Belajar
Dari 4 November 2016; Pendidikan Karakter Lebih Digemborkan lagi
Oleh:
Must Hamid
kita sering mendengar
statement “orang cerdas itu orang yang bisa mengambil hikmah dari
suatu kejadian. Bukan emosi dan egoistis yang dikedepankan dalam
menghadapi masalah. The problem is not a problem, problem is our
attitud about that problem. Pada
dasarnya, masalah bukanlah suatu masalah jika kita hadapi dengan
tenang, bijak dan kepala dingin. Kalau suatu masalah disikapi dengan
emosi, marah atau sikap negatif lainnya, tentu masalah itu akan
membuat pusing, galau dan setres.
Jadi, kita harus pandai
bersikap prespektif
taking, mencari
dan menemukan nilai dari suatu peristiwa.
Menyikapi
aksi 4 November pun harus dengan kepala dingin dan prespektif
taking. Karena di dalam kejadian
tersebut banyak sekali pelajaran yang bisa
kita petik. Dengan pendidikan
kita bisa bersikap bijaksana; menjadikan sejarah untuk rekonstruksi
hidup lebih baik.
Kenapa
kita harus melihat peristiwa
tersebut dari segi pendidikan
– lebih-lebih pendidikan karakter? Karena sebuah bangsa dianggap
maju dan canggih adalah dari karakternya. Karakter
bangsa merupakan aspek urgen yang mempengaruhi perkembangan
sosio-ekonomi bangsa tersebut.
Menurut
Vashdev, manusia adalah makhluk kebiasaaan. Semua aspek kehidupan
manusia; norma, adat istiadat, hukum serta agama, terbentuk karena
kebiasaan. Meminjam salah
satu kaedah Usul Fikih, adat/kebiasaan bisa dijadikan penentuan
hukum, “al-’adatu al-muhakkamatu”.
Semisal dalam suatu daerah masyarakatnya memiliki kebiasaan membaca
buku, lantas kita datang ke sana kemudian tidak membaca buku malah
asyik main gadget, ya,
tentu mereka akan merasa terusik, tidak nyaman dengan kehadiran kita.
Misalnya lagi, kita berada di bis mayoritas penumpangnya mainan HP
atau Tablet, sedang kita hanya duduk diam tidak ngapa-ngapain atau
kita membaca buku sendiri, tentu kita akan merasa “Gaje” sendiri.
Aksi
4 november juga bisa dikatakan sebagai wujud dari karakter. Meski
kejadiannya cuma sekali, namun pola pikirnya yang kemudian diwujudkan
dalam bentuk aksi mencerminkan bagaimana watak mereka. Apakah bisa
diajak damai, menaati aturan atau tidak. Jika dalam aksi tersebut
arogan sebagaimana
dilakukan sebagian demonstran, sudah pasti dapat diambil kesimpulan
terkait karakternya;
arogan dan mengedepankan nafsu. Itu
dari variabel peserta unjuk rasa, dari pihak yang mengatakan “
tidak
masalah jika warga yang "dibohongi pake
surah
Al-Maidah 51 dan macem-macem"
tidak memilihnya dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta”, juga dapat
dipahami bagaimana karakternya.
Akan
tetapi “yang
lalu biarlah berlalu”. Tidak perlu diungkit dan dibesar-besarkan
lagi. Tugas kita
sekarang adalah bagaimana mengambil pelajaran dari peristiwa
tersebut. Berarti pendidikan karakter bangsa Indonesia yang toleran,
berbudi luhur, sopan santun, gotong royong, saling menghormati dan
bertanggung jawab harus lebih dikencangkan lagi. Semua komponen
institusi pendidikan, sekolah sampai perguruan tinggi harus
selalu mengajarkan dan memberi tauladan akhlak mulia.
Kita
saat ini butuh orang yang menjadi panutan berperilaku luhur. Teori
sudah “bleber” saking banyaknya, sedangkan amaliahnya masih
sedikit. Oleh karena itu, pendidikan karakter harus benar-benar
digembar-gemborkan lagi
dan
pastinya diamalkan.
terima kasih sudah baca.. :)
baca juga :
0 komentar:
Posting Komentar