ORANG TUA
MENGANTARKAN ANAKNYA KEPADA AGAMA DAN AKHIRAT
oleh: Must Hamid
Kita
– termasuk saya (dulu) – tentu mempunyai pemahaman bahwa guru –
lebih-lebih Kiai – adalah orang yang harus kita hormati lebih dulu
ketimbang orang tua. Sebab mereka mengantarkan kepada agama;
mempelajari agama sehingga tahu agama. Mereka juga yang menuntun kita
menuju akhirat; mendidik kita supaya mengorientasikan tujuan hidup
ini menuju akhirat, yang kekal. Sedangkan orang tua hanya dianggap
sebagai lantaran anak ada di dunia ini kemudian memberi makan hingga
tumbuh besar.
Nah,
saya tidak setuju dengan stetemen bahwa orang tua adalah sebab
kehadiran anak di dunia ini kemudian mencari nafkah agar bisa makan
dan tumbuh menjadi besar tinggi. Orang tua semuanya, baik yang ahli
agama maupun yang tidak tahu apapun sekaligus – tidak menuntun anak
kepada agama dan akhirat.
Ketika
hanya melihat wujud fisik, anak belajar ilmu agama kepada guru atau
Kiai dan tinggal di lembaganya misalkan Pesantren, memang mereka lah
yang menuntun anak didiknya kepada pemahaman agama dan akhirat. Namun
permasalahannya, kita tidak melihat kenapa anak ini bisa sampai
disini? Siapa yang mendukung dan merestuinya? Tentu orang tua.
Karena
rasa sayang dan cinta serta kesadaran orang tua bahwa dia tidak tahu
agama, tidak ada waktu untuk mendidik anaknya, mereka ikhlas
menitipkan anaknya ke pesantren, asrama atau yang lain demi kebaikan
anaknya. Bapak ibu jelas merasa berat jika anaknya jauh darinya.
Karena cinta dan kesadaran itulah orang tua mendorong anaknya untuk
belajar dengan menitipkannya kepada orang yang ahli dalam dalam
bidang agama. Sehingga pesantren, asrama atau sekolah penuh dengan
anak-anak yang mau belajar.
Seorang
muslim menjalani hidupnya hendaknya dengan berpijak pada
aturan-aturan Allah dan Rasulullah baru kemudian Ulama. Menyikapi
permasalahan ini pun harus dilihat terlebih dahulu dalil-dalil
nashnya. Lalu kita bisa membandingkan antara ayat-ayat dan juga
hadisnya. Sehingga bisa diketahui mana yang dihormati pertama kali
dan kedua kali. Harapan akhirnya kita bisa tahu bahwa orang tua lah
yang pertama kali harus kita hormati kemudian guru atau kiai, atau
menghormati guru dalam rangka memuliakan orang tua.
Banyak
sekali dalil, baik al-Quran, Hadis maupun pendapat Ulama yang
menerangkan permasalahan berbakti kepada kedua orang tua dengan
kalimat yang jelas dan eksplisit. Dibandingkan dengan dalil nash
tentang berbakti kepada guru, dasar birrul walidain lebih
kuat. Karena ada beberapa alasan, pertama,
statement dalilnya
sangat jelas sehingga tidak membutuhkan penafsiran. Kedua,
jumlah dalil lebih banyak tentang menghormati kepada orang tua,
sedangkan dalil menghormati guru jumlahnya sedikit.
Oleh
karena itu, menghormati orang tua harus diperioritaskan ketimbang
hormat ke guru. Jika ada suatu pertentangan pendapat orang tua dengan
guru, kita hendaknya lebih mementingkan pendapat orang tua tanpa
mengacuhkan pandangan guru. Kita bisa saja mengkomunikasikan terlebih
dahulu kepada guru terkait keinginan orang tua. Kalaupun nanti guru
tidak setuju kita bisa berbicara secara halus dan jelas. Adapun jika
guru benar-benar tidak mengizinkan, ya, kita ngomong apa adanya
kepada orang tua. Yang terpenting dalam hati sudah kita niatkan untuk
mementingkan orang tua, kita
niat mengamalkan dalil-dalil alquran tersebut; birrul
walidain.
Dari
analisa diatas, saya ingin mengajak siapapun, baik yang guru, kiai
maupun calon guru, calon
kiai, hendaklah menyadari
bahwa orang tua lah yang harus dihormati anak terlebih dahulu.
Apalagi orang tua pasti sangat ingin melakukan sesuatu untuk anaknya.
Kalau misal pandangan orang tua tadi, bagi guru, kurang baik, cobalah
untuk mengkomunikasikannya kepada orang tua anak. Jangan langsung
melarang anak mengikuti kehendak orang tua. Selain mengingat
dalil-dalil nash di atas, juga dampak pemahaman tersebut bagi anak.