasal dari monyet, sedangkan monyet zaman milinium yang sangat canggih tidak bisa menjadi manusia. Teori ini sebetulnya dapat dipatahkan, namun karena kita positif thinking (husnudhan), kita tidak mengkaji ulang dan tidak mengkritisinya.
    Malah dalam hati kita berkata “Oh, tidak perlu dikeritisi lagi, teori itu sebetulnya udah benar. Sayangnya aja kita tidak tahu. Siapa kita? Lebih pinter mana kita dibandingkan dengan Darwin?” Permisalan tersebut menggambarkan bahwa teori yang sebenarnya “salah”, menjadi tidak terkoreksi karena husnudhan kita.
     Suudhan pun bisa memalingkan dari kebenaran. Contohnya, teori tentang bumi datar (flate earth) adalah benar. Namun berhubung ada suudhan dalam benak dan hati kita, pernyataan tersebut dianggap salah dan tidak mau dicari kebenaran sesungguhnya; apakah bumi itu bulat atau datar. 
    Husnudhan dan suudhan hanya akan membelokkan kita dari kebenaran. Shahabat Ali r.a. pernah ngendiko “jika kamu ingin mengetahui kebenaran realitas sesungguhnya, maka buang cinta dan benci”. Stetement itu kemudian ditarik dalam pembahasan ini bahwa jika kamu ingin melihat kebenaran empirik maka buang husnudhan (sebagai manifestasi dari cinta) dan suudhan (sebagai gambaran dari benci).
      Sedangkan menurut Muallif kitab I’lamul muwaqi’in, al-Jauzy, menuturkan 3 sumber Islam; al-Quran, Sunnah, dan tidak tahu. Maksut tidak tahu di sini adalah bentuk skeptisisme. Sebenarnya paham tapi ingin menganalisanya lagi, mencari kejelasan, bertabayun. Mungkin nantinya akan memperkuat atau malah justru mengkritisinya sehingga muncul teori baru yang lebih baik dan relevan.
      Tidak tahu juga dapat dimaknai kesadaran diri akan kebodohan kita. Kita mengerti bahwa ilmu amatlah luas. Ibarat langit, di atas langit ada langit lagi. Oleh karena itu, kebenaran tidak akan cukup kalau hanya dikaji dari satu disiplin keilmuan saja. Maka tidak mengherankan jika ketika membaca kitab karangan para ‘Ulama terdahulu pasti ada kata-kata “wallahu a’lam bisshowab”, Allah lebih tahu kebenaran.

0 komentar:

Posting Komentar