“Nang, Ibu kemaren habis dari rumahnya Bu Yuni. Anaknya
pulang dari Semarang, liburan kuliah di rumah. Semesternya sama kayak kamu,
Nang. Dia jurusan dakwah... dan dia kuliah dibiayai pemerintah. Satu tahunnya
dikasih duapuluh juta,” Kata Siti kepada Kumaidi.
Kumaidi diam saja mendengarkan omongan ibunya. Tetapi
batinnya berbicara bahkan ingin berteriak. Aku baru pulang dari pondok ibu. Aku
tidak suka dibanding-bandingkan seperti itu. Jalan rizki orang berbeda-beda,
Ibu, batin Kumaidi. Laki-laki yang jarang sekali pulang kampung karena mondong
itu terus menerus memandangi ibunya. Dia berusaha memaklumi ibunya seperti itu.
Orang tua perempuan tentu ingin mendapat sesuatu dari anaknya.
Siti duduk di samping putranya di sofa ruangan depan.
Orang-orang terlihat berlalu-lalang dari dalam rumah. Suara mesin perahu
berangkat menuju laut mencari nafkah terdengar begitu memekak telinga Kumaidi –
maklum, sudah lama kupingnya tidak terbiasa dengan suara seperti itu. Angin
sore sedikit merasuk lewat cela jendela dan pintu, menerpa kulit Kuamidi. Dia
kembali memandangi ibuknya.
Mata Siti begitu tenang dan dalam menikmati the best movie alami di luar sana.
Kumaidi berusaha menafsirkan arti tatapan itu. Berharap? Kecewa? Atau putus
asa? Kumaidi menghela nafas.
“Nang, sudah makan belum tadi?” tanya Siti menoleh ke
anaknya yang kedua itu sembari bangkit dari duduknya.
“Belum, Bu,” Jawab Kumaidi tersenyum lembut.
Siti membalik tubuhnya melangkah menuju dapur. Tubuhnya
semakin gelap masuk ke belakang rumah, segelap usianya yang sudah tua. Tangan
kanan Kumaidi menyangga dagu, kembali asik melihat suasana sore di kampungnya.
Ah, suasana seperti inilah yang selama ini aku rindukan di Jogja.
Tidak beberapa lama ibunya datang dengan dua mangkok di
tangannya. Asap mengepul sangat jelas dari ke dua piring. Siti menaruh kedua
mangkok tadi ke depan anaknya. Kumaidi memandangi isi kedua mangkoknya; yang
kanan berisi nasi putih yang masih panas dan samping kiri ada ikan dimasak
dengan kuah khas daerah Morodemak, orang-orang biasa menyebutnya Pindang Rujak – ya, itu makanan kesukaan
Kumaidi.
Kumaidi begitu lahap memakan masakan ibunya seperti orang
yang sudah tiga hari tidak pernah makan. Siti merasa kasihan melihat anaknya
begitu krangasan makan makanan kesukaanya. Di Yogyakarta tentu tidak ada yang
jualan Pindang Rujak. Bahkan temennya cewek di pondol yang satu desa dengan
dia, mustahil mau membuatkan makanan kesukaannya. Apalagi istri, wong dia itu
jomblo akut. LOL!
Setelah kenyang dan membersihkan tubuhnya, Kumaidi
kemudian mengambil wudlu untuk melaksanakan shalat Asar dan Zhuhur. Memang tadi
di tengah perjalanan dia berencana menjamak ta’khirkan ke dua shalat tersebut.
“Assalamu’alaikum
wa rahmatullah...” ucap
Kumaidi dengan khusuk mengakhiri shalat Asar dilanjutkan membaca zikir yang
selama ini diajarkan di pondok.
Di tengah kekhusukannya bibir bergetar melantunkan
asma-asma Allah, telinganya terganggu suara langkah kaki. Langkah itu
pelan-pelan mulai mendekat dan jelas. Kumaidi dalam hati menebak siapa yang
sedang berjalan di sana. Ya, bapaknya baru saja pulang dari mengajar di
Madrasah Diniyah Qamaruddin.
Kumaidi yang sedang memutar tasbih duduk di atas sajadah
langsung menghentikan zikirnya untuk menyambut bapaknya. Kumaidi melangkah
keluar dari mushala kecil di dalam rumahnya. Kepalanya menyembul dari pintu,
menoleh ke sosok laki-laki tua memakai baju batik hijau dan peci hitam berdiri
di samping meja makan.
“Assalamu’alaikum, Bapak,” ucapnya kemudian. Kumaidi
menyalami dan mencium tangan bapaknya.
“Kapan sampai rumah, Nang?” tanya bapaknya membalas
jabatan tangan anaknya.
“Baru aja tadi jam empat sampai di rumah, Pak.”
“Tadi macet tidak?” tanya bapaknya sembari membenahi
kursi, hendak duduk.
“Alhamdulillah, tidak macet, Pak. Lancar banget tadi
perjalanannya,” jawab Kumaidi sambil tetap berdiri sampai bapaknya, Fauzi,
mempersilahkannya duduk di sampingnya.
Mereka berdua asik mengobrol ini dan itu terkait
perkuliahan dan pondok. Sedangkan Ibunya, entah dari tadi tidak muncul lagi.
Kumaidi bertanya-tanya dalam hati kemana ibunya pergi. Paling lagi cari ikan
cumi-cumi, pikirnya. Ya, cumi-cumi adalah makanan yang paling Kumaidi sukai.
Pokoknya paling gila kalau lihat cumi-cumi.
Dan benar dugaannya. Ibunya pulang dengan menenteng satu
kantong plastik besar, isinya cumi-cumi. Bibir Kumaidi tergambar senyuman
sumringah. Inilah yang dinanti-nanti. Baginya, daging kerbau, sapi ataupun
kambing tak selezat daging cumi-cumi.
“Itu cumi-cumi iya, Bu?” tanyanya memastikan.
“Iya. Kesukaan kamu to,” jawab Siti sembari menaruh
keresek hitam di samping kolam.
Tampak cahaya jingga menyeleret di atas rumah-rumah, awan
yang tadinya putih sekarang ketularan jingga. Tapi semakin indah pemandangan
itu menancap setiap mata yang memandang. Terkadang angin yang tertiup kencang
menggoyang lembut kabel listrik melintang di atas rumah mungil Kumaidi.
Sekelompok burung putih berleher panjang terbang serempat seolah pasukan baris
bebaris. Indah.
***
Setelah menunaikan shalat Maghrib berjamaah di rumah,
Kumaidi langsung membuka laptopnya. Dia tidak memilih shalat di mushala desa
karena dia masih malu untuk bergaul dengan masyarakat. Bagaimana tidak malu?
Wong dia jarang di rumah, tiba-tiba nongol begitu saja. Rasanya seperti orang
lain.
Jari jemarinya lumayan lincah loncat dari tombol satu ke
tombol yang lain. Dia sudah terbiasa mengetik. Sudah sekitar empat tahun dia
berkutat dengan tombol laptop. Dan selama empat tahun itu, hampir setiap hari
dia mengetik karena dia ingin membuat buku sendiri. Saat ini sedang proses menyelesaikan
naskah yang ke sepuluh tentang antologi cerpennya. Semua naskah itu pernah ia
kirim ke beberapa redaksi. Namun, semuanya ditolak. Meski begitu dia tetap
menulis dan mengirimkannya hingga sekarang. Sebab tujuan dia menulis bukan
untuk honor ataupun ketenaran. Dia menulis karena dia suka menulis dan ingin
memberi manfaat kepada orang lain.
Dia duduk di sofa yang sudah robek pada bagian tertentu.
Kumaidi menatap tulisan-tulisan yang mulai tersusun di layar laptop dengan
sangat fokus. Terkadang, karena punggungnya merasa capek duduk, dia berdiri dan
berjalan-jalan sebentar untuk menghilangkan capeknya. Di atas meja samping
laptop ada segelas kopi menemaninya serta lampu yang terang menyebar cahaya ke
seluruh ruangan.
Setelah capeknya hilang, Kumaidi kembali duduk dan fokus
dengan karangan ceritanya. Ruangan tamu yang lumayan kecil menjaganya dari
gangguan luar. Satu lukisan buatan tangan Kumaidi sendiri juga tidak lupa
menyertainya dengan berdiam diri di belakangnya.
Kumaidi menoleh ke arah kiri, ternyata ibunya sudah duduk
bersamanya. Ibunya menoleh ke anaknya kemudian beralih menoleh ke layar laptop.
“Nulis apa, Nang?” tanya Siti kemudian.
“Kumaidi sedang nulis cerpen, Bu,” jawabnya sambil
menghadapkan laptop ke depan ibunya. “Rencananya Kumaidi ingin membuat buku
lagi, Bu,” lanjutnya.
“Lho yang kemarin belum diterbitkan juga?” tanya Siti.
“Belum, Bu. Aku juga bingung kenapa kok tidak kunjung diterbitkan.”
“Ya sudah, Nang. Yang sabar ya. Kalau di penerbit itu
tidak terbit, coba kirim lagi ke penerbit lain. Siapa tahu lolos, Nang,” kata
Siti mencoba menghibur anaknya.
“Iya, Bu. Aku edit dulu sebelum kukirim ulang. Biar
kesalahan-kesalahan penulisan tidak terlalu banyak.”
Fauzan, bapak Kumaidi, berjalan menghampiri mereka berdua
sedang asik duduk-duduk di sofa. Siti menoleh ke belakang lalu berdiri,
mempersilahkan Fauzan duduk lebih dekat dekat Kumaidi.
“Silahkan duduk, Pak,” ucap Kumaidi mempersilahkan.
Fauzan kemudian duduk di sebelah kiri anaknya. Sedangkan
Siti pindah posisi ke sebelah kanan Kumaidi. Suasana malam ini, berkumpul
dengan keluarga terasa lebih hangat dari empat tahun dahulu sejak dia lulus
dari MA Raudlatul Ulum Guyangan. Mungkin karena Kumaidi sudah dewasa dan paham
makna kekeluargaan. Mereka bertiga berbincang-bincang tentang kehidupan yang
mereka alami masing-masing akhir ini.
“Bapak tadi mengajar di kelas dua awalah. Pelajaran Musthalahatut Tajwid. Masya Allah,
bandelnya minta ampun. Apalagi anaknya Bidin, itu malah kurang ajar dengan
guru,” curhat Fauzan kepada anaknya.
“Lho, kurang ajar bagaimana, Pak?” tanya Kumaidi antusias
mendengar cerita bapaknya.
“Lha iya, dia kan tidak hafal nazham tajwid otomatis
mendapat hukuman. Bapak suruh dia berdiri malah tidak mau. Dan ngeyel pingin
duduk. Mau dikasar, nanti malah nambah masalah bapak. Tidak dikasar malah
ngelunjak.”
“Sabar, Pak. Menjadi seorang guru memang seperti itu
cobaannya. Yang paling penting adalah niat kita dan rasa sayang kita kepada
murid. Nanti lama-kelamaan murid itu akan sadar sendiri. Kalau sudah besar
nanti dia akan mikir sendiri,” kata Kumaidi kepada ayahnya.
“Tapi, terkadang bapak ini juga gregetan, Nang.”
“Nggeh bagaimana lagi, namanya juga anak kecil, Pak.”
Siti
sibu sendiri menghitung uang hasil penjualan minyak tanah di rumah sendiri.
Sumber usahanya cuma satu itu. Kalau tidak mempertahankan usaha tersebut, dia
dan keluarga makan apa nanti, meski dilanda keadaan daerah yang kurang
mendukung. Beberapa kali Siti menjilat ujung jarinya ketika hendak menggeser
lembaran-lembaran uang kertas.
“Semoga
saja mondok dan kuliahmu cepat lulus, ya, Nang. Teru s lanjut S2 dengan
beasiswa. Sekolah malah dibiayai. Enak, Nang. Zarah itu juga S2-nya beasiswa.
Pertahun dikasih uang pemerintah sepuluh juta,” kata Siti setelah selesai
menghitung penghasilan harian.
Kumaidi
tersentum menoleh ke arah ibunya yang juga tersenyum kepadanya. “Iya, Bu.
Kumaidi mohon doa dan restu Bapak dan Ibu,” lanjutnya menoleh ke Ibu dan
Bapaknya.
“Pasti
kami doakan, Nang. Semoga mondok dan kuliahmu cepat selesai tepat waktu dengan
nilai yang memuaskan. Sehingga nanti mudah untuk S2,” imbuh bapaknya.
“Amin,”
kata Kumaidi.
Kumaidi
tersenyum yang ke sekian kalinya. Akan tetapi, apa yang tampak dari luar, tidak
sama dengan apa yang dirasakan di dalam. Memang dari luar Kumaidi tampak biasa
saja bahkan dia selalu tersenyum, tetapi di dalamnya ada tekanan yang cukup
berat. Bagi dirinya, meski orang tuanya tidak ngomong secara langsung, dia
harus cepat-cepat bisa menghasilkan uang, biar seperti yang lain bisa
memberikan sesuatu kepada orang tua.
Kumaidi
menggelengkan kepala pelan. Dia berusha membuang pikiran negatif. Dia
meyakinkan dirinya bahwa orang tuanya sedang memotivasi dirinya untuk terpacu
semangat meraih cita-cita. Toh, benar yang dikatakan ibunya bahwa anak ini ya
harus bisa memberikan sesuatu sebagai wujud terima kasih dan bakti – meski yang
diberikan sangat jauh dari apa yang sudah dikorbankan orang tua kepada anak.
Sangatlah jauh.
“Ya
sudah. Bapak mau tidur dulu, Nang,” izin bapaknya. Fauzan harus tidur awal
sebab paginya dia harus siap-siap pergi nelayan sampai siang dan lanjut
mengajar di Madrasah Diniyah.
“Iya,
Pak. Selamat malam.
Lalu
Siti bangkit dari tempat duduknya melangkah mengiringa suaminya itu menuju
kamar tidur. Sudah tua tapi cinta mereka masih so sweet. Tidak jarang ketika bapak dan ibunya sedang silaturrahmi
ke keluarga, obrolan bapaknya tidak lepas dari penggumuman. Ya, mengumumkan
betapa sabar dan setianya istrinya. Dalam keadaan susah paya, gembira, dirinya
selalu menemani suaminya dan men-suport-nya.
Bagus
tersenyum sendiri mengenang cerita itu. Jari-jari tangannya di posisikan di
atas Keyboard dengan benar. Kumaidi
kembali hanyut khusuk di dalam dunia yang sudah ia pilih, tulis menulis.
Matanya dengan terapi mengikuti setiap huruf yang bermunculan di lembar kerja
laptop. Tidak terasa sejak seminggu lalu dia menulis bukunya ini, sudah
mendapatkan tujuhpuluh enam halaman. “Alhamdulillah. Berarti kurang sekitar
delapan puluhan
lagi selesai.
Kumaidi
terus mengetik sampai pukul 03.21 PM. Ibu dan bapaknya – bahkan orang lain se
indonesia – sudah tidur. Kumaidi masih terjaga dengan ditemani kopi yang
tinggal seperampat di dalam cangkir ukuran sedang. Kalau sudah minum kopi,
meski sedikit tidak akan membuat matanya layu. Sampai pagi dia betah duduk di
tempat untuk mengetik.
Yang
terdengar di dalam telinganya – yang paling keras – adalah suara tombol yang
berdecak karena berbentukan dengan jari-jarinya. Cetak-cetok.. cetak-cetok..
kurang lebih bunyinya seperti itu. Nanti bisa diperaktekan sendiri biar tahu
suara tombol laptop. Bagi yang tidak punya laptop bisa praktek dengan HP
telolet. LOL!
Setiap
siang dan malam, Kumaidi istikamah mengetik, menyelesaikan naskahnya. Dan
setiap kali mengetik pasti ada secangkir kopi yang menemani. Berhubung karena
dia bukan perokok, jadi kalau dia butuh pelumas pikiran biar ide terus keluar,
dia akan meminum kopi sebagai ganti rokok. Tidak terkecuali juga bapak ibunya
ketika sedang selesai dari kesibukan masing-masing, tidak bosan menemani
anaknya menulis di ruang tamu. Dan juga tidak bosan membicarakan tema yang sama
selama berhari-hari.
Ketika
diajak mengobrol terkait masalah temannya yang sudah bisa menghajikan orang
tuanya, membelikan gelang emas dan sejenisnya, rasanya Kumaidi ingin berkata
“Please, Pak, Bu. Jangan bahas itu. Jangan bandingkan aku dengan orang lain.
Iya aku tahu mereka sudah sangat sukses, sudah bisa menghasilkan uang sendiri.
Sedang aku masih bergantung dengan kalian. Aku masih meminta uang jajan kepada
kalian. Tapi tolong, mengerti keadaanku, Pak, Bu. Aku masih kuliah dan mondok.
Okey kalau hanya kuliah dan tidak mondok aku bisa bekerja. Tapi aku mondok. Aku
terikat di sana. Santri yang ada di pondok sana tidak boleh bekerja. Terus
bagaimana aku bisa mendapatkan uang?”
“Lantas,
bukan berarti aku terus diam. Tidak. Aku juga berusaha, berfikir mencari pekerjaan
yang sesuai dengan pekerjaanku. Aku akan tunjukkan bahwa aku bisa lebih sukses
dari mereka. Jika mereka memberangkatkan haji orang tuanya sekali, maka aku dua
kali. Jika mereka bisa membelikan orang tuanya emas dan baju seharga satu juta,
maka aku akan memberikan kepadamu seratus juta. Mengertilah kalau saat ini,
anakmu sedang berjuang menjadi orang hebar. Doakan dan restuilah langkah anakmu
ini kan pergi.”
***
setelah seminggu di rumah, dia harus
balik ke pondok. Apalagi kurang dua hari lagi perkuliahan akan dimulai. Kumaidi
duduk bersama bapak dan ibunya di ruang makan. Mereka bertiga sarapan bersama
di ruang makan dekat kolam ikan Lele yang tidak terlalu besar dan tidak pula
terlalu kecil. Menu makanan kali ini sangat spesial dan lebih banyak dari yang
kemarin. Ya, karena hari ini adalah hari terakhir dia di rumah, Siti memasakkan
masakan kepada anaknya dengan sangat enak. Banyak sekali menu yang di sajikan;
ada cumi-cumi goreng, udang goreng, sambal pecel terong bakar, kemudian ikan
Pindang Rujak – khas dareha Morodemak, salah satu desa di kecamatan Bonang,
kabupaten Demak.
Kumaidi dan bapaknya tidak berbicara
sama sekali, bahkan menoleh sedikit pun tidak. Mereka berdua sangat fokus
menikmati masakan Siti. Siti tersenyum melihat tingkah anak dan bapak.
Maklumlah, selama ini mereka berdua sangat jarang makan makanan yang enak. Mau
makan enak bagaimana, wong uang habis untuk kebutuhan lain, bayaran listrik,
bayaran air Pam, dan hasil penjualan minyak tanah serta gaji suaminya itu cukup
untuk membayar semua itu. Sedangkan untuk makan, ya, harus seadanya.
Siti mengambil nasi dan lauk udang
sedikit. Dia tidak ingin mengurangi jatah anak dan suaminya. Biarkan dia makan
sedikit dan masih terasa lapar tapi belahan jiwanya bisa kenyang menyantap,
menikmati rizki Allah. Tidak ada hal yang paling bahagia bagi istri kecuali
bisa melihat suami dan anaknya puas dengan pelayanannya. (aku ingin menangis
sendiri nulis ini. Baper!).
Hawa nafsu makan akan hilang
nafsunya, tinggal hawanya melihat nasi dan lauk yang ada di meja. Bagaimana
tidak? Semuanya habis hanya dengan dua pemain. Tanpa jeda waktu istirahat.
Mereka berdua kalau soal makan memang sudah pro, bukan amatur apalagi beginner.
Sehabis makan, Kumaidi langsung melangkah ke kamar mandi. Dia harus mandi. Jam 09.00
nanti bis akan berangkat ke Jogja dari terminal Demak. Fauzan dengan telanjang
dada sibuk mencongkel-congkel giginya dengan batang korek api karena banyak
makanan yang terjepit di sela-sela gigi. Tampak dirinya kesusahan mencari sisa
makanannya nyelempit di bagian gigi yang mana. Mulutnya terbuka lebar kemasukan
dua jari yang menelusup masuk ke gigi belakang.
Siti membereskan makanan dan piring
yang masih tergeletak di atas meja.
Di kumpulkan menjadi satu tempat kemudian diangkatnya menuju dekat kolam. Sisa
kaki udang dan nasi dilemparkan ke tengah kolam. Suara air berkecipak karena
tingkah Lele yang berebut makanan sisa tadi. Lelenya kebanyakan sudah besar.
Rencana bulan depan mau dipanen terus dijual di pasar Gebang – pasar kecamatan
yang menjadi titik tengah daerah Bonang. Lumayan untuk tambahan uang simpanan.
Pagi
secara perlahan menanggalkan kulitnya di atas tumpukan piring di pinggir kolam.
Cahaya matahari semakin jelas terpantul ke wajah Siti. Tangan keriputnya dengan
lembut mengusap mangkok dan gelas kotor dengan sabun Mama Lemon. Semerbak harum
merasuk ke dalam rongga tenggorokan Siti, bau rasa Lemon.
Fauzan
berdiri diambang pintu memandangi istrinya yang shalihah – katanya sendiri –
sibuk menggosok-gosok piring. Siti mendongakkan wajahnya yang basah terciprat
air ke arah Fauzan. “Cepetan mandi, Pak. Biar nanti bisa enak untuk mengazani
anak kita,” Siti menyarankan suami untuk mandi.
Setiap
Kumaidi hendak berangkat dari pondok ke rumah, Fauzan pasti berdiri di belakang
anaknya sembari melantunkan kalimat azan. Kumaidi juga berdiri khusuk dan
tenang di depan Bapaknya. Hal itu selalu dilakukan oleh keluarga kecil ini.
Sebab dulu ketika Fauzan mondok, dapat keterangan kalau azan sebelum berpergian
itu memiliki banyak manfaat, seperti keselamatan dan kelancaran, serta apa yang
akan kita mohon kepada Allah bisa terkabul.
Tidak
jarang Fauzan menitikkan air mata ketika mengazani kepergian anaknya. Ada
harapan yang sangat besar ia mohonkan kepada Allah terhadap anak satu-satunya
itu. Begitu juga dengan Kumaidi yang selalu meneteskan air matanya ketika
diazani. Dia juga mengerti dan sadar amanah dan tanggung jawab yang harus ia
tunaikan sebagai seorang anak sekaligus murid. Tentu dia akan mengalami
rintangan dalam mencapai cita-citanya dan orang tuanya. “Bismillah, dengan
menyebut nama-Mu, ya Allah, hamba melangkah mencari ilmu dan rizki-Mu,” doa
Kumaidi dalam hati sebelum melangkah keluar rumah diiringi ibunya.
Siti
berjalan sambil menenteng kardus yang berisi cumi dan udang untuk Kiai di
pondok. Sedangkan Kumaidi membopong tasnya yang penuh dengan pakaiannya.
Tetangganya selalu bertanya “Mau berangkat mondok, Mas Kumaidi?” ketika Kumaidi
melintas di depannya. Kumaidi menjawabnya dengan jawaban iya – jawaban simpel.
Dia sudah diburu waktu. Apalagi warna langit tidak secerah pagi tadi.
Bau-baunya juga mau turun hujan.
Kumaidi
mempercepat langkahnya agar sampai di tempat menunggu mobil angkutan di desa
seberang. Sang ibu kemudian mengimbangi kecepatan langkah anaknya. Dia khawatir
kalau nanti turun hujan. Kalau dia yang kehujanan sih tidak mengapa, tetapi dia
kasihan sama ibunya. Dia tidak ingin ibunya basah karena terguyur hujan.
Ada satu
mobil yang sudah mampang di seberang sana. Mobil bercatkan hijau berhenti di
depan masjid. Tampak dari jauh di dalamnya masih kosong, belum ada penumpang
yang naik.
“Hati-hati,
Nang, ya. Jangan lupa nanti kalau sudah berangkat ke Jogja, kamu SMS bapak,”
kata Siti. “Dan yang paling penting, kamu di sana belajar yang rajin, jangan
malas. Besok kalau kamu sukses, yang akan merasakan nikmat itu dirimu sendiri,
Nang,” lanjut Siti menasehati anaknya.
“Iya,
Bu. Kumaidi akan selalu rajin belajar di sana dan melakukan hal yang terbaik.
Daoakan aku, Bu,” kata bagus kemudian mencium tangan ibunya yang masih tercium
bau amis sedikit.
Perahu
kecil nan panjang membawa anaknya semakin menjauh. Kini jarak antara Siti
dengan Kumaidi sudah terpisah oleh sungai yang luas. Ombak kecil yang terbilah
oleh perahu seolah-olah hendak mengejek Siti. Matanya saat ini sudah berderai
air mata. Menetes satu persatu menyertai langkah putra tunggalnya yang tidak
bisa dihentikan lagi. “Semoga engkau selalu dalam lindungan Allah dan segala
apa yang engkau citakan, yang engkau lakukan, selalu diridlai-Nya. Amin,” Siti
berdoa dalam hati sebagai ganti obat luka di hatinya karena dia harus jauh dari
putranya yang ke sekian kali.
***
Empat jam dia duduk di dalam bis AC
dari terminal Demak ke terminal Jombor, Yogyakarta. Menikmati macetnya jalan
raya. Bisnya terkadang harus nge-tem lama. Meski tidak ada pengamen. Tetapi
kalau bis mampir di terminal, pedagang-pedagang berlarian masuk ke dalam bis
sambil menenteng barang dagangannya. Hal yang paling dia nikmati ketika
pedagang tersebut menawarkan kepada penumang adalah kalimatnya yang sangat
khas. “Cang ci men ro mbute kesemeg-kesemeg,” suara salah satu pedagang dengan
lantang sambil berjalan dari depan bis ke belakang. Karena pedagang itu selama
perjalanan tadi dia harus menahan tawa mendengarnya.
Kumaidi duduk di bawah pohon besar
yang ada di dekat pintu gerbang terminal. Bis besar dan sedang keluar masuk
terminal. Ada juga bis yang sedang menunggu para calon penumpang. Beberapa
orang yang berseragam sopir bergerombol tertawa bareng sembari menikmati
sebatang rokok yang mengacung di sela jari mereka. Asap mengepul dari mulut
sopir yang paling gendut di antara gerombolan supir. Kemudian ada bis berhenti
di dekat warung makan dekat mushala terminal. Pintunya terbuka. Awalnya orang
berseragam turun kemudian disusul orang-orang keluar satu-satu dari dalam bis.
Terlihat beberapa dari merekaa ada yang langsung melangkah meninggalkan bis,
ada juga yang menunggu barang-barangnya dikeluarkan dari bagasi bis.
“Zikir, tolong jemput aku di
terminal Jombor, ya. Aku sudah sampai di Jogja,” kata Kumaidi minta tolong
kepada teman sepondok lewat telepon.
“Iya, Di. Tunggu ya, aku ke
terminal,” jawab temannya di seberang sana.
“Terimakasih banyak ya.”
“Iya, Di. Sama-sama.”
Setelah itu, telepon terputus.
Kumaidi memasukkan HP-nya ke dalam saku kanan depan. Dia takut kalau mainan HP
di terminal bisa menarik para calon pencopet menghampiri dirinya. Kumaidi
menyandarkan kepalanya kepada kursi sambil memeluk erat tas besar hitam
miliknya. Di dalamnya ada pakaian, laptop dan beberapa makanan ringan buat
nanti di pondok. Di depannya ada satu kardus berukuran lumayan besar berisi
Cumi-Cumi dan Udang untuk kiainya.
Sebenarnya dia tidak perlu menunggu
lama di terminal. Dia bisa langsung naik bis TransJogja yang disediakan untuk
orang-orang di Jogja. Harganya pun murah dan nyaman. Ber-AC lagi. Tapi Kumaidi
tidak mau naik bis itu karena kardus yang ia bawa dari rumah. Kalau dia naik,
bisa-bisa satu bis pingsan karena bau amis yang menyengat.
Setengah jam dia duduk sendiri di
kursi. Toleh sana, toleh sini mencari Zikir, siapa tahu sudah tiba. Dengan
bahasa yang lebih jelasnya, selama setengah jam tadi seperti orang hilang.
Menunggu baginya adalah hal yang menyebalkan. Menunggu itu tidak tenang,
mencemaskan. Takut kalau yang diharapkan datang malah tidak datang karena
motornya ditikung emak-emak. LOL!
“Di, maaf ya, buat lama menunggu.
Tadi di jalan agak macet. Apalagi ada emak-emak lagi bawa gerobak sayur nabrak
truk besar,” kata Zikir setelah berhenti pas di depan Kumaidi.
“Owalah, iya tidak apa-apa, Kir. Hla
terus emak-emaknya bagaimana?”
“Emak-emaknya strong banget. Bisnya
sampai mengguling di pinggir jalan.”
“Masya Allah, the power of
emak-emak memang dasyat!” ucap Kumaidi menggeleng-gelengkan kepala tidak
percaya. “Hla kok bisa nabrak itu bagaimana ceritanya, Kir?” tanyanya kemudian.
“Aku nggak tahu. Tadi aku lewat
truknya sudah terbalik dan di dekatnya ada emak-emak bawa motor di belakangnya
ada tempat sayur.”
“Hla motornya?”
“Motor bagian depannya saja yang
hancur. Sama sayur-sayurnya berhamburan di tengah jalan.”
“Ya Allah, emak-emaknya emang ampuh.
Punya ajian itu pasti. Haha..” Kumaidi tertawa disusul gelak tawa temannya yang
super khas – ada suara babi ngepetnya. LOL lagi!
“Ya
sudah. Ayuk pulang ke pondok,” ajak Kumaidi.
Kumaidi
menaruh kardus di depan Zikir dan dia yang membawa tasnya. Motor mio itu
perlahan-lahan mulai maju dan semakin lama semakin cepat. Menurut Zikir, kalau
naik motor jangan langsung digas dengan keras. Pelan dulu saja. Kalau motor
sudah mulai jalan, dengan perlahan gas diterik. Biar mesinnya awet, tidak cepat
rusak dan juga mengirit bensin.
Jalanan
sangat padat, tapi masih lancar jalannya, belum macet. Entah nanti kalau sudah
lampu merah, pasti akan macet. Zikir memacu motor metiknya dengan kecepatan 80
Km/jam. Ya, sangat ngebut bagi Kumaidi. Dengan lincah motornya menyalip mobil,
motor, truk besar, dan bahkan menyalip becak-becak. Kumaidi memegangi erat
tasnya jangan sampai terjatuh. Bahaya, ada laptopnya. Di dalamnya adalah data
penting semua. Film hanya ada dua, game tidak ada. Karena baginya menonotn film
dan main game itu hanya akan membuang waktu. Mending waktu itu dia gunakan
untuk mengukir karya dan prestasi lewat menulis.
Hari
semakin sore. Jalanan pun semakin macet. Beberapa kali tadi Zikir dan Kumaidi
kejebak macet meski tidak lama. Tapi itu cukup menjengkelkan. Di pinggir
trotoar banyak sekali berderet-deret warung kecil menjajakan makan sore.
Terlihat para pelanggannya duduk menikmati menu makanan yang dipesan. Motor dan
mobil terparkir di depan warung makan tersebut. Mungkin itu juga yang membuat jalan
semakin sempit dan gampang macet. Yang seharusnya jalan itu lebar menjadi
sempit karna mobil dan motor yang parkir di pinggir trotoar.
***
Pondok
ternyata masih sepi. Hanya sekitar empat santri yang sudah balik ke pondok. Banyak
yang masih di rumah. Pondok sebesar ini – bagi pondok yang hanya muat untuk
tigapuluh santri – terasa seperti kota mati, tidak ada tanda-tanda kehidupan
kecuali handuk digantung di jendela, melambai-lambai ditiup angin. Kemudian ada
suara dengkuran dari kamar paling pojok belakang. Kumaidi bahkan teman satu
pondok pun kenal dengan dengkuran ini milik siapa. Dengkurannya sangat kuat dan
nyaring. Apalgi suaranya seperti telepon yang jaringannya GSM (goyang sedikit,
minggat), putus-putus.
“Lho,
Habibi sudah pulang?” tanya Kumaidi setelah mendengar dengkuran itu.
“Iya Di.
Dia sudah pulang,” jawab Zikir yang berjalan di samping kanannya.
“Tumben.
Dia biasanya pulang paling akhir lho.”
“Diusir
emaknya mungkin. Hahaha...”
Tawa
mereka pecah memekak ruangan kamar mendengar dengkuran Habibi. Mata Kumaidi
memandangi isi kamarnya yang masih sepi. Anggota kamar yang baru pulang baru
Zikir dan Kumaidi. Kamar yang paling luas sendiri di pondok itu terlihat rapi
dan bersih karena selalu Zikir bersihkan. Maklum, dia memang bersihan orangnya.
Setelah
beres-beres lemari dan pakaiannya, dia langsung mengambil handuk yang
tergantung di belakang pondok. Kumaidi melilitkan handuknya di pinggangnya di
atas sarung coklatnya. Kakinya melangkah masuk ke dalam kamar mandi.
Kemudian... *sensor!* LOL!
Kepalanya
sudah merasa lebih ringan dan dingin. Tubuhnya juga lebih segar dari yang
sebelumnya “imut”, alias Ireng Kumut-kumut. Angin yang sepoi-sepoi
dengan lembut membelai rambutnya yang pendek. Matanya menatap jauh ke ujung
bumi. Entahlah itu benar-benar ujung bumi atau semacam trik Allah yang sangat
genius. Mata manusia sangat terbatas. Beberapa memori saat sedang berliburan di
rumah masih tersimpan bahkan terasa di kulit, telinga, mata, hidung ataupun
lidahnya. Dan satu hal yang membuatnya terjebak antara perasaan sakit dan
termotivasi adalah perkataan orang tuanya yang membandingkan dirinya dengan
orang lain. Perkataan itu terdengar seperti “Kamu kok tidak bisa seperti
mereka? Kamu tidak memberikan apa-apa kepada kami”. Pada sisi yang positif
perkataan itu seperti menyimpan makna “Semangatlah, Nak. Mereka bisa, pasti
kamu bisa. Bahkan lebih baik dari mereka”. Baginya ucapan orang tuanya sangat
ambigu. Dia harus mengambil makna yang mana?
Kumaidi
menghela nafas. Tubuhnya berbalik membelakangi jendela. Matanya mendapati Zikir
masuk kamar. Dia baru pulang dari main-main – paling main di kontrakan
anak-anak Kudus.
“Dari
mana, Kir?” tanya Kumaidi memastikan.
“Dari
kontrakan anak Kudus, Di,” jawab Zikir sembari menaruh tas punggungnya di depan
lemari kecil miliknya.
Zikir
berjalan ke arah depan aula. seperti hendak menemui seseorang. Kumaidi
memandangi punggung Zikir yang agak membungkuk lalu hilang tertutup tembok.
Kumaidi merebahkan tubuhnya tiduran sambil menunggu waktu Maghrib datang. Dia
berencana sehabis shalat Isya’ nanti dia ingin mengetik. Dia ingin menceritakan
kisah dan pemikirannya.
BERSAMBUNG....