Rasulullah
Saw bersabda:
إن
من حق الولد على والده أن يعلمه الكتابة، وأن يحسن إسمه وأن يزوجه إذا بلغ. ( رواه
إبن النجار)
Artinya:
“Sesungguhnya
salah satu yang menjadi hak anak atas orang tuanya adalah hendaknya orang tua
mengajarinya menulis (sekolah), memberikan nama yang bagus, dan menikahkan
ketika sudah sampai waktunya.” (HR. Ibnu Al-Najar)
Ulasan:
Menurut Gus
shovie, hadist di atas menerangkan tentang kewajiban orang tua kepada anaknya.
Orang tua harus melakukan, minimal – sesuai hadist tersebut, tiga hal, yaitu:
1.
Memberikan
pendidikan
Orang tua adalah pendidik pertama bagi anak. Sebab di dalam keluarga itulah
anak pertama kali mengenal lingkungan ketika dilahirkan di dunia. Dalam
perkembangan selanjutnya keluarga juga merupakan lingkungan utama dalam
pembentukan karakter pribadi seorang anak. Masa-masa awal anak pasti lebih
banyak dihabiskan di dalam keluarga. Maka di dalam keluargalah seorang anak
manusia mengalami proses pendidikan yang pertama. Segala bentuk prilaku
keluarga, terutama kedua orang tua, baik lisan maupun perbuatan, baik yang
bersifat pengajaran, keteladanan, maupun kebiasaan-kebiasaan yang diterapkan di
dalam kehidupan sosial keluarga, akan mempengaruhi pola perkembangan prilaku
anak selanjutnya.[1] Maka
dari itu, orang tua harus memberikan pendidikan yang baik kepada anaknya.
pendidikan yang baik tersebut adalah tentang akhlak yang baik. Akhlak
adalah modal besar untuk mengembangkan sikap keagamaan anak. Kita bisa
mengambil hikmah dari tujuan pertama kali Rasulullah di utus adalah untuk
menyempurnakan akhlak mulia.
Adapun akhlak Islam yang dapat dikatakan sebagai akhlak yang Islami adalah
akhlak yang bersumber dari ajaran Allah dan Rasulullah. Akhlak Islami ini
merupakan amal perbuatan yang sifatnya
terbuka sehingga dapat menjadi indikator apakah seseorang muslim yang baik atau
buruk. Akhlak ini merupakan buah dari akidah dan syariah yang benar.[2]
2.
Memberikan Nama yang Baik
Fungsi utama pemberian
nama kepada anak adalah fungsi referensial, yaitu memberi identitas sebuah maujud atau
insan, sehingga yang maujud atau insan dapat dikenali dan dibedakan dari maujud
atau insan yang lain. Identitas tersebut bisa berupa identitas kedaerahan,
keimanan atau status sosial.
Bahkan tidak hanya sekedar itu, nama adalah media untuk menegosiasikan
berbagai identitas yang ada di dalam masyarakat, misalkan masyarakat yang
kental adat jawanya akan memberikan nama kepada anaknya nama jawa, seperti
Paijo, Paijan, Painem, atau yang lain. berbeda dengan orang yang suka dengan
bahasa Arab, mereka akan memberikan nama yang berbahasa arab, seperti Wahid,
Hamidah, Hidayat dan yang lain-lain. Masyarakat dapat menonjolkan identitas
tertentu atau menyembunyikan identitas tertentu melalui nama.[3]
Nama juga merupakan media ampuh untuk menaikkan status sosial seseorang. menurut
Nurhayanti(https://media.neliti.com/media/publications/4989-ID-negosiasi-identitas-dalam-pemberian-nama.pdf,
akses 30 April 2018), berdasarkan hasil penelitiannya di desa Gotputuk,
mengatakan bahwa masyarakat Gotputuk yang pernah mengenyam pendidikan tinggi
atau merantau di kota-kota besar dan kemudian kembali ke desa, akan merasa
bahwa desa Gotputuk adalah desa pelosok. Oleh karena itu, dengan memberi nama
yang bercorak ‘urban’ atau ‘global’ sebagian masyarakat tersebut ingin
menunjukkan identitas yang berbeda, yaitu bukan lagi bagian dari masyarakat
pedesaan umumnya. Dengan demikian, secara tidak langsung, kelompok ini berupaya
untuk menaikkan status sosial mereka.
Inti dari pembahasan poin nama ini adalah nama memiliki peran penting dalam
pribadi individu yang akan mencerminkan pola pikir masyarakat dan tentu
keluarga. Oleh karena itu, orang tua harus memperhatikan nama anak. Jangan
memberikan nama anak sembarang apalagi nama yang memiliki arti jelek.
3.
Menikahkan
anak
Puncak kewajiban orang tua kepada anaknya adalah menikahkannya. Setelah
anak sudah sampai pada usia baligh dan meminta dinikahkan, maka wajib bagi
orang tua untuk menikahkannya.
Sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Annas r.a. rasulullah Saw
bersabda:
“Seorang anak disembelihkan aqiqah, diberi nama dan dibersihkan (dari
kotoran) yang membahayakan pada usia tujuh hari, apabila sampai pada usia enam
tahun maka didiklah. Jika sampai pada usia sembilan tahun pisahkan tempat
tidurnya. Jika sampai pada usia tigabelas tahun telah melaksanakan shalat dan
apabila umurnya sampai pada enam belas tahun maka nikahkanlah, lalu pegang
tangannya dan katakan: sungguh telah aku didik engkau dan telah kuberi ilmu dan
telah aku nikahkan engkau maka aku berlindung kepada Allah dari fitnahmu di
dunia dan azabmu di akhirat.”
Salah satu kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah menikahkan anaknya
ketika dirinya sudah siap. Jika orang tua mengabaikan hal ini, kemudian anaknya
terjerumus dalam lubang perzinaan, maka orang tuanya juga yang akan ikut
terkena akibat perbuatan anaknya. Rasa malu dan hancurnya harga diri di tengah
masyarakat merupakan imbalan yang langsung Allah turunkan di dunia. Belum lagi
siksaan diakhirat kelak yang lebih dasyat lagi mengerikan.
Oleh karena itu, ketiga kewajiban bagi orang tua tersebut harus
diperhatikan. Anak-anak harus dipenuhi kebutuhan pendidikannya, diberikan nama
yang paling bagus, kemudian menikahkan anaknya ketika sudah siap untuk menikah.
Wallahu a’lam.
[1] Hasbi Wahy, “Keluarga Sebagai
Basis Pendidikan Pertama Dan Utama,” Jurnal Ilmiah Didaktika 12, No.
2 (1 Februari 2012), Https://Doi.Org/10.22373/Jid.V12i2.451.
[2] Syarifah Habibah, Akhlak dan
Etika dalam Islam, Jurnal Pesona Dasar, vol. 1, No. 4, Oktober 2015, halm.
74
[3] “4989-ID-negosiasi-identitas-dalam-pemberian-nama.pdf,”
diakses 28 April 2018,
https://media.neliti.com/media/publications/4989-ID-negosiasi-identitas-dalam-pemberian-nama.pdf.
0 komentar:
Posting Komentar