Tadi siang, ketika aku dipaksa untuk berfikir
Tentang sesuatu yang besar,
Tentang sesuatu yang benar-benar membuatku rela tirakat,
Ada semacam firasat jikalau aku menenggelamkan diriku
Kembali ke dalam bejana sebagai harapan dan cita-cita
Tapi, katanya aku terlalu berambisi untuk terus menulis
Memang, aku juga merasakannya
Sampai-sampai aku tidak memperdulikan bahasa
Tanpa memperdulikan takdirnya – lebih tepatnya
Kemudian aku bertanya ketika dia sejenak hilang
“Sagaimana caramu menodong perasaan itu,
Sehingga memuntahkan semacam rasa nyaman dihati mereka?”
Katanya lagi:
Semua itu tergantung bagaimana penyair mentadaruskan puisinya
Tergantung bagaimana imajinasi mengental di atas mangkokku
Tergantung bagaimana aku membaca kembali titik-titik
Yang menggelitikku – kemarin pagi.
Dan proses zat-zatnya membludak
Menjadi endapan-endapan bahasa pun relatif
Bisa satu menit
Dua minggu
Tiga bulan
Bahkan berabad-abad
Tapi...
Bukankah cara penyair menyelami bait mereka berbeda-beda?
3
Januari 2018
Terimakasih kawan sudah membaca puisi ini, semoga bermanfaat dan bisa diambil yang positif. amin.
selalu kunjungi blog ini, okey :) :)
jangan lupa juga baca ini ya https://pencilkubarokah.blogspot.co.id/2017/12/ombak-samudra-yang-tersisa-di-dalam.html
jangan lupa juga baca ini ya https://pencilkubarokah.blogspot.co.id/2017/12/ombak-samudra-yang-tersisa-di-dalam.html
0 komentar:
Posting Komentar