Pedidikan seharusnya menjadi media
pembebasan, bukan penindasan yang melahirkan sistem perbudakan baru. Pengembangan
individu, fitrah dan potensi diri adalah dengan melalui pendidikan. Mungkin kita
akan lebih jelas ketika kita mengingat statement tentang pendidikan yang sangat
terkenal, “education is humaning a human”.
Pendidikan adalah memanusiakan manusia. Di dalam al-quran surat Yunus ayat 71-72 cukup mewakili dari para kaum hawa yang
tertindas intelektualitas. Di dalam surah tersebut diterangkan bahwa laki-laki
dan perempuan mempunya hak yang sama dalam hal menjalankan perintah, berbuat
baik, sedekah, haji, puasa dan semua yang diperintahkan agama. Wanita dan
laki-laki memiliki hak sama termasuk dalam menuntut ilmu. Dan adari ayat itu
juga dapat diambil kesimpulan bahwa prinsip gender adalah tentang kesama-rataan
wanita dengan laki-laki dalam hal intelektual bukan dalam hal boleh mengambil
job diluar rumah hingga tugasnya tidak bisa dijalankan secara penuh!
Maksut gender
pada saat ini banyak disalah-artikan. Gender dipahami dengan artian yang
melenceng dari prosedur islam. Wanita saat ini boleh bekerja, pergi keluar
rumah ataupun yang lain tanpa seizin suami, orang tua atau keluarganya. Semua
tergantung suami, orang tua atau keluarga adalah bentuk diskriminasi. Banyak
sekali prinsip yang berkembang di masyarakat bahwa perempuan itu hanya berdiam
dirumah, mengurusi anak dan suami. pemahaman yang mengatakan wanita harus
dijaga oleh mahram adalah bentuk diskriminasi itu salah besar. Melarang wanita
keluar rumah tanpa mahram, melakukan pekerjaan sampai membuatnya kurang optimal
untuk menjalankan tugasnya sebagai wanita yang harus menjaga kehormmatannya
atau sebagai istri dan ibu rumah tangga, justru semua itu merupakan bentuk
menspesialkan, memuliakan wanita. Bahkan sudah menjadi kebiasaan masyarkat arab menempatkan wanita di tempat yang mulia
sehingga tidak melibatkan mereka dalam kesulitan.
Sebenarnya banyak
sekali referensi tentang gender yang membenarkan ajaran islam, jika kita mau
membacanya. Namun maksut gender yang
utuh disalahpahami bahkan baca buku-buku gender tersebut cuma separuh-separuh.
Oleh karena itu, tidak hayal jika pemahamannya separuh-separuh juga. Di dalam
buku jurnal PAI UIN Sunan Kalijaga Vol. VI, No. 1, 2009 disimpulkan bahwa;
Dari segi kebebasan
memperoleh pendidikan, perempuan islam ternyata tidak mengalami hambatan yang
berarti termasuk dari para pemilik otoritas hukum islam yang pada
perkembangannya didominasi oleh kaum laki-laki. Dengan data yang masih terbatas
tesis yang dikemukakan sebelumnya tidak dapat dibenarkan. Akan tetapi
kesempatan pendidikan perempuan dibandingkan laki-laki seperti dikemukakan oleh
Imam Fuadi, kaum wanita memperoleh kesempatan lebih kecil dalam pendidikan dan
pengajaran dibanding laki-laki.
Kemungkinan yang melatar belakangi
kesenjangan ini adalah masih kentalnya budaya masyarakat muslim yang
beranggapan bahwa anak permepuan belum diinginkan berpendidikan tinggi, para
orang tua sudah merrasa cukup jika wanita telah mendapat pendidikan dasar,
kemudian diberi keterampilan rumah tangga agar siap menjadi ibu rumah tangga
atau istri.
......menurut Haiffa
faktor penyebab utama adalah: (1) adat istiadat pra islam yang muncul kembali
khususnya pada periode Abasiyah. (2) terdapat beragam perilaku sosial dari
masyarakat yang ditaklukan islam yang merembes ke dalam budaya islam
berasimilasi sehingga menjadi norma sosial yang diidentifikasi sebagai norma
islam. Deklinasi ini dipercepat dengan terjadinya tragedi invasi Mongol dan
Turki bersamaan dengan penurunan civilitation of islam. Masa ini wanita
islam terabaikan dan hanya dihargai sebagai objek seksual, kidung pelipur lara...tetapi
tekanan terburuk dari semua itu adalah pengingkaran haknya untuk memperoleh
pendidikan.
Dari uraian di
atas dapat dipahami bahwa adanya isu gender merupakan bentuk protes
diskriminasi intelektual kaum hawa. Bukan masalah kebebasan wanita
untuk keluar ruma, mengabil pekerjaan tanpa izin dari suami atau orang tuanya.
Hal yang biasa
diapakai untuk membenarkan gender yang diartikan oleh orientalis adalah
tokoh-tokoh perempuan, seperti Siti Aisyah dan Khodijah. Mereka berdalih bahwa
aisyah memiliki peranan sosial sebagai pemimpin umat islam, sehingga wanita
boleh mengambil peranan politik; Khodijah adalah sosok wanita yang kaya raya,
sehingga wanita boleh bekerja. Memang betul prempuan mempunyai hak politik dan
hak untuk memiliki harta. Islam pun mengakui itu. Namun yang perlu ditanyakan
apakah khodijah masih bekerja ketika sudah menikah dengan Nabi? Apakah Aisyah
bisa menjadi pemimpin yang bertugas memikirkan negara secara langsung ketika
Nabi masih hidup? Tidak. Khodijah bisa mencari uang karna belum dinikah oleh
Rasulullah. Aisyah tidak boleh bepergian kecuali ada teman perempuan yang
mendampingi atau ditemani langsung oleh Nabi. Sehingga perlu digaris bawahi
bahwa semua itu harus seizin suami. Hal ini untuk menjaga kesucian wanita
tulang rusuknya laki-laki. Apapun yang sudah ditentukan islam pasti lebih besar
mashlahahnya.
Satu tokoh lagi
yang selalu dikoar-koarkan oleh mereka adalah R.A. Kartini. Beliau adalah tokoh
emansipasi wanita. Namun mereka kurang memahami apa yang dikritiki oleh Kartini
dalam surat-suratnya. Menurut Efatino Febriana dalam bukunya “ Kartini Mati
Dibunuh”, Kartini menuliskan suratnya yang terkenal dengan judul Habis gelap
terbitlah terang sebenarnya sebagai ungkapan kesalnya atas perlakuan orang jawa
terhadap gadis remajanya. Waktu itu gadis jawa yang sudah remaja harus
dipingit. Artinya mereka tidak boleh keluar rumah, mereka harus melakukan
tugasnya di dapur dan tidak boleh melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih
tinggi. Sehingga wujud akhir dari hasratnya bukan perkantoran ataupun partai
politik namun berdirinya sekolah khusus
wanita. Dan juga harapan beliau yang tersirat dalam tulisannya dengan adanya
sekolah tersebut adalah pengetahuan istri bisa mengimbangi pengetahuan
suaminya.
Jadi, makna
jender sejatinya adalah penyamaan hak dan martabat wanita dalam pendidikan.
Sehingga perempuan bisa menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya dan bisa
bersikap dewasa. Semua sudah ada tugas masing-masing. Suami tugasnya
melindungi,menyayangi, mencintai dan mencari nafkah untuk istri dan
keluarganya. Sedangkan istri tugasnya menjaga harta suaminya, menjaga, mendidik
dan menyayangi anaknya. Jadi jelas bahwa semua punya tugas masing-masing yang
akan dipertanggungjawabkan. Tidak ada pihak yang didiskriminasi, semua memliki
peran masing-masing.
0 komentar:
Posting Komentar