Semenjak pulang dari rumah selama seminggu
kemarin, menjalani kehidupan di Jogja seperti membuka lembaran baru. Aku
memulai segala hal disini dengan semangat yang baru. Apalagi soal perkuliahan
yang sempat terbengkalai, skripsi terjebak macet panjang diantara berbagai
aktifitas sampahku semisal main game, molor sepanjang hari dan kawan-kawan.
Padahal seharusnya aku sudah menyelesaikannya dan diwisuda secepatnya. Karena
berbagai aktifitas yang membutakan mataku itu sehingga aku tidak bisa
membedakan mana yang fardlu dan mana yang haram bagi seorang akademisi.
Aku sudah menyadari kesalahanku itu satu hari
sebelum aku pulang ke Demak. Sampai aku bilang ke teman sekamarku bahwa aku
berjanji setelah pulang dari Demak, segera mungkin permasalahan kampus dan
tetek-bengeknya akan aku rampungkan. Janji itu adalah langkah pertamaku memulai
lembaran baru, aktifitas yang lebih bermakna, dan untuk menggapai masa depan
yang lebih cerah. Andai kata nanti ditengah berkecamuknya perang, aku dipandang
sebelah mata sebab – misalkan – aku tidak lagi mengurusi kebersihan badanku,
atau rambutku yang awut-awutan, tidak akan aku perdulikan. Seekor ulat sebelum
menjadi kupu-kupu indah, terlebih dahulu menjadi sosok yang menjijikkan.
Mempuasakan dirinya dari gensi yang tidak menjamin kepastian dan mentirakati
cita-citanya dengan ketawadluannya. Masa aku kalah dengan seekor ulat, bro? Mau
kusembunyikan dimana lagi mukaku?
Aku sudah tidak punya tempat lagi untuk
menyembunyikan mukaku dari omongan orang yang menganggap aku adalah orang yang
paling hebat. Sementara itu, diriku sendiri bukan siapa-siapa.
Anggapan-anggapan itu adalah aib bagiku. Sudah cukup telinga ini mendengar
mereka. Tapi aku bersyukur karena Allah masih memberikan kesempatan ini
sehingga sekaranglah aku melangkahkan kaki, memulai diri yang dewasa
mempertanggungjawabkan cita dan mewujudkannya.
Jogja, 01-10-18
0 komentar:
Posting Komentar